Dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Di setiap akhir masa, Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan menghitung PPN yang harus disetor dengan cara mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.
Namun, mekanisme tersebut terkadang sulit dilakukan oleh PKP dengan skala kecil. Mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan upaya agar mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran tetap dapat dijalankan oleh PKP. Salah satunya adalah memberikan fasilitas berupa pedoman penghitungan Pajak Masukan bagi PKP dengan peredaran bruto tertentu.
Ketentuan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 (PMK 74/2010). Pada Pasal 2 PMK 74/2010, dijelaskan bahwa PKP yang dapat menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan adalah PKP dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1,8 miliar dalam satu tahun buku.
Penghitungan pajak masukan dibedakan untuk jasa dan barang. Pasal 7 PMK-74/2010 mengatur Pajak Masukan dihitung sebesar 60% dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Sementara itu, untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), Pajak Masukan dihitung sebesar 70% dari Pajak Keluaran. PPN yang disetor merupakan pengurangan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan sehingga penghitungannya menjadi sebagai berikut:
PPN JKP = PK - 60% PK = 40% x PK
PPN BKP = PK - 70% PK = 30% x PK
Pajak Keluaran dihitung dengan mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP yang digunakan adalah jumlah peredaran usaha. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024, PPN untuk BKP dan JKP selain barang mewah dipungut dengan tarif 12% dan menggunakan DPP Nilai Lain 11/12. Secara efektif, PPN yang dipungut adalah 11% dari harga jual atau penggantian.
Dengan demikian, besaran PPN disetor setiap masa pajak bagi PKP yang menggunakan pedoman pengkreditan adalah sebagai berikut:
4,4% dari peredaran usaha untuk penyerahan JKP (40% x 11% x peredaran usaha)
3,3% dari peredaran usaha untuk penyerahan BKP (30% x 11% x peredaran usaha)
Terdapat dua syarat agar PKP dapat menggunakan pedoman penghitungan pajak masukan. Pertama, peredaran usaha dua tahun buku atau tahun kalender sebelumnya tidak melebihi Rp1,8 miliar untuk tiap-tiap tahun buku. Kedua, wajib pajak baru dikukuhkan sebagai PKP.
Selain memenuhi salah satu syarat di atas, PKP yang akan menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala KPP terdaftar. Pemberitahuan dilakukan paling lama pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN pertama dalam tahun buku dimulainya penggunaan pedoman, atau saat batas waktu penyampaian SPT PPN saat dikukuhkan sebagai PKP.
Jika dalam tahun berjalan peredaran usaha melebihi Rp1,8 miliar, PKP wajib beralih menggunakan mekanisme pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran. Mekanisme normal mulai diterapkan untuk masa berikutnya setelah peredaran usaha melewati Rp1,8 miliar. Pedoman dapat digunakan kembali apabila syarat yang disebutkan sebelumnya terpenuhi.
Berbeda dengan ketentuan umum, PKP yang menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan melaporkan SPT Masa PPN dengan format tersendiri. SPT tersebut terdiri atas:
Categories:
Tax LearningJadwal Training