Sistem Pemajakan Atas Dividen Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dalam UU Nomor 36 Tahun 2008

sistem_123A. Pendahuluan

Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru (UU Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dalam UU Nomor 36 Tahun 2008) menyebutkan bahwa dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) diturunkan setinggi-tingginya 10% dan bersifat final. Semula dividen WPOP ini dikenakan tarif progresif sampai dengan maksimum 35%. Lebih lanjut, pembebasan PPh atas dividen yang diterima WP Badan dalam negeri yang berasal dari penempatan (penyertaan modal) pada WP badan dalam negeri lainnya, dibebaskan dari persyaratan harus menjalankan usaha aktif. Dengan perubahan UU PPh ini persyaratan pembebasan pajak atas dividen menjadi semakin ringan.

Penurunan tarif dan fleksibilitas persyaratan atas pemajakan dividen di atas, diharapkan akan berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing Negara Indonesia untuk menarik investasi baik dari penanaman modal domestik maupun asing. Penanaman modal tadi, lebih lanjut diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap keberlanjutan roda perekonomian nasional dengan multiflier effect-nya dalam bentuk antara lain: memperluas dan menambah kesempatan kerja sehingga tingkat pengangguran dapat diperkecil, meningkatkan daya beli masyarakat, dan menggerakkan perekonomian sektor riil lebih bergairah.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas aspek makro berupa dampak pengenaan pajak atas dividen terhadap perekonomian nasional. Sebaliknya, tulisan ini hanya menyoroti masalah overtaxation pengenaan pajak atas dividen berdasarkan UU PPh yang baru, komparasinya dengan ketentuan UU yang sebelumnya berlaku.

B. Pemajakan atas korporasi dan pemiliknya

Orang pribadi (individual) dan badan (corporation) merupakan dua subjek pajak yang berbeda dan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi (individual income) dan korporasi (corporation income) tersebut dikenakan pajak secara terpisah.

Pada dasarnya, pajak yang dikenakan pada tingkat korporasi juga menjadi beban bagi pemegang saham karena pajak tersebut akan mengurangi bagian keuntungan (dividen) yang akan diterima atau diperoleh pemilik korporasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pajak yang dikenakan pada tingkat korporasi dipikul dan ditanggung juga oleh orang pribadi sebagai pemegang saham. Dari legal perspective pemajakan terhadap korporasi dan pemegang sahamnya secara terpisah tersebut dapat dibenarkan karena secara hukum kedudukan perseroan dan pemegang saham adalah berbeda (separate legal entity)[1].

Justifikasi lain atas pengenaan pajak terhadap laba korporasi dan pemiliknya, diungkapkan oleh Ken C. Messere[2] sebagaimana dilansir juga oleh R. Mansury[3]. Pembenaran tersebut dikarenakan korporasi mempunyai status badan hukum dengan hak-hak dan kewajiban sendiri, sehingga seperti halnya orang pribadi harus juga dikenakan pajak atas penghasilannya. Alasan lainnya disebutkan oleh Kath Nightingale[4]yang berpendapat karena korporasi memiliki hak-hak istimewa berupa tanggung-jawab yang terbatas (limited liability), sehingga dengan hak istimewa yang dimilikinya  tersebut maka wajar kalau korporasi harus membayar pajak.

