Dengan meningkatnya transaksi lintas batas, perusahaan kini tidak hanya bertransaksi dalam mata uang rupiah. Banyak perusahaan bertransaksi dalam mata uang asing, seperti dolar Amerika, Euro, Poundsterling, dan lain-lain. Dengan bertransaksi dengan mata uang asing, tentunya dapat memperluas jangkauan pasar suatu perusahaan. Namun, di sisi lain, nilai tukar mata uang yang selalu berubah juga berdampak bagi perusahaan. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah perusahaan mengalami rugi akibat selisih nilai kurs.
Selisih kurs menurut akuntansi adalah selisih yang dihasilkan dari penjabaran sejumlah tertentu satu mata uang ke dalam mata uang lain pada kurs yang berbeda. Pada dasarnya, rugi akibat selisih nilai kurs dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf e UU Pajak Penghasilan (UU PPh).
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
e. kerugian selisih kurs mata uang asing.”
Dalam memori penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh dijelaskan bahwa:
“Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”
Sesuai ketentuan di atas, Wajib Pajak perlu merujuk pada ketentuan akuntansi. Saat ini, pengaruh perubahan kurs valuta asing diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 221. Paragraf 29 PSAK 221 berbunyi:
"Jika pos moneter timbul dari transaksi valuta asing dan terdapat perubahan dalam kurs antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian, maka mengakibatkan timbulnya selisih kurs. Jika transaksi diselesaikan dalam periode akuntansi yang sama dengan terjadinya transaksi, maka seluruh selisih kurs diakui dalam periode tersebut. Akan tetapi, ketika transaksi diselesaikan pada periode akuntansi berikutnya, maka selisih kurs yang diakui dalam setiap periode sampai pad tanggal penyelesaian ditentukan dengan perubahan kurs selama masing-masing periode."
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kerugian akibat selisih kurs yang telah diselesaikan dalam periode yang sama dengan transaksi (terealisasi) dapat diakui sebagai biaya. Ketika belum diselesaikan dalam periode yang sama (belum terealisasi), kerugian selisih kurs tetap dapat diakui di setiap periode sampai dengan tanggal penyelesaian. Dengan demikian, kerugian selisih kurs dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto, baik yang telah terealisasi maupun belum terealisasi, dan dilakukan secara konsisten.
Meskipun begitu, terdapat perlakuan yang berbeda atas rugi selisih kurs dalam kondisi tertentu. Pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 disebutkan bahwa:
“Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak;
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.”
Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa apabila kerugian selisih kurs berkaitan dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, atau bukan merupakan objek pajak, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.