
Dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (PPh OP), suami-istri dapat menjalankan kewajibannya hanya dengan menggunakan NPWP suami selaku kepala keluarga. Suami-istri juga dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban secara terpisah. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi NPWP gabung atau NPWP pisah akan berdampak pada penghitungan serta jumlah pajak yang terutang.
NPWP Suami-Istri Gabung atau Pisah
UU Pajak Penghasilan menganut prinsip bahwa keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis. Penjelasan Pasal 8 UU PPh menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pajak dilakukan oleh kepala keluarga, dengan menggabungkan penghasilan maupun kerugian dari seluruh anggota keluarga. Namun demikian, penghasilan suami-istri dapat dikenakan secara terpisah apabila telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim, dikehendaki berdasarkan perjanjian pemisahan harta (PH), atau istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (MT).
Agar kewajiban perpajakan dapat dilakukan oleh kepala keluarga (suami), istri perlu menonaktifkan NPWP. Kemudian, pada akun Coretax suami perlu dipastikan NIK istri telah tercantum pada Daftar Unit Perpajakan Keluarga/Family Tax Unit. Panduan selengkapnya dapat dilihat pada artikel berikut ini: Cara Gabung NPWP Suami-Istri di Coretax
Apabila menghendaki menjalankan kewajiban secara terpisah, pastikan NPWP suami dan istri telah aktif. Tidak ada mekanisme pengajuan secara khusus, namun perlu disiapkan dokumen pendukung terkait pelaksanaan kewajiban perpajakan secara terpisah.
Simulasi Penghitungan
Pemilihan kewajiban gabung atau pisah akan berdampak pada jumlah PPh terutang pada SPT Tahunan PPh OP. Berikut ilustrasi penghitungan untuk suami-istri yang memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja.
Tuan Adi dan Nyonya Ari merupakan suami-istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja. Tuan Adi dan Nyonya Ari memiliki satu orang anak yang masih menjadi tanggungan. Data Bukti Pemotongan BP A1 Jan-Des 2025 adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh OP Jika NPWP Suami-Istri Digabung
Sesuai dengan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU PPh, apabila suami-istri menjalankan kewajiban perpajakannya bersama-sama (NPWP Gabung), penghasilan istri dari satu pemberi kerja dianggap sebagai penghasilan bersifat final. Dari ilustrasi di atas, penghasilan neto Nyonya Ari sebesar Rp144.000.000 akan dianggap sebagai penghasilan final, dan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan.
Pelaporan SPT hanya dilakukan oleh Tuan Adi. Penghitungan PPh terutang pada SPT Tuan Adi adalah sebagai berikut:

Dari penghitungan di atas, pada saat pelaporan SPT Tahunan, Tuan Adi tidak lagi membayar PPh karena status SPT nihil.
Penghitungan PPh OP Jika NPWP Suami-Istri Dipisah
Meskipun kewajiban dilakukan terpisah (PH atau MT), penghitungan pajak terutang dilakukan dengan menggabungkan penghasilan suami-istri. Atas penghasilan gabungan tersebut, PPh terutang di SPT suami/istri dihitung secara proporsional. Yang membedakan adalah terdapat tambahan PTKP sebesar Rp54.000.000 untuk penghasilan istri.
Berbeda dengan penghitungan untuk kondisi NPWP gabung, jika NPWP dipisah, penghasilan neto istri tetap dihitung sebagai penghasilan neto yang menjadi objek pajak. PPh Pasal 21 atas penghasilan istri juga tetap dapat dikreditkan. Suami dan istri wajib melakukan pelaporan SPT Tahunan masing-masing. Dari ilustrasi sebelumnya, berikut penghitungan PPh OP terutang untuk Tuan Adi dan Nyonya Ari:

Berdasarkan penghitungan di atas, SPT Tahunan Tuan Adi maupun Nyonya Ari berstatus kurang bayar. Jika dibandingkan dengan penghitungan dengan kondisi NPWP gabung, terdapat selisih PPh terutang sebesar Rp16.700.000. Hal ini dikarenakan penghasilan neto yang menjadi dasar penghitungan bertambah, kemudian berdampak pada penghasilan kena pajak yang meningkat dan masuk ke lapisan tarif PPh OP yang lebih tinggi.