Sebagai suatu pajak atas penghasilan dari ekuitas (return on equity), maka pajak atas korporasi (corporation income tax) berkaitan dengan pajak penghasilan orang pribadi (individual income tax) sebagai pemegang saham dari korporasi tersebut. Hal ini disebabkan karena penghasilan korporasi akan menjadi  penghasilan (dalam bentuk dividen) bagi pemiliknya. Dengan demikian, apabila laba dari suatu korporasi yang sudah dikenakan pajak di tingkat korporasi dan dikenakan pajak lagi terhadap orang pribadi sebagai pemegang saham pada saat penghasilan tersebut diterima sebagai dividen, maka akan terjadi dua kali pemajakan atas penghasilan yang sama tersebut. Fenomena pemajakan atas penghasilan yang sama lebih dari sekali tersebut dinamakan sebagai economic double taxation[5]. Pengertian economic double taxation ini berbeda dengan pengertian  juridical double taxation yang menurut Klaus Vogel[6] terjadi apabila atas penghasilan yang sama dari wajib pajak yang sama dikenakan pajak oleh dua negara yang berbeda.
Sijbren Cnossen menjelaskan skema hubungan antara pemajakan atas korporasi dengan orang pribadi sebagai pemegang saham, dalam tabel berikut ini :

Table 1

Hubungan Pemajakan atas Korporasi dan Pemegang sahamnya

Hubungan Pemajakan

Sumber: Sijbren Cnossen,”What Kind of Corporate Tax?”,1993, hal. 42

Dari skema di atas, terdapat berbagai bentuk sistem pemajakan atas korporasi terkait dengan orang pribadi sebagai pemegang sahamnya, yang dapat dipilih oleh suatu jurisdiksi pajak. Perbedaan antara sistem yang satu dengan sistem yang lain terletak pada seberapa luas sistem-sistem pemajakan atas korporasi tersebut berintegrasi dengan pajak penghasilan orang pribadi sebagai pemegang saham dari korporasi tersebut. Dalam konteks umum sistem pemajakan atas korporasi dan dividen yang diterima pemegang sahamnya, kita dapat melihatnya dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu: (i) Korporasi dipandang sebagai entitas (legal) yang terpisah dengan pemegang sahamnya, sehingga laba korporasi dikenakan pajak tersendiri dan terpisah dari pemegang sahamnya (classical system); dan (ii) Korporasi dipandang sebagai sarana/alat untuk mendapatkan penghasilan oleh orang pribadi sebagai pemegang saham sehingga atas laba yang dihasilkan oleh korporasi (baik nantinya dibagikan atau tidak sebagai dividen kepada pemegang saham) harus dikenakan pajak di tingkat orang pribadi sebagai pemegang saham dari korporasi tersebut (pass-through atau conduit system).

Pada prakteknya, integrasi pajak korporasi dengan pajak penghasilan orang pribadi sebagai pemegang saham terbatas terhadap laba yang dibagikan (dividen), bentuk tersebut disebut sebagai partial integration atau sering disebut sebagai keringanan dividen (dividend relief). Integrasi atas keringanan dividen dapat dilakukan pada:

  1. Tingkat Korporasi (Corporate Level)
    Keringanan dividen (dividend relief) pada tingkat korporasi dilakukan dengan cara mengurangkan dividen terhadap penghasilan kena pajak korporasi, sehingga perlakuannya kurang lebih sama dan sebangun dengan perlakuan biaya bunga yaitu diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Sistem tersebut disebut dengan dividend-deduction system. Pendekatan lainnya disebut sebagai split-rate system, berdasarkan pendekatan ini dividen dikenakan pajak berdasarkan tarif yang lebih rendah dari pada tarif untuk laba yang tidak dibagi (retained earning).
  2. Tingkat Pemegang Saham (Corporate Shareholder Level)
    Keringanan dividen (dividend relief) dilakukan secara sistematis berdasarkan sistem imputasi (imputation system). Menurut Charles . McLure (1979:252) sistem imputasi merupakan metode keringanan dividen di mana sebagian atau seluruh dividen yang dibagikan “ditambahkan” kepada pemegang saham dan pajak yang dikenakan atas perseroan tersebut diperlakukan sebagai kredit pajak terhadap pajak penghasilan yang terutang dari pemegang saham tersebut. Sistem imputasi dapat dilakukan dengan variasi cara penuh (full imputation) atau dengan cara sebagian (partial imputation). Keringanan dividen dapat juga diberikan dengan cara scheduler treatment yaitu dividen yang diterima oleh individu tetap dikenakan pajak di tingkat pemegang saham tetapi atas dividen yang diterima tersebut akan diberikan kredit pajak dengan tarif tertentu. Selain itu, keringanan dividen di tingkat pemegang saham dapat pula diberikan melalui pengecualikan penghasilan dividen sebagai objek pajak (dividend exemption system).

Pemajakan secara dua kali atas penghasilan yang bersumber dari korporasi yang diterima atau diperoleh oleh pemilik tentunya akan menimbulkan beban pajak yang berlebihan (overtaxation). Berkaitan dengan isu economic double taxation yang menimbulkan beban pajak yang berlebihan tersebut, tulisan ini bermaksud mengulas komparasi sistem pemajakan atas dividen berdasarkan UU PPh yang berlaku dan RUU PPh yang rencananya berlaku efektif mulai 1 Januari 2009. Tulisan ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah beban pajak berlebihan (overtaxation) atas sistem pemajakan dividen dapat dieliminir untuk merangsang pelaku usaha (investor) dalam menanamkan modalnya membentuk korporasi di Indonesia.

C. Sistem pemajakan dividen menurut ketentuan UU PPh yang sekarang berlaku

Dalam konteks pemajakan atas korporasi dan pemiliknya, UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir oleh UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh (selanjutnya disingkat UU PPh yang sekarang berlaku) menganut classical system, dimana korporasi dipandang sebagai suatu entitas terpisah (separate entity) dari pemiliknya sehingga baik korporasi tersebut maupun pemegang sahamnya akan dikenakan pajak tersendiri. Konsekuensi penerapan sistem klasikal ini adalah bahwa penghasilan yang bersumber dari korporasi (corporate source income) akan dikenakan pajak dua kali yaitu pada tingkat korporasinya itu sendiri dan pada tingkat pemilik/pemegang saham (saat pendistribusian dividen). Pengenaan pajak di dua level: korporasi dan pemegang saham ini, oleh Sijbren Cnossen[7], menyebabkan overtaxation bagi pemilik, terutama apabila pemilik adalah pemegang saham individu. 

Indonesia, dalam UU PPh yang berlaku, menyediakan fasilitas pengecualian obyek pajak terhadap dividen antarkorporasi (intercorporate dividend) yang memenuhi persyaratan tertentu sehingga efek overtaxation sistem klasikal sedikit dieliminasi. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f yang mengatur bahwa “dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: (i) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan (ii) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut, dikecualikan dari obyek pajak”. Dengan demikian distribusi dividen kepada pemilik tidak dikenakan pajak di tingkat pemegang saham dan tidak ada kewajiban pemotongan pajak bagi pihak korporasi atas pembayaran dividen tadi kepada pemegang saham.

Akan halnya dengan pemegang saham lainnya, seperti pemilik pribadi maupun pemegang saham yang berbentuk korporasi lainnya yang tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dapat menikmati fasilitas pengecualian dividen sebagai obyek pajak. Akibatnya, dividen yang mereka terima akan menambah penghasilan mereka untuk dikenakan pajak di tingkat pemegang saham (apabila pemegang sahamnya berstatus wajib pajak orang pribadi, akan terkena tarif progresif pasal 17 dengan tarif tertinggi 35%; sementara pemegang saham wajib pajak korporasi dalam negeri akan dikenakan tariff maksimum 30%). Mekanisme pemotongan pajak (withholding tax) juga akan diterapkan oleh pihak korporasi pembayar dividen yang oleh pihak pemegang saham, pajak atas dividen yang dipotong tersebut akan dikreditkan pada perhitungan PPh akhir tahunnya.

Untuk lebih jelasnya, penulis memberikan contoh ilustrasi perhitungan pajak atas sistem klasikal yang diterapkan di Indonesia, sebagai berikut:

ILUSTRASI 1:

Laba kena pajak suatu korporasi (sebut saja PT. A) di tahun pajak 2008 adalah sebesar Rp 1.000.000.000. Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), disepakati bahwa laba setelah pajaknya dibagikan seluruhnya sebagai dividen kepada pemegang sahamnya.

Apabila pemegang saham PT. A tersebut adalah orang pribadi dengan status WPDN, maka perhitungan keseluruhan beban pajak korporasi dan dividen tersebut, adalah:

Hitungan1

Dari perhitungan angka-angka di atas, dapat dijelaskan bahwa laba kena pajak sebesar Rp 1.000.000.000 dikenakan pajak di tingkat korporasi sebesar Rp 282.500.000. Laba setelah pajak yang dibagikan seluruhnya sebagai dividen sebesar Rp 717.500.000 akan dikenakan pajak lagi di tingkat pemilik sebesar Rp 217.375.000. Total beban pajak korporasi dan orang pribadi adalah sebesar Rp 499.875.000, yang jika dibandingkan dengan laba kena pajak korporasi senilai Rp 1.000.000.000 (corporate source income), maka tarif efektif pajak-nya adalah sebesar 49,99%. Dibandingkan dengan tarif pajak orang pribadi sebagai pemilik korporasi, maka penghasilan dividen akan dikenakan pajak secara berlebih (overtaxation) sebesar 42,82% [(49,99%-28,25%):28,25%].

Apabila seluruh laba tidak dibagikan sebagai dividen, maka tarif pajak efektif bagi pemegang saham individu adalah maksimum sebesar 28,25% atau maksimal sama dengan tarif tertinggi pajak untuk korporasi. Dengan demikian, apabila tarif pajak efektif sebesar 28,25% tersebut dibandingkan dengan tarif pajak orang pribadi sebagai pemilik korporasi, maka penghasilan dividen mengalami undertaxation sebesar 19,29% [(28,25%-35%):35%]. Sementara undertaxation sebesar 5,83% [(28,25%-30%):30%] juga akan terjadi apabila distribusi dividen dalam kasus di atas sepenuhnya diberikan kepada pemegang saham korporasi, akibat ketentuan intercorporate dividend yang dikecualikan sebagai obyek pajak.

Dari sudut pandang penerimaan Negara, sistem klasikal ini akan memberikan penerimaan yang cukup besar. Akan tetapi dari sudut pandang Wajib Pajak orang pribadi sebagai pemegang saham, sistem klasikal ini menimbulkan beban pajak yang memberatkan.

D. Sistem pemajakan dividen menurut ketentuan UU PPh Baru

Beberapa poin penting dalam ketentuan RUU PPh yang perlu mendapat catatan dalam kaitannya dengan sistem pemajakan korporasi dan dividen, adalah bahwa[8]: (i) tariff PPh badan menjadi tariff tunggal (flat rate) dan diturunkan menjadi 28% di tahun 2009 dan menjadi 25% di tahun 2010; (ii) bagi WP badan berskala kecil (UMKM) diberikan fasilitas pengurangan tariff sebesar 50% dari tariff normal untuk peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-; (iii) bagi perusahaan yang masuk bursa (go public) diberikan penurunan tariff sebesar 5% dari tariff normal dengan beberapa persyaratan, diantaranya minimal 40% sahamnya dimiliki oleh masyarakat; (iv) dividen yang diterima oleh WPOP diturunkan menjadi setinggi-tingginya 10% dan bersifat final; (v) pembebasan pajak atas intercorporate dividend dalam kerangka Pasal 4 ayat (3) huruf f tidak lagi mensyaratkan adanya usaha aktif bagi pemegang saham; dan (vi) penurunan tarif pajak bagi WPOP menjadi maksimal 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500.000.000,- dan menyederhanakannya menjadi 4 lapisan tariff dari semula 5 lapis.

