Tips Menghindari Pre-financing PPN

Finance Accounting Tax  - Flyfin / Pixabay

Dalam praktik dunia usaha sering kali terjadi bahwa pihak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan barang atau penyerahan jasa harus menyetor Pajak Keluaran (PPN) atau setiap Faktur Pajak yang diterbitkannya ke kas negara meskipun belum menerima pembayaran dari pihak pembeli barang atau penerima jasa. Idealnya pihak penjual menerima pembayaran termasuk PPN terlebih dahulu dari pihak pembeli lalu kemudian menyetorkan PPN yang dipungut ke Kas Negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini pihak PKP penjual tidak perlu menalangi pembayaran PPN dengan menggunakan dananya sendiri (pre-financing).

Selain pada umumnya disebabkan oleh keterlambatan pembayaran tagihan oleh pihak pembeli, pre-financing PPN juga berkaitan erat dengan saat pembuatan Faktur Pajak, karena hal ini akan menentukan kapan Faktur Pajak tersebut harus dilaporkan pada SPT Masa PPN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2002 jo. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar diatur bahwa Faktur Pajak harus dibuat paling lambat:

  • pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
  • pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
  • pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  • pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  • pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Meskipun ketentuan perpajakan memberikan kelonggaran batas waktu dalam pembuatan Faktur Pajak, dalam kenyataannya tidak dapat dihindari untuk harus membuat Faktur Pajak lebih awal. Hal ini disebabkan karena pihak pembeli umumnya mensyaratkan bahwa proses pembayaran tagihan hanya dilakukan apabila dokumen tagihan (invoice) diterima lengkap. Pengertian lengkap dalam hal ini adalah bahwa Faktur Komersial (commercial invoice)(tax invoice) yang harus disampaikan secara bersamaan. Penerbitan Faktur Pajak lebih awal akan berakibat harus dilaporkannya Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa bulan yang bersangkutan dan dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan untuk masa terkait, maka pihak penjual harus menyetorkan selisihnya ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Dalam hal pembayaran dari pembeli diterima setelah tanggal 15 bulan berikutnya, maka pihak PKP Penjual dalam hal ini harus melakukan pre-financing PPN. Hal ini akan menyebabkan terkurasnya dana (cash flow) dan tentu saja akan dirugikan dari sisi time value of money. Praktek pre-financing ini sering terjadi pada perusahaan di bidang apa saja. beserta dokumen pendukung lainnya seperti Tanda Terima Barang, Berita Acara Kemajuan Pekerjaan atau dokumen sejenis termasuk Faktur Pajak

Contoh Tips Menghindari Pre-financing PPN dalam Usaha Jasa Konstruksi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan (lazimnya dalam usaha jasa konstruksi), Faktur Pajak harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran termin. Berikut ini dikemukakan tips untuk menghindari pre-financing PPN dalam usaha jasa konstruksi.

Dalam klausul terms of payment pada kontrak pekerjaan konstruksi sebaiknya dicantumkan secara jelas bahwa untuk proses pembayaran atas kemajuan pekerjaan (termin) sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, misalnya 30 (tiga puluh) hari setelah invoice diterima dengan benar dan lengkap, tidak mengharuskan Faktur Pajak sebagai syarat dokumen penagihan lengkap, melainkan Faktur Pajak akan diterbitkan pada saat atau setelah menerima pembayaran. Dengan demikian, hitungan hari (argo) pembayaran sudah mulai berlaku pada saat kontraktor menyampaikan hanya invoice komersial, kwitansi, dan berita acara kemajuan fisik pekerjaan (phisical progress report) yang telah ditandatangani oleh pihak pemberi kerja (project owner). Dengan mencantumkannya secara tegas dalam kontrak, maka pihak pemberi kerja tidak punya alasan lagi untuk tidak memproses pembayaran hanya karena pihak kontraktor tidak melampirkan Faktur Pajak pada saat mengajukan tagihan pada setiap termin (lihat diagram: 1.a).

Gambar 1.a

Untuk kepentingan administrasi pihak pemberi kerja, bisa saja dibuatkan Faktur Pajak Sementara (pro-forma) tanpa nomor seri yang dapat disampaikan pada saat mengajukan tagihan dan akan diganti dengan Faktur Pajak Standar pada saat menerima pembayaran. Dengan melakukan cara demikian, maka pre-financing PPN dapat dihindari karena Faktur Pajak akan selalu dibuat oleh pihak kontraktor pada saat menerima pembayaran dan akan disetor/dilaporkan pada bulan berikutnya. Cara ini tidak melanggar ketentuan perpajakan karena Faktur Pajak dapat dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran termin (lihat diagram: 1.b).

Gambar 1b

Dalam hal tidak mungkin dicapai kesepakatan untuk tidak memasukkan klausul Faktur Pajak sebagai syarat dokumen lengkap dalam kontrak pekerjaan, maka sebaiknya diupayakan agar pengajuan tagihan termin dapat dilakukan sebelum tanggal 15 setiap awal bulannya dan dengan jangka waktu pembayaran maksimum 30 (tiga puluh ) hari. Dalam hal ini Berita Acara Kemajuan Pekerjaan juga sudah harus dibuat dan ditandatangani oleh pihak pemberi kerja sebelum tanggal tersebut. Cara ini juga dapat menghindari pre-financing PPN karena meskipun Faktur Pajak dibuat pada saat pengajuan tagihan, misalnya tanggal 12 September 2007, pihak kontraktor diharapkan telah menerima pembayaran termasuk PPN pada 30 hari kemudian yaitu tanggal 12 Oktober 2007, sehingga dapat menggunakan penerimaan tagihan tersebut untuk menyetor PPN ke Kas Negara pada tanggal 15 Oktober 2007, tentu saja setelah diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada masa itu (lihat diagram: 2).

Gambar 2

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa dalam hal pekerjaan jasa konstruksi telah dinyatakan selesai dan telah diserahterimakan kepada pihak pemberi kerja, maka PPN terutang pada saat serah terima pekerjaan, meskipun pembayaran atas sisa tagihan belum diterima oleh pihak kontraktor. Dalam hal ini maka Faktur Pajak harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah terjadinya serah terima, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya di mana Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait