Bukan hanya penghasilan seperti bunga dan royalti, premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Secara khusus, pemerintah mengatur pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624 Tahun 1994 (KMK 624/1994).
Apa itu Asuransi dan Reasuransi?
Merujuk UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, asuransi merupakan perjanjian antara dua pihak, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar penerimaan premi oleh perusahaan asuransi. Premi diberikan sebagai imbalan untuk penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis akibat kerugian, kerusakan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga karena terjadinya peristiwa yang tidak pasti.
Untuk menjaga kestabilan pendapatan, perusahaan asuransi dapat melakukan reasuransi. Reasuransi atau reinsurance adalah mekanisme pengalihan kembali sebagian risiko atau seluruh risiko yang ditanggung oleh suatu perusahaan asuransi kepada perusahaan reasuransi (reinsurer). Dengan adanya reasuransi, perusahaan asuransi tidak menanggung seluruh risiko dari klaim nasabah yang ditujukan kepadanya. Reasuransi membantu perusahaan asuransi melindungi aset dan keuangannya dari kerugian karena pembayaran klaim pada pihak nasabah.
Dalam ketentuan UU PPh, premi asuransi termasuk premi reasuransi merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak. Jika melihat ketentuan UU Perasuransian, premi didefinisikan sebagai uang yang ditetapkan perusahaan asuransi atau reasuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan kepada perusahaan.
Tarif dan Dasar Pengenaan PPh 26 atas Premi Asuransi
Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan withholding tax PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Terdapat 3 perkiraan penghasilan neto dalam PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang. Hal tersebut diatur pada KMK 624/1994 dengan perincian sebagai berikut:
Pembayar Premi dan Pihak Pemotong PPh 26 | Perkiraan Penghasilan Neto | Tarif Efektif PPh 26 |
---|---|---|
Tertanggung | 50% dari premi | 10% x premi |
Perusahaan Asuransi Berkedudukan di Indonesia | 10% dari premi | 2% x premi |
Perusahaan Reasuransi Berkedudukan di Indonesia | 5% dari premi | 1% x premi |
Administrasi Pemotongan PPh Pasal 26
Sebagaimana disampaikan dalam S-428/PJ.432/1995, untuk pembayaran premi asuransi ke luar negeri, ditegaskan bahwa perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia tidak perlu mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas.
Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri tersebut wajib menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) dari kantor pajak di negara tempat kedudukan perusahaan yang bersangkutan. Sesuai ketentuan terbaru terkait SKD, pemotong pajak wajib melakukan penyampaian SKD milik WPLN tersebut melalui aplikasi e-SKD dengan mengisi Form DGT.
Berdasarkan SKD, tersebut maka pihak yang membayar premi asuransi/pihak pemotong tidak memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi luar negeri yang berkedudukan di:
Amerika | Inggris | Perancis |
Austria | Italia | Philiphina |
Belanda | Jepang | Polandia |
Belgia | Jerman | Singapura |
Bulgaria | Kanada | Srilangka |
Denmark | Korea Selatan | Swedia |
Finlandia | Luxembourg | Swiss |
Hungaria | Norwegia | Thailand |
India | Pakistan | Tunisia |
Pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi tetap dilakukan atas pembayaran kepada perusahaan asuransi luar negeri yang berkedudukan di Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Arab Saudi, dan negara-negara lain.
PPh Pasal 26 atas penghasilan premi asuransi tersebut terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi. Setelah membuat bukti potong, penyetoran PPh Pasal 26 dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 hari di bulan berikutnya. Pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan PPh Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dengan SPT Masa PPh Unifikasi.
Contoh Perhitungan PPh 26 atas Premi Asuransi
PT Bangunan Maju Sejahtera (“BMS”) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang persewaan bangunan. Pada tahun 2023, BMS mengasuransikan bangunan bertingkat langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp2 miliar. BMS harus melakukan pemotongan dengan penghitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 26 atas Premi Asuransi = 10% x Rp2.000.000.000 = Rp200.000.000
Selain itu, atas beberapa aset lainnya BMS mengasuransikannya kepada PT Harta Aman Insurance (HAI) yang merupakan perusahaan asuransi di Indonesia dengan premi sebesar Rp1,5 miliar. HAI mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp1 miliar. Atas transaksi tersebut, HAI melakukan pemotongan dengan penghitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 26 atas Premi Reasuransi = 2% x Rp1.000.000.000 = Rp20.000.000