Jasa Konstruksi Dipotong PPh 23, Bagaimana Ketentuannya?

Gambar instalasi mesin yang merupakan salah satu objek PPh Pasal 23 untuk jasa konstruksi

Jasa konstruksi merupakan salah satu objek dari PPh Final. Namun, dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2015 (PMK 141/2015), terdapat beberapa jenis jasa yang termasuk kegiatan konstruksi yang merupakan objek PPh Pasal 23.

Ruang Lingkup Jasa Konstruksi PPh 23

Terdapat dua kelompok jasa sehubungan kegiatan konstruksi yang diatur dalam PMK 141/2015. Kedua jenis tersebut adalah:

  1. jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel; dan 
  2. jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan. 

Jasa tersebut menjadi objek PPh Pasal 23 apabila dilakukan oleh bukan Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.

Cara Membedakan Jasa Konstruksi PPh 23 dengan PPh Final 4 ayat (2)

Wajib Pajak pertama perlu mengidentifikasi jenis jasa yang diberikan. Misalnya, jasa instalasi listrik. Instalasi listrik bisa diklasifikasikan ke objek PPh 23 sesuai PMK 141/2015. Selain itu, jasa instalasi listrik merupakan salah satu klasifikasi jasa konstruksi instalasi mekanikal dan elektrikal. Maka, selanjutnya perlu dilihat siapa pihak yang memberikan jasa tersebut.

Apabila jasa instalasi listrik dilakukan oleh Wajib Pajak yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Jasa Konstruksi (SBUJK), jasa tersebut tidak termasuk dalam lingkup objek PPh Pasal 23, tetapi PPh Final 4 ayat (2). Jika jasa tersebut dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki SBUJK, maka dapat dikategorikan sebagai objek PPh Pasal 23.

Tarif dan Dasar Pemotongan PPh 23 Jasa Konstruksi

Sama dengan jenis jasa lain yang dipotong PPh Pasal 23, jasa konstruksi yang disebutkan pada PMK 141/2015 dikenakan tarif sebesar 2%. Dasar pengenaan pajak adalah jumlah bruto.

PPh 23 Jasa Konstruksi = 2% x Jumlah Bruto

Tarif yang dikenakan lebih tinggi 100%, atau dengan kata lain 4% dari jumlah bruto, jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP.

Penyetoran dan Pelaporan

Serupa dengan objek PPh 23 atas jasa lainnya, pajak terutang dipotong oleh pihak yang memberikan penghasilan. Penyetoran wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pelaporan melalui SPT Masa Unifikasi dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Pemotong wajib memberikan bukti pemotongan pajak kepada pihak yang menerima penghasilan. Withholding tax PPh Pasal 23 bersifat tidak final, sehingga dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Contoh Penghitungan

PT Mekanika Maju (“MM”) adalah perusahaan yang bergerak di bidang conveyor sytem, mechanical dan electrical equipment. Diketahui bahwa MM tidak memiliki SBUJK. MM melakukan instalasi conveyor belt untuk PT Elang Sawit Jaya (“ESJ”) pada pabrik pengolahan sawit yang sedang dibangun. Kontrak atas kegiatan instalasi tersebut sebesar Rp600 juta, yang pembayarannya dilakukan pada tanggal 20 April 2023.

Dari transaksi di atas, dapat diidentifikasi bahwa MM bukan Wajib Pajak yang bergerak di bidang konstruksi. Maka, penyerahan jasa instalasi tersebut diklasifikasikan sebagai objek PPh Pasal 23. ESJ wajib melalukan pemotongan sebagai berikut:

PPh Pasal 23 Terutang = 2% x Rp600 juta = Rp12 juta

Pajak yang dipotong wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 Mei 2023, dan dilaporkan paling lambat 20 Mei 2023. ESJ wajib memberikan bukti potong kepada MM.

Categories: Tax Learning

Artikel Terkait