Dalam kaitannya dengan pemajakan atas dividen yang diterima dari korporasi kepada pemiliknya yang berstatus Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), maka pihak korporasi hanya berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebesar maksimum 10% dan bersifat final. Pengenaan bersifat final memiliki pengertian bahwa pajak yang dipotong korporasi tadi tidak dapat dijadikan sebagai kredit oleh pemegang saham dan dividen tersebut tidak perlu lagi digabung (digunggung) pada saat pemegang saham WPOP tersebut menghitung pajak penghasilan terutangnya di akhir tahun (no combination of income, no tax credit). Akan halnya dengan pemilik korporasi yang berstatus WP badan, fasilitas pengecualian intercorporate dividend sebagai obyek pajak tetap dipertahankan bahkan diberikan kelonggaran karena satu persyaratan yang sering menimbulkan konflik dalam praktik di lapangan, yaitu persyaratan menjalankan usaha aktif bagi pemegang saham, telah dihapus. Dengan perubahan ini persyaratan pembebasan pajak atas dividen antarkorporasi menjadi semakin ringan.

ILUSTRASI 2:

Laba kena pajak PT. A di tahun pajak 2009 adalah sebesar Rp 1.000.000.000. Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), disepakati bahwa laba setelah pajaknya dibagikan seluruhnya sebagai dividen kepada pemegang sahamnya.

Perhitungan pajak berdasarkan ketentuan RUU PPh baru yang akan efektif di tahun 2009, menggunakan ilustrasi di atas, menghasilkan angka-angka sebagai berikut (dalam Rupiah):

Hitungan2

Dari perhitungan angka-angka di atas, dapat dijelaskan bahwa laba kena pajak sebesar Rp 1.000.000.000 dikenakan pajak di tingkat korporasi sebesar Rp 280.000.000. Laba setelah pajak yang dibagikan seluruhnya sebagai dividen sebesar Rp 720.000.000 tidak akan dikenakan pajak lagi di tingkat pemilik karena telah dilakukan pemotongan pajak final sebesar 10% oleh pihak korporasi sebesar Rp 72.000.000. Total beban pajak korporasi dan orang pribadi adalah sebesar Rp 352.000.000 jauh merosot turun dari total beban pajak menurut UU PPh yang berlaku sekarang sejumlah Rp 499.875.000. Dibandingkan dengan laba kena pajak korporasi senilai Rp 1.000.000.000 (corporate source income), maka tarif efektif pajak-nya menjadi 35.20% dari semula sebesar 49,99%, sehingga penghasilan dividen akan dikenakan pajak secara berlebih (overtaxation) sebesar 17,33% berdasarkan komparasi tarif maksimumnya yang turun menjadi 30% [(35,20%-30%):30%].

Apabila seluruh laba tidak dibagikan sebagai dividen, maka tarif pajak efektif bagi pemegang saham individu adalah maksimum sebesar 28% sama dengan tarif tertinggi pajak untuk korporasi. Dengan demikian, apabila tarif pajak efektif sebesar 28% tersebut dibandingkan dengan tarif pajak orang pribadi sebagai pemilik korporasi, maka penghasilan dividen mengalami undertaxation sebesar 6,67% [(28%-30%):30%].

Memang penerimaan pajak ke Kas Negara akan berkurang seiring dengan penurunan tarif pajak di tingkat korporasi dan pemegang saham WPOP, namun pihak Direktorat Jenderal Pajak optimis target penerimaan akan tetap tercapai karena pertumbuhan faktor ekonomi, peningkatan kepatuhan, peningkatan penerimaan sektor tertentu disamping upaya ekstensifikasi dan extra effort[9].

E. Penutup

Efek overtaxation atas pemajakan dividen di tingkat pemegang saham akan merosot secara siginifikan (sebesar 25,49%) apabila UU PPh baru menjadi efektif di tahun 2009. Hal ini utamanya diindikasikan oleh: (i) terjadinya pengurangan tarif efektif pajak di tingkat pemegang saham atas penghasilan dividen yang diterima dari korporasi dari 49,99% berdasarkan UU PPh yang sekarang berlaku menjadi 35,20%; (ii) perubahan tarif pajak atas dividen di tingkat pemegang saham berstatus WPOP dari semula dikenakan PPh dengan tarif progresif maksimum 35% menjadi flat rate 10% yang bersifat final. 

