Dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan melakukan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Pajak masukan merupakan pajak yang dipungut oleh pihak lain, sedangkan pajak keluaran merupakan pajak yang dipungut oleh PKP. Selisih antara pajak keluaran dengan pajak masukan merupakan jumlah yang harus disetor oleh PKP setiap masa, atau yang dikenal sebagai PPN Kurang Bayar. Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, PKP perlu memperhatikan dua syarat yakni syarat formal dan syarat material. Artikel ini akan membahas:
Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah syarat formal. Syarat formal yang dimaksud adalah pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak. Faktur pajak juga harus memenuhi syarat secara formal dan material.
Faktur pajak dianggap memenuhi syarat formal apabila sudah diterbitkan dan diisi dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN atau persyaratan lain yang diatur melalui PMK maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, faktur pajak memenuhi syarat formal apabila diisi dengan keterangan:
Faktur pajak dianggap memenuhi syarat material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, ekspor JKP, impor BKP, atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Selanjutnya, pajak masukan yang dikreditkan harus memenuhi syarat material. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat material. Pertama, pajak masukan yang dikreditkan merupakan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Kedua, pajak masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang PPN. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang PPN.
Pada dasarnya, pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Jika belum dikreditkan, pajak masukan masih dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3 masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN.
Berikut ini adalah ilustrasi pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang berbeda dengan masa pajak pada faktur pajak.
Merujuk Pasal 9 ayat (8) UU PPN, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu pajak masukan atas:
Berikut pembahasan lengkap terkait pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Melalui relaksasi pengkreditan pajak masukan yang diberikan lewat UU Cipta Kerja, pajak masukan yang diperoleh sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan sebesar 80% dari pajak keluaran yang seharusnya dipungut. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) UU PPN.
Pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada artikel berikut ini: Ketentuan Pengkreditan PPN Masukan Sebelum Dikukuhkan Sebagai PKP
Setelah UU Cipta Kerja berlaku, PKP yang belum produksi dapat mengkreditkan pajak masukan dan tidak hanya terbatas pada barang modal saja. Pengkreditan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum. Relaksasi tersebut diberikan dalam jangka waktu tiga tahun. Jika PKP belum melakukan penyerahan terutang PPN melewati tiga tahun, pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Berikut ketentuan terkait pengkreditan pajak masukan bagi PKP belum berproduksi.