Freight forwarding adalah tulang punggung perdagangan lintas internasional. Hampir setiap barang yang dikonsumsi masyarakat modern—pakaian, hingga bahan makanan—pernah melewati jasa freight forwarder. Menurut Grand View Research, pasar freight forwarding global diperkirakan mencapai USD 216,47 miliar pada 2024, dan akan tumbuh ke sekitar USD 285,60 miliar pada 2030 dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (~CAGR) sebesar 4,9% Raksasa logistik seperti DHL Global Forwarding, Kuehne + Nagel, DB Schenker, hingga Maersk Logistics menjadi pemain utama dalam jaringan distribusi lintas benua. Namun, di balik peran vital tersebut, terdapat sisi yang sering menimbulkan perdebatan: transfer pricing (TP). Karena sifat bisnisnya lintas yurisdiksi, transaksi antar entitas afiliasi sulit dihindari. Pertanyaan penting pun muncul: bagaimana menentukan harga transfer yang wajar sesuai prinsip arm’s length?
Freight forwarder bertindak sebagai perantara logistik. Mereka tidak selalu memiliki kapal atau pesawat, tetapi membeli ruang angkut dari shipping line atau maskapai, lalu menjualnya kembali ke eksportir atau importir. Skema ini dikenal sebagai NVOCC (Non-Vessel Operating Common Carrier). Selain itu, model bisnis yang umum yakni:
Forwarder juga menangani berbagai pass-through costs (contoh: biaya terminal, port charges, trucking) yang di-reimburse oleh pelanggan. Masalah muncul ketika biaya ini melibatkan afiliasi lintas negara: apakah reimbursement murni titipan atau bagian dari penghasilan kena pajak?
1. Margin Agen (Mark-up atas Biaya Logistik)
OECD TP Guidelines (2022, Bab II) menekankan pentingnya analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR analysis) untuk menentukan kewajaran margin. Di India, dalam sebuah kasus TP, otoritas pajak mempertanyakan margin operasional yang terlalu rendah dibandingkan benchmark perusahaan logistik pihak ketiga. Misalnya, dalam kasus Net Freight (India) Pvt. Ltd., margin operasional perusahaan sekitar 2,56% dianggap tidak sebanding dengan margin rata-rata pembanding yang berada di kisaran 7–13%. Sengketa ini menegaskan bahwa meski margin tipis adalah ciri industri forwarding, pembanding yang tepat dan dokumentasi yang memadai sangat penting.
2. Intercompany Services (IT, Booking Platform, Manajemen Pusat)
Grup global kerap membebankan biaya IT, global booking platform, atau manajemen pusat ke entitas lokal. OECD TP Guidelines (2022, Bab VII) dan UN TP Manual (2021, Bab Intra-Group Services) menegaskan perlunya benefit test. Dalam praktik Indonesia, isu jasa manajemen lintas negara dapat menimbulkan ruang diskusi dengan otoritas pajak bila tidak terbukti memberi manfaat nyata, meskipun secara administrasi biaya dialokasikan dari induk.
3. Allocation of Profits antara Hub Global dan Agen Lokal
Sengketa muncul terkait di mana laba seharusnya dikenakan pajak: apakah di hub regional (misalnya Singapura atau Hong Kong) yang memegang fungsi strategis, atau di negara tempat agen lokal beroperasi. UN TP Manual (2021, Bab Profit Level Indicators) menekankan bahwa analisis FAR menjadi kunci dalam menentukan pembagian laba, khususnya bagi negara berkembang yang rentan kehilangan basis pajak ketika entitas lokal hanya diperlakukan sebagai agen berisiko terbatas.
Selain itu, literatur akademik juga menyoroti isu serupa. Eden & Amba (2025) menjelaskan bahwa perusahaan multinasional sering membangun centralized hubs untuk aktivitas distribusi atau pengadaan. Dalam konteks ini, Berry Ratio kadang digunakan sebagai indikator laba untuk entitas hub atau agen risiko rendah, karena fungsi dan aset yang dijalankan relatif terbatas. Hal ini memperlihatkan bahwa struktur hub dapat memengaruhi lokasi di mana laba akhirnya dilaporkan.
4. Permanent Establishment (PE) Risk
Agen lokal bisa dianggap dependent agent PE jika memiliki kewenangan kontraktual penuh. OECD Model Tax Convention Commentary (2017, Art. 5) menjelaskan kondisi ini. Dalam kasus di Eropa, pengadilan pernah menyatakan agen freight forwarding sebagai PE karena memiliki kuasa menandatangani kontrak atas nama induk.
5. Interpretasi Tax Treaty (Article 8)
Article 8 OECD Model Tax Convention hanya berlaku bagi operator kapal atau pesawat (shipping lines dan airlines). Freight forwarder, yang pada dasarnya bertindak sebagai perantara logistik, tidak termasuk cakupan Article 8. Oleh karena itu, penghasilannya dikenakan PPh Badan normal, bukan PPh Final Pasal 15.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa isu TP di freight forwarding sangat sensitif. Di India dan Brasil, tribunal pajak menegaskan bahwa margin rendah dan reimbursements harus didukung justifikasi ekonomis. Di Indonesia, beberapa putusan memperlihatkan hal serupa:
Freight forwarding memiliki karakter unik: biaya titipan besar, margin tipis, jaringan global yang kompleks, dan transaksi intra-grup yang intensif. Semua ini menjadikan TP di sektor ini rawan sengketa. Bagi perusahaan, tantangannya adalah mendokumentasikan TP dengan jelas, membuktikan margin sesuai kondisi pasar, serta memisahkan reimbursements dari penghasilan. Bagi otoritas pajak, tantangannya adalah memahami model bisnis forwarder, agar interpretasi tidak keliru. Akhirnya, isu TP di freight forwarding bukan sekadar teknis fiskal, ini adalah refleksi dari keadilan dalam membagi laba global sesuai fungsi, aset, dan risiko yang dijalankan. Dengan transparansi, pemahaman industri, dan kepatuhan lintas yurisdiksi, sengketa bisa diminimalkan, dan industri logistik dapat tumbuh beriringan dengan kepastian pajak.
Categories:
Artikel PajakTagged:
Jadwal Training