
Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya hubungan istimewa?
Hubungan Istimewa Menurut Undang-Undang
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bahwa Hubungan istimewa dianggap ada apabila memenuhi salah satu atau lebih dari 3 (tiga) kriteria. Pertama, Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Kedua, Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau Ketiga, terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Sebagai informasi bahwa di level Undang-undang, selain di UU PPh , hubungan istimewa juga diatur di UU PPN dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Hubungan Istimewa Menurut Peraturan Menteri Keuangan
Penjelasan mengenai Hubungan Istimewa juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Pasal 4 ayat (1) PMK No. 22/PMK.03/2020 . Hubungan Istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya merupakan keadaan pihak tersebut mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.