Isu terkait sanitasi serta pengelolaan air limbah masih jarang dibicarakan. Padahal, air dan sanitasi yang aman juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Untuk mendorong penyediaan pengelolaan air limbah, serta sanitasi yang layak dan aman, salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam rangkaian acara Indonesia Water and Wastewater Expo and Forum (IWWEF) 2023 (Kamis, 7/6/2023), Profesor Haula Rosdiana, menjelaskan bahwa PPN menjadi salah satu heavy burden bagi penyedia layanan pengelolaan limbah. Tidak hanya dari sisi PPN Keluaran yang berdampak ke pengguna jasa, tetapi juga dari sisi PPN Masukan. Insentif PPN menurutnya tepat diberikan karena dapat mengurangi beban operasional bagi penyedia layanan pengelolaan limbah.
Menurut Guru Besar Perpajakan UI tersebut, bentuk insentif yang tepat diberikan untuk layanan pengolahan air limbah adalah pembebasan PPN. “Yang lebih pas itu adalah diberikan fasilitas PPN dibebaskan, dengan tidak ada kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak. Jadi tidak ada aspek administrasinya,” ujarnya.
Untuk menentukan jenis insentif yang tepat, perlu diperhatikan karakteristik pelaku usaha. Dalam konteks pengelolaan air limbah, penyediaan dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penugasan. Jika diberikan fasilitas PPN Tidak Dipungut, menurutnya masih terdapat beban pengadministrasian faktur pajak. Fasilitas PPN Dibebaskan dianggap lebih tepat karena tidak menimbulkan kewajiban administrasi faktur pajak.
Berbicara tentang insentif pajak, tentu juga tidak lepas dengan isu penerimaan. Pemberian insentif dapat berpengaruh dalam menurunnya penerimaan pajak. Namun, Haula Rosdiana menegaskan jika diberikan insentif, dampak terhadap penerimaan sangat kecil. “Revenue forgone-nya sangat kecil,” ujarnya. Eksternalitas negatif akibat mengabaikan pengelolaan air limbah menurutnya jauh lebih besar dampaknya dibandingkan kehilangan penerimaan PPN. Misalnya, data dari Bappenas menunjukkan tingkat stunting di Indonesia meningkat 4 kali lipat yang salah satu faktornya adalah kurangnya akses air bersih.
Karena merupakan kebutuhan mendasar, menurut Haula Rosdiana, pemerintah sudah selayaknya membuat kebijakan pajak yang komprehensif, holistik, dan imparsial dalam menangani masalah sanitasi. Pemerintah sepatutnya menunjukkan keberpihakan atas isu ini. Ia pun membandingkan bagaimana pemerintah menyusun kebijakan terkait insentif untuk kendaraan listrik.
Kendaraan listrik diberikan berbagai macam insentif fiskal dan non fiskal. Di antaranya insentif bea masuk untuk importasi kendaraan maupun komponen utama, serta insentif PPN dan PPnBM. Konsumen juga diberikan insentif berupa bantuan pembelian kendaraan listrik berbasis baterai sebesar Rp7 juta per unit.
Terkait sanitasi, hingga saat ini hanya air bersih yang mendapat fasilitas PPN. Pengelolaan limbah yang sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, yang merupakan hak asasi, belum mendapatkan insentif. “Kalau tadi pemerintah all out terhadap kendaraan listrik, mulai dari hulu ke hilirnya diberikan (insentif pajak), kenapa ini tidak? Apalagi kalau tadi bicara sanitasi, itu hak asasi manusia, itu tugasnya pemerintah, itu ada amanah konstitusi,” jelasnya.