Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

Bagaimana Penerapan Arm’s Length Principle dalam Transaksi Reimbursement?

tawatchai01 / freepik

Untuk mencapai efisiensi biaya karena sumber daya yang tersedia dan kemudahan administrasi, banyak perusahaan multinasional dan domestik yang melakukan beberapa transaksi dengan dan atas nama satu sama lain dengan mekanisme reimbursement. Transaksi ini pada dasarnya dilakukan tanpa niat untuk menghasilkan keuntungan. Namun, penggantian biaya atau reimbursement kerap diabaikan dari perspektif penentuan harga transfer. Lalu, bagaimanakah sesungguhnya perlakuan transaksi reimbursement dalam penerapan arm’s length principle?

Pengertian Reimbursement

Reimbursement merupakan istilah untuk mengganti atau menagihkan kembali. Reimbursement adalah sejumlah uang yang ditagih oleh pihak ketiga ke pihak penerima jasa melalui pemberi jasa. Dalam transaksi reimbursement, pihak ketiga akan memberikan tagihan pembayaran kepada pihak penerima jasa berdasarkan jasa yang diberikan oleh pemberi jasa dengan atau tanpa imbalan. Transaksi pembayaran tersebut akan dilakukan oleh penerima jasa ke pihak ketiga atas dokumen pendukung dari pemberi jasa. 

Sedangkan pengertian reimbursement yang diatur dalam ketentuan perpajakan sebagai berikut: 

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 dari UU PPN, disebutkan bahwa:

“Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.”

Adapun pengertian lebih lanjut mengenai penggantian terdapat pada Pasal 1 angka 19 UU PPN yang menyebutkan bahwa: 

“Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.”

Jadi, reimbursement atau penggantian kembali biaya-biaya yang sudah dikeluarkan pada hakekatnya merupakan transaksi utang piutang. Pihak pertama akan mengeluarkan biaya kepada pihak ketiga dengan syarat biaya tersebut akan di reimburse kepada pihak kedua. Sehingga, pihak pertama seolah-olah menalangi pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan oleh pihak kedua. 

Penerapan Reimbursement dalam Pajak 

Berdasarkan surat penegasan mengenai reimbursement, adapun aspek PPN harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

  1. Terdapat perjanjian terkait transaksi reimbursement 
  2. Bukti tagihan diserahkan kepada penanggung beban sesungguhnya; dan
  3. Tidak ada mark up/down nilai atau harga.

Dengan demikian, dalam hal pergantian terdapat suatu jumlah yang  ditagih oleh perusahaan yang berasal dari pihak ketiga dengan membuat tagihan langsung atas nama pihak pertama, dan pihak kedua  hanya sebagai penyalur/perantara/pihak yang menalangi pembayaran, maka jumlah dalam tagihan tersebut bukan merupakan penggantian yang jadi dasar pengenaan pajak, karena dianggap sebagai reimbursement. Namun, jika tagihan tersebut atas nama pihak kedua, lalu pihak kedua membuat tagihan baru untuk pihak pertama, maka jumlah dalam tagihan tersebut merupakan dasar pengenaan PPN. Dengan demikian, perlakuan PPN atas reimbursement ditentukan oleh tagihan pembayaran/invoice. 

Sedangkan berdasarkan UU PPh, pembayaran penggantian biaya (reimbursement) merupakan penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga. Transaksi harus dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga. Sehingga, apabila faktur tagihan diterbitkan oleh pihak ketiga langsung ke pihak pertama, dan pihak kedua reimbursement ke pihak pertama, maka pihak kedua tidak boleh mencatat sebagai penghasilan dan tidak boleh membebankan pembayaran ke pihak ketiga sebagai biaya.

Namun, jika faktur tagihan diterbitkan oleh pihak ketiga atas nama pihak kedua, maka perlu memperhatikan core bisnis dan transaksi yang dilakukan. Apabila pihak kedua memberikan jasa kepada pihak pertama, dan jasa tersebut merupakan jasa yang diatur dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c UU PPh atau merupakan jenis jasa lain dalam PMK 141 Tahun 2015, dan tagihan dibuat oleh pihak kedua atas nama pihak pertama, maka pihak pertama tetap memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% atas transaksi tersebut.

Penerapan ALP atas Transaksi Reimbursement

Untuk memahami penerapan ALP dalam transaksi reimbursement, simak contoh berikut ini. Pada tahun 2022, PT A memiliki pegawai yang berasal dari luar negeri (expatriate). Atas gaji dan tunjangan yang dibayarkan untuk expatriate tersebut selama di Indonesia akan dibayarkan oleh PT A dalam dua mata uang yaitu IDR dan JPY. Dalam hal pembayaran dalam bentuk mata uang JPY sebesar Rp1.000.000.000,-., akan dibayarkan terlebih dahulu oleh pihak afiliasi kepada para expatriate tersebut. Setelah itu, pihak afiliasi akan menagihkan kepada PT A sejumlah biaya yang dikeluarkan tanpa dikenakan mark-up.

Sesuai dengan contoh di atas, bahwa atas pembayaran reimbursement tersebut, pihak afiliasi membayarkan terlebih dahulu kemudian menagihkan kepada PT A sejumlah beban yang dikeluarkan pihak afiliasi tanpa dikenakan mark-up. Pada transaksi ini, pihak afiliasi hanya berperan sebagai perantara. Atas transaksi tersebut tidak diakui sebagai beban oleh PT A dan tidak diakui sebagai penghasilan oleh pihak afiliasi. Dengan demikian, atas pembayaran reimbursement tersebut tidak dilakukan analisis ekonomi lebih lanjut untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Jika pihak kedua secara substansi memang memberikan jasa kepada pihak pertama, pihak kedua seharusnya melakukan mark-up atas tagihan kepada pihak pertama. Dengan demikian, transaksi tersebut perlu dilakukan pengujian untuk menentukan kondisi dalam transaksi antar pihak afiliasi sebanding dengan kondisi dalam transaksi antar pihak independen sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.