
Salah satu kredit pajak yang dapat diperhitungkan dalam menentukan Pajak Penghasilan (PPh) Badan terutang adalah PPh Pasal 25. Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan dihitung berdasarkan pajak terutang tahun sebelumnya. Namun, terdapat kondisi-kondisi lain yang dapat memengaruhi penghitungan PPh Pasal 25.
Secara umum, besarnya angsuran PPh Pasal 25 ditentukan dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif pajak. Pajak terutang selanjutnya dikurangi jumlah kredit pajak, kemudian dibagi dua belas atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Bagi Wajib Pajak Badan, penghasilan Neto yang dimaksud untuk menghitung besarnya angsuran adalah penghasilan neto fiskal dihitung dari hasil perhitungan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Angsuran bagi WP Baru Terdaftar
Besaran angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan yang baru terdaftar yang bukan merupakan hasil merger/likuidasi/perubahan bentuk badan usaha dari Wajib Pajak Badan yang sebelumnya sudah ada adalah nihil.
PPh Pasal 25 pada Bulan-Bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan umum. Maka dari itu, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Sebagai contoh, PT X menyampaikan SPT Tahunan PPh 2020 pada bulan Februari 2021. Angsuran pajak pada bulan Desember 2020 adalah Rp10.000.000. Maka dari itu, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar PT X untuk bulan Januari 2021 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2020, yaitu Rp10.000.000.
Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang Berhak atas Kompensasi Kerugian
Sesuai ketentuan, Wajib Bajak yang mengalami kerugian fiskal tersebut dapat mengompensasi kerugian tersebut dengan penghasilan neto pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun. Penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian tersebut adalah sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu – Kompensasi Kerugian) x Tarif Pasal 17 UU PPh} – PPh Pasal 22,23,24/(12 bulan)
Wajib Pajak Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur
Selain dari kegiatan usaha, suatu perusahaan mungkin mendapat penghasilan lain. Sebagai contoh, perusahaan memperoleh penghasilan tidak teratur berupa keuntungan selisih kurs dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain). Dalam kondisi ini, penghasilan tidak teratur perlu dikeluarkan dari penghitungan PPh Pasal 25. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu – Penghasilan Tidak Teratur) x Tarif Pasal 17 UU PPh} – PPh Pasal 22,23,24)/(12 bulan)
Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Setelah melakukan pembayaran, Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 akan mendapat nomor transaksi penerimaan negara. Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 karena tanda penerimaan tersebut dianggap sebagai bukti penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25.
PPh Pasal 25 Industri Tertentu
Sebagai upaya memberikan kemudahan dan kesederhanaan terkait penghitungan besarnya angsuran pajak yang lebih mendekati kewajaran jumlah yang akan terutang pada akhir tahun, pemerintah melakukan penyesuaian ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25. Hal tersebut terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215 Tahun 2018. Beberapa hal yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebagai berikut.
Bagi Wajib Pajak Bank, penghasilan neto untuk menghitung PPh Pasal 25 adalah penghasilan neto komersial dalam laporan keuangan bulanan sesuai dengan laporan yang disampaikan kepada OJK atau yang dipublikasikan pada situs bank.
Bagi Wajib Pajak yang masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya, PPh Pasal 25 dihitung dari penghasilan neto komersial dalam laporan keuangan triwulanan sesuai dengan laporan triwulanan yang disampaikan kepada BEI dan/atau OJK. Jika tidak memiliki kewajiban penyampaian laporan keuangan triwulanan keempat, angsuran PPh Pasal 25 masa Januari – Maret sama dengan besaran angsuran bulan terakhir tahun pajak sebelumnya. Jika tidak memiliki kewajiban laporan bulanan atau triwulanan, angsuran dihitung mengikuti ketentuan umum.
Bagi Wajib Pajak yang merupakan BUMN atau BUMD, penghasilan yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 25 adalah penghasilan neto laba/rugi menurut Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan. RKAP yang dimaksud adalah RKAP yang telah disahkan RUPS setelah dilakukan penyesuaian fiskal termasuk memperhitungkan kerugian yang dapat dikompensasikan.