Dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikenal mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Pajak Masukan merupakan PPN yang dibayar/seharusnya dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Pajak Masukan akan mengurangi Pajak Keluaran, dan selisihnya merupakan PPN yang kurang atau lebih dibayar oleh PKP. Namun, tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan oleh PKP.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha tidak dapat dikreditkan. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang PPN. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang PPN.
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan jika faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN, atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
Keterangan yang dimaksud pada Pasal 13 ayat (5) UU PPN adalah paling sedikit memuat:
Pajak Masukan juga tidak dapat dikreditkan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang Surat Setoran Pajak (SSP) tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN. SSP tersebut harus melampirkan tagihan dan rincian berupa jenis dan nilai BKP Tidak Berwujud atau JKP serta nama dan alamat penyedia BKP Tidak Berwujud atau JKP.
Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022, pajak masukan yang berkenaan dengan:
Melalui perubahan pada UU HPP, terdapat mekanisme pemungutan PPN Besaran Tertentu. Merujuk Pasal 9A ayat (2) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang berhubungan dengan penyerahan yang dipungut PPN Besaran Tertentu tidak dapat dikreditkan. Penggunaan besaran tertentu pada prinsipnya telah memperhitungkan Pajak Masukan yang dimiliki oleh PKP sehingga atas Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan tersebut dilaporkan sebagai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Sebagai penegasan, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah dari sisi PKP penjual yang menyerahkan BKP/JKP dengan PPN Besaran Tertentu. Merujuk penjelasan Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022, bagi PKP pembeli atau penerima jasa yang seharusnya sudah membayar PPN dengan besaran tertentu dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan pajak masukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 331 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
PKP yang melakukan penyerahan kepada konsumen akhir dapat menerbitkan faktur pajak pedagang eceran. Faktur pajak pedagang eceran dibuat tanpa mencantum identitas pembeli dan tanpa tanda tangan. Sebagai konsekuensinya, sesuai Pasal 80 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Pajak Masukan yang tercantum dalam faktur pajak pedagang eceran tidak dapat dikreditkan.
Meskipun tidak dapat dikreditkan, Pajak Masukan tersebut tetap dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dicantumkan pada Lampiran SPT Masa PPN Formulir B3.
Categories:
Tax LearningJadwal Training
04 January 2025