Dalam meningkatkan persaingan bisnis dan memelihara hubungan pelanggan, salah satu strategi yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan memberikan fleksibilitas pembayaran. Salah satu contohnya adalah pembayaran yang dapat dilakukan setelah barang sampai ditangan customer atau jasa diberikan kepada penerima jasa. Fleksibilitas pembayaran tentu saja dapat menimbulkan risiko bisnis. Dalam situasi tertentu, bisa jadi proses penagihan mengalami kendala. Salah satu kebijakan yang diambil perusahaan adalah dengan memberikan kebijakan perpanjangan jangka waktu pembayaran. Jika proses penagihan yang dilakukan secara maksimal tidak berujung pada pembayaran, tagihan tersebut dapat menjadi piutang tak tertagih yang akan dimunculkan dalam laporan rugi laba perusahaan.
Secara komersial terdapat dua metode pembebanan piutang tak tertagih yang dapat dilakukan oleh perusahaan, yaitu menggunakan metode penghapusan (write-off) dan metode penyisihan atau pencadangan (bad debt allowance). Pada metode penghapusan (write-off), perusahaan dapat langsung membebankan piutang yang dihapus dengan mengkreditkan akun piutang tersebut. Jika pembebanan dilakukan dengan metode penyisihan, perusahaan dapat membentuk akun cadangan atas piutang yang diperkirakan tidak akan tertagih.
Piutang Tak Tertagih Menurut Fiskal
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207 Tahun 2015 (PMK 207/2015) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih ialah:
- piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya,
- yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak, dan
- tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, dijelaskan bahwa piutang tak tertagih dapati dibebankan secara fiskal sepanjang memenuhi syarat.
Syarat Membebankan Piutang Tak Tertagih
Merujuk Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, Wajib Pajak dapat membebankan biaya piutang tak tertagih dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan syarat:
- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, baik dalam bentuk hard copy (dilampirkan SPT Tahunan) dan soft copy
- Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut: (pilih salah satu)
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
- terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
- telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus (dapat berupa penerbitan internal asosiasi atau sejenisnya); atau
- adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Penerbitan umum yang dimaksud adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
- penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (PERBANAS);
- penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; atau
- penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya.
Daftar Nominatif Biaya Piutang Tak Tertagih
Untuk membebankan biaya piutang tak tertagih, Wajib Pajak perlu menyiapkan daftar nominatif. Daftar nominatif piutang tak tertagih harus yang harus mencantumkan identitas debitur berupa:
- nama;
- NPWP;
- alamat;
- jumlah plafon utang yang diberikan; dan
- jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
NPWP tidak perlu dicantumkan apabila piutang tak tertagih berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50 juta, baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.
Selain itu, daftar nominatif juga harus dilampiri dengan (pilih salah satu):
- fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
- fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisasi oleh notaris;
- fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
- surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.
Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan.
Debitur Kecil
Pada PMK 207/2015, dijelaskan bahwa persyaratan ketiga dalam pembebanan piutang tak tertagih tidak berlaku untuk piutang tak tertagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya. Debitur kecil yang dimaksud adalah jumlah piutangnya tidak melebihi Rp100.000.000, yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
- Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra);
- Kredit Usaha Tani (KUT);
- Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS);
- Kredit Usaha Kecil (KUK);
- Kredit Usaha Rakyat (KUR); atau
- Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
Debitur kecil lainnya adalah piutang dari debitur yang jumlahnya tidak melebihi Rp5.000.000.
Perlu diperhatikan juga, dalam pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih ialah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur, maka jumlah tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pembayaran.
Koreksi Fiskal Biaya Piutang Tak Tertagih
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya piutang yang tidak dapat ditagih dapat dibebankan sepanjang telah memenuhi syarat pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh dan membuat daftar nominatif. Jika syarat tidak terpenuhi, biaya tersebut harus dilakukan koreksi fiskal positif.