Meski secara legal drafting UU PPh yang baru masih mengadopsi sistem klasikal terhadap pemajakan laba korporasi dan distribusi dividen kepada pemegang saham, namun penurunan efek overtaxation secara siginifikan tersebut setidaknya memperkecil kesenjangan antara penerapan sistem klasikal di satu kutub dan sistem conduit (full integration) di kutub yang lain. Harapannya kemudian adalah UU PPh baru dapat merangsang aktivitas usaha (bisnis) masyarakat karena imbal balik penanaman modal (return on investment) dari pembentukan korporasi sebagai sarana mencari laba, menjadi lebih besar dan ”menjanjikan”.

SEMOGA…

F. Referensi

Cnossen, Sijbren. “What kind of Corporation Tax?” dalam Cendric Sandford, Key Issues in Tax Reform, Perrymead, Bath: Fiscal Publications, 1993.

Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia. ”Hasil Akhir Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan yang Telah Disetujui Pansus Perpajakan DPR”, Siaran Pers, Jakarta, 21 Juli 2008.

Gunadi. “Beberapa Pilihan Pemajakan Perseroan: Hubungan Pemajakan dengan Pemegang Saham.” dalam Berita Pajak No. 1386/Tahun XXXI/ 1 Januari 1999.

Harris, Peter A.Corporate/Shareholder Income Taxation and Allocating Taxing Rights between Countries: A Comparison of Imputation Systems. Amsterdam: IBFD Publications, 1996.

Lyon, Susan M. Tax Glossary. Amsterdam: IBFD Publication BV, 1996.

Mansury R. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILL-Co, September 1996.

________. Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), Mei 2000.

Messere, Ken C. Tax Policy in OECD Countries, Choices and Conflicts. Amsterdam: IBFD Publications BV, 1993.

Nightingale, Kath. Taxation : Theory and Practice. London : Prentice Hall, Third Edition,  2000.

Vogel, Klaus. Principle of Tax Treaty Law. Vienna: Vienna University of Economics and Business Administration, 2004.


[1] Peter A. Harris, Corporate/Shareholder Income Taxation and Allocating Taxing Rights between Countries: A Comparison of Imputation Systems, Amsterdam: IBFD Publications, 1996, Hal 42-43.

[2] Ken C. Messere, Tax Policy in OECD Countries, Choices and Conflicts. Amsterdam : IBFD Publications BV, 1993.

[3] R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: IND-HILL-Co, September 1996 dan dalam Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), Mei 2000, Hal 16.

[4] Kath Nigthingle, Taxation: Theory and Practice, London: Prentice Hall, Third Edition, 2001, Hal. 30.

[5] Susan M. Lyon, International Tax Glossary, Amsterdam: IBFD Publication BV, 1996.

[6] Klaus Vogel, Principle of Tax Treaty Law, Vienna: Vienna University of Economics and Business Administration, 2004, Hal. 1.

[7] Sijbren Cnossen, “What Kind of Corporation Tax?” dalam Cendric Sandford, Key Issues in Tax Reform, Perrymead, Bath : Fiscal Publications, 1993.

[8] Lihat ketentuan perubahan dalam RUU PPh yang telah disetujui Pansus DPR, terutama pada pasal-pasal: 4 ayat (3) huruf f, 17 ayat (1), (2), (2a), (2b), (2c), (3) dan 31E ayat (1).

[9] Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia. ”Hasil Akhir Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan yang Telah Disetujui Pansus Perpajakan DPR”, Siaran Pers, Jakarta, 21 Juli 2008, Hal 3.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait