
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51 Tahun 2025 (PMK 51/2025) disebutkan bahwa salah satu pemungut PPh Pasal 22 (withholding tax) dari kegiatan usaha di bidang lain yang dimaksud adalah badan usaha industri atau eksportir. Pemungutan dilakukan atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir, dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPh Pasal 22 = 0,25% x Harga Pembelian (Tidak termasuk PPN)
Tarif di atas berlaku untuk pemungutan yang dilakukan oleh badan usaha industri atau eksportir, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), BUMN hasil dari restrukturisasi, dan badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.
Pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam hal jumlah pembayaran paling banyak Rp20.000.000 tidak termasuk PPN dalam satu masa pajak. Pengecualian ini tanpa memerlukan Surat Keterangan Bebas.
Sebagai contoh PT ABC selaku eksportir tekstil, melakukan pembelian bahan hasil perkebunan berupa serat kapas untuk produksinya di bulan Mei 2025 dengan jumlah pembayaran tidak termasuk PPN sejumlah Rp18.000.000. Dalam hal ini transaksi PT ABC tersebut dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.
PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembelian. Pemungut PPh Pasal 22 wajib menyetor pajak yang terutang ke kas negara melalui pos persepsi, bank devisa persepsi, atau bank persepsi yang ditunjuk paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Pemungutan dilaporkan dengan menggunakan menu SPT Masa PPh Unifikasi pada aplikasi Coretax paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya . Selain itu, pemungut pajak juga wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22 dan memberikan bukti pemungutan tersebut kepada wajib pajak yang dipungut.
Contoh Kasus
PT XYZ merupakan perusahaan manufaktur dan eksportir karet. Pada bulan Juli 2025 melakukan pembelian bahan olahan karet senilai Rp555.000.000 (termasuk PPN) dari Tuan Budi (ber-NPWP) selaku pedagang pengumpul yang mengumpulkan hasil getah karet dari petani.
Transaksi tersebut terutang PPh Pasal 22 dengan perhitungan sebagai berikut:
DPP = Rp555.000.000 x (100/111) = Rp500.000.000
PPh Pasal 22 terutang = 0,25% x Rp500.000.000 = Rp1.250.000
Dengan demikian, atas transaksi ini PT XYZ selaku pemungut harus memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 22 yang terutang senilai Rp1.250.000.