Hingga tahun 2023, World Bank mencatat 117 negara telah menerapkan pajak atas minuman berpemanis atau dikenal juga dengan Sugar-Sweetened Beverage Tax (SSB Tax). Penelitian menemukan penerapan SSB Tax menambah penerimaan pajak serta berdampak pada peningkatan harga minuman berpemanis. Di sisi lain, hal tersebut juga menyebabkan turunnya permintaan/konsumsi minuman berpemanis. Pada sektor industri, penerapan SSB Tax ditemukan tidak berdampak pada pekerjaan atau tingkat pengangguran di sektor yang berkaitan dengan produk minuman berpemanis. SSB Tax juga mendorong produsen untuk melakukan formulasi atas produk minuman, sehingga memberikan masyarakat pilihan minuman dengan kadar gula yang lebih rendah.
Peningkatan Harga Minuman Berpemanis
Studi menunjukkan penerapan pajak atas minuman berpemanis berdampak pada peningkatan harga. Penelitian menunjukkan tingkat kenaikan harga yang menjadi beban konsumen akibat penerapan pajak atas minuman berpemanis mencapai 82%.
Kenaikan harga yang terjadi bergantung pada jenis pajak yang diterapkan. Pengenaan cukai dengan tarif spesifik berdasarkan kandungan gula, volume, maupun kombinasi menunjukkan peningkatan harga yang lebih tinggi dibandingkan cukai dengan tarif ad valorem (tarif dikenakan berdasarkan harga). Karena pajak atas minuman berpemanis umumnya dikenakan di level distributor atau manufaktur, tarif cukai ad valorem dikenakan pada harga sebelum markup. Hal ini mengakibatkan dampak yang tidak signifikan pada harga yang ditanggung konsumen akhir.
Penurunan Permintaan
Berbagai studi menemukan implementasi pajak minuman berpemanis berdampak signifikan pada penurunan permintaan/konsumsi minuman berpemanis. Evaluasi yang dilakukan pada tahun 2019 menemukan pengenaan pajak minuman berpemanis sebesar 10% berdampak pada penurunan konsumsi sebesar 10%.
Pada tahun 2022, hasil meta-analisis dari 62 studi menemukan terjadi penurunan penjualan minuman berpemanis sebesar 15%. Namun, perubahan pola konsumsi pada kelompok masyarakat berbeda-beda di tiap negara. Di Spanyol dan Cili, penurunan konsumsi paling tinggi terjadi pada kelompok masyarakat dengan penghasilan tinggi, sedangkan studi lain di kota Philadelphia menemukan penurunan konsumsi paling tinggi terjadi di daerah masyarakat dengan penghasilan rendah.
Tingkat Pekerjaan
Salah satu isu yang muncul dengan rencana pengenaan pajak minuman berpemanis adalah dampak terhadap industri. Industri berpendapat pengenaan pajak mengakibatkan penurunan produktivitas perusahaan, yang dapat memicu hilangnya lapangan pekerjaan.
Namun, beberapa penelitian justru menemukan penerapan pajak minuman bermanis tidak berdampak signifikan pada pekerjaan atau tingkat pengangguran. Studi ini menemukan tidak ada dampak pada tingkat pekerjaan di sektor industri minuman Meksiko pasca diterapkannya cukai minuman sebesar 1 Peso per liter pada Januari 2014. Hal serupa juga ditemukan di Philadelphia pasca penerapan cukai sebesar 1,5 sen per ons pada Januari 2017. Tidak ada dampak signifikan secara statistik dalam tingkat pengangguran bulanan di sektor manufaktur, supermarket, maupun sektor lain yang mungkin terdampak pengenaan pajak atas minuman berpemanis.
Penerimaan Pajak
Tak dipungkiri penerapan pajak atas minuman berpemanis akan berdampak pada penerimaan pajak. Data dari 23 negara menunjukkan rata-rata penerimaan pajak minuman berpemanis sebesar 0,07% dari PDB, dengan jumlah paling tinggi mencapai 0,19% dari PDB. Jumlah tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan pajak atas tembakau maupun minuman beralkohol. Beberapa faktor penyebabnya antara lain tarif yang relatif lebih rendah, elastisitas permintaan yang lebih tinggi, atau objek pajak yang lebih sedikit.
Di sisi lain, masih banyak negara yang belum menerapkan pajak atas minuman berpemanis. Hal ini berpotensi menambah penerimaan pajak bagi negara yang baru menerapkan pajak tersebut. Potensi tersebut mungkin lebih besar dibandingkan dengan meningkatkan tarif pajak/cukai yang telah ada. Sebagai contoh, pada periode 2018/2019 Afrika Selatan mencatat tambahan penerimaan sebesar 3,2 miliar Rad atau sekitar Rp2,7 triliun dari pajak atas minuman berpemanis. Jumlah tersebut setara dengan penerimaan pajak rokok selama 6 tahun.
Reformulasi Produk
Pajak minuman berpemanis dapat mendorong industri untuk melakukan reformulasi produk. Dorongan untuk mengubah komposisi gula dapat terjadi ketika kebijakan pajak didesain dengan tarif spesifik, yang berfokus pada jumlah/volume gula dalam produk. Karena pajak semakin tinggi ketika kandungan gula tinggi, dengan mengurangi jumlah gula dalam minuman produsen dapat menekan beban pajak yang harus ditanggung.
Desain kebijakan tersebut telah terbukti di Afrika Selatan. Studi mencatat terjadi penurunan jumlah volume gula dalam minuman dari 147 ton menjadi 110 ton sejak tahun 2018 sampai dengan 2023.
Di sisi lain, reformulasi produk dapat berdampak pada menurunnya basis pajak, sehingga mengakibatkan penurunan penerimaan pajak. Meskipun begitu, penurunan penerimaan akibat berkurangnya basis pajak menunjukkan kebijakan ini memberikan opsi produk yang lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat.
Dengan potensi yang dimiliki, kebijakan pajak atas minuman berpemanis harus diikuti dengan kebijakan lainnya terkait dampak kesehatan dari konsumsi gula, seperti program yang berfokus dalam penurunan diabetes dan obesitas, perbaikan gizi, serta mendukung pola makan sehat dan kegiatan fisik masyarakat.