
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Dalam konsep ini, menurut ketentuan perpajakan atas pembelian harta berwujud yang masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dibebankan sekaligus. Jika perusahaan membebankan pembelian harta berwujud tersebut di laporan rugi laba maka akan dilakukan koreksi fiskal dalam menghitung pajak penghasilan badan.
Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan berdasarkan UU Pajak Penghasilan Pasal 11 ayat (1) adalah:
- Metode garis lurus (straight-line method) yaitu metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
- Metode saldo menurun (declining-balance method) yaitu metode yang digunakan untuk menghitung penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Metode ini tidak dapat digunakan untuk menghitung penyusutan atas bangunan.
Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Harta Berwujud
Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya barak atau asrama yang terbuat dari kayu untuk karyawan.
Waktu Penyusutan Dimulai
Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak dapat melakukan penyusutan mulai pada bulan digunakannya harta tersebut untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Sebagai contoh, pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2020 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2021. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2021.
Penyusutan Atas Aset Revaluasi
Wajib Pajak diperkenankan untuk melakukan penilaian kembali atau revaluasi atas aset tetap. Hasil revaluasi dapat mencerminkan kemampuan atau nilai perusahaan saat ini sesuai dengan nilai pasar. Revaluasi aset bisa menimbulkan peningkatan maupun penurunan nilai aset.
Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap penyusutan. Secara umum, pengaturan mengenai penyusutan atas aset yang direvaluasi untuk tujuan perpajakan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2008. Selengkapnya tentang penyusutan atas aset yang direvaluasi dapat dilihat pada artikel berikut ini.
Ketentuan Penyusutan Pasca UU HPP
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur berbagai hal, salah satunya terkait ketentuan penyusutan. Melalui UU HPP, pemerintah memberikan keleluasaan penyusutan bagi Wajib Pajak yang memiliki bangunan permanen dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun. Wajib Pajak dapat menyusutkan bangunan tersebut selama 20 tahun mengikuti ketentuan Pasal 11 ayat (6) UU PPh, atau sesuai dengan pembukuan yang dilakukan Wajib Pajak. Sebagai contoh, pada aturan sebelumnya, bangunan permanen dengan masa manfaat 30 tahun disusutkan selama 20 tahun. Dengan berlakunya UU HPP, Wajib Pajak menyusutkan selama 20 tahun ataupun 30 tahun.
Selain itu, terdapat penyesuaian klausul terkait penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu. Sebelumnya, hal tersebut akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun, pada UU HPP klausul diubah menjadi:
“Penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu dapat diatur tersendiri.”
Pada memori penjelasan Pasal 11 ayat (7) UU PPh, disebutkan bahwa pengaturan tersendiri diberikan dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan.