Tax Learning

Pahami Konsep dan Karakteristik Cukai

Cukai merupakan salah satu jenis consumption tax yaitu pajak kenikmatan atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang merupakan pungutan pajak atas eksternalitas negatif dan beban pungutan pajaknya merupakan bentuk kompensasi (earmarking). Adapun pengaturan terkait cukai diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU Cukai).

Dalam implementasinya, terdapat tiga prinsip dasar pemungutan cukai dalam buku Excise Systems : A Global Study of the Selective Taxation of Goods and Services (Cnossen & Sibjren, 1977), yakni:

  1. Selective in Coverage, cukai memiliki kedudukan yang sama dengan pajak konsumsi lainnya seperti PPN, namun berbeda dari sisi pemilihan objek pajak karena objek cukai terbatas dan tujuan pemungutan cukai berbeda dengan pajak konsumsi lainnya.
  2. Discrimination in intent, pungutan cukai ditujukan untuk maksud-maksud tertentu yang diinginkan oleh pemerintah agar produk tersebut tidak leluasa dikonsumsi oleh masyarakat.
  3. Quantitative measurement, cukai merupakan pajak atas konsumsi sejumlah barang dan/atau jasa tertentu, desain pemungutan cukai berimplikasi pada bentuk pengawasan fisik.

Karakteristik Barang Kena Cukai

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Cukai. Adapun karakteristik barang tertentu menurut UU Cukai meliputi:

  1. konsumsinya perlu dikendalikan;
  2. peredarannya perlu diawasi;
  3. pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat/lingkungan hidup; atau
  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Mengacu pada penjelasan atas “pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan” yaitu pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Lebih lanjut, barang-barang yang memenuhi sifat/karakteristik tersebut dikenal sebagai Barang Kena Cukai.

Menurut McCarten & Stotsky (1995:100-103), terdapat empat karakteristik jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikenakan cukai, meliputi:

  1. proses produksi, distribusi, dan penjualan dapat diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal ini digunakan untuk memastikan rendahnya kemungkinan terjadinya pelanggaran pajak;
  2. permintaan bersifat inelastis terhadap harga. Hal ini berarti bahwa apabila harga naik, maka penurunan konsumsi akan kurang dari persentase kenaikan harga. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan penerimaan dan hanya menyebabkan distorsi yang rendah di pasar;
  3. produk atau jasa merupakan barang yang dianggap mewah dan bukan kebutuhan pokok; dan
  4. konsumsi atas produk menimbulkan eksternalitas negatif atau biaya sosial.

Saat ini, Indonesia memiliki tiga jenis komoditas yang dikenakan pungutan cukai, antara lain:

  1. cukai atas etil alkohol atau etanol;
  2. cukai atas minuman mengandung etil alkohol (MMEA) termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol, dan
  3. cukai hasi tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. 

Berikutnya, terdapat isu penambahan objek BKC di Indonesia antara lain pengenaan cukai atas plastik, pengenaan cukai atas makanan dan/atau minuman berpemanis, pengenaan cukai atas produk olahan natrium kemasan serta tiket konser pertunjukan. Mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU Cukai juga menyebutkan bahwa penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai (BKC) diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Namun hingga saat ini belum terdapat ketentuan resmi yang menjadi dasar hukum penambahan objek BKC.

Ketentuan Tarif Barang Kena Cukai

Ketentuan tarif cukai dibagi menjadi dua jenis yaitu tarif ad valorem atau tarif spesifik. Adapun yang dimaksud sebagai tarif ad valorem adalah tarif yang ditetapkan atas pungutan yang dikenakan berdasarkan pada persentase tertentu dari harga dasar barang. Sementara itu, tarif spesifik adalah tarif yang ditetapkan atas setiap satuan barang kena cukai dalam jumlah rupiah.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Cukai, tarif cukai yang berlaku yakni tarif ad valorem. Adapun tarif BKC berupa hasil tembakau dikenai cukai dengan tarif paling tinggi yakni:

  1. untuk yang dibuat di Indonesia:
    • 275% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
    • 57% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
  2. untuk yang diimpor:
    • 275% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
    • 57% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Sementara itu, ketentuan BKC lainnya dapat dikenakan cukai dengan tarif paling tinggi sebesar:

  1. untuk yang dibuat di Indonesia:
    • 1150% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
    • 80% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
  2. untuk yang diimpor:
    • 1150% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
    • 80% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Lebih lanjut, tarif cukai dapat diubah dari tarif ad valorem menjadi spesifik ataupun sebaliknya. Perubahan tarif ini ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara dan pembatasan konsumsi BKC serta memudahkan pemungutan atau pengawasan BKC. Untuk mengetahui tarif cukai yang kini berlaku, Anda juga dapat membaca artikel berikut ini:

Categories:

Tax Learning
Pajak 101 Logo

Jadwal Training

Jadwal Lainnya

Artikel Terkait

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA