Beberapa negara telah melakukan upaya unilateral di dalam merespons ekonomi digital. Kondisi ini terjadi akibat ketentuan yang berlaku selama ini tidak dapat mengantisipasi perkembangan ekonomi digital yang dapat mendorong pelaku usaha untuk melakukan penghindaran pajak. Tindakan unilateral yang dilakukan beberapa negara, di antaranya pemberlakuan pajak tertentu atas penjualan melalui platform online. BEPS 2.0 merupakan upaya mengkonsolidasi respons unilateral oleh negara-negara tersebut terhadap ekonomi digital tersebut. Dengan BEPS 2.0, terdapat konsensus bersama antar negara-negara yang terlibat dalam BEPS 2.0 sehingga dapat menghindari respons unilateral yang tidak selaras dan pajak berganda (KPMG: BEPS 2.0 What you need to know).
BEPS 2.0 terdiri atas dua pilar, yakni Pilar Satu terkait dengan redistribusi hak perpajakan dengan pengenalan nexus baru dan Pilar Dua dimaksudkan untuk menjamin tingkat minimum perpajakan tertentu (ITR: Indonesia’s vital breaktrough with BEPS two pillar solution). Dalam Pilar Satu, hak pemajakan tidak lagi didasarkan pada persyaratan keberadaan fisik mengingat pada ekonomi digital tidak lagi diperlukan lagi adanya keberadaan fisik dari suatu usaha, seperti kantor, gudang, atau fasilitas fisik lainnya. Ketentuan realokasi profit berlaku untuk grup perusahaan multinational yang memiliki omset global lebih dari EUR 20 Milyar dan profitabilitas di atas 10% (OECD: Fact Sheet Amount A).
Pada Pilar Dua diatur ketentuan mengenai tarif pajak minimum yang dikenakan di yurisdiksi dimana perusahaan multinational beroperasi (OECD, The Pillar Two in a Nutshell). Grup perusahaan multinasional yang memiliki omset tahunan sebesar EUR 750 juta atau lebih setidaknya dalam 2 dari 4 tahun terakhir tunduk pada ketentuan Pilar Dua. Terdapat 3 mekanisme ketentuan pajak minimum di dalam Pilar Dua, yakni: (1) Subject to Tax Rule (STTR): yurisdiksi sumber penghasilan mengenakan selisih pajak atas pembayaran bunga, royalti, jasa tertentu, atau biaya lain yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan tarif pajak kurang dari 9%; (2) Income Inclusion Rule (IIR): ketentuan yang mewajibkan “induk” dari suatu grup perusahaan multi nasional (atau bagian dari grup perusahaan multi nasional) untuk membayar pajak penghasilan tambahan (top-up) atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15%.; (3) Undertaxed Payment Rule (UTPR): dalam hal ketentuan IIR tidak dapat diterapkan karena perusahaan induk berada di yurisdiki dengan tarif rendah atau tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya, maka negara domisili anak usaha dapat membebankan pajak tambahan atau pembatalan pengurangan biaya atas anak usaha tersebut, dengan jumlah setara dengan besarnya top-up tax (Santoso: Menyongsong Pilar 2 BEPS 2.0 – Global Minimum Tax vs Tax Holiday Regime).
Sebagai komitmen dari pelaksanaan BEPS 2.0, Pemerintah Indonesia melalui Pasal 32A huruf b UU Penghasilan sebagaimana terakhir diubah dengan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah diberi kewenangan untuk melaksanakan perjanjian BEPS sebagaimana dikutip berikut ini:
“Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka: … (b) pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba.”
Lebih lanjut, di dalam ayat penjelasan Pasal 32A huruf b dijelaskan definisi penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba” adalah strategi perencanaan pajak yang bertujuan memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antarnegara/yurisdiksi yang berbeda, yang salah satu caranya adalah dengan memindahkan laba ke negara atau yurisdiksi yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah dan yang tidak ada atau kecil kontribusi kegiatan substansi ekonominya dengan tujuan untuk tidak membayar pajak di negara atau yurisdiksi manapun atau mengurangi pajak yang terutang.”
BEPS 2.0 diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf (b) juncto Pasal 52, 53 dan 54 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Bidang Pajak Penghasilan. Secara khusus, Pilar Dua diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 sebagai berikut:
- Dalam mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan, dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud di Pasal 52.
- Ketentuan mengenai pengenaan pajak minimum global berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Sampai dengan saat ini peraturan menteri keuangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 belum diterbitkan. Namun dapat diprediksi bahwa penerapan tarif pajak minimum berimplikasi pada kebijakan pemberian insentif pajak penghasilan di Indonesia.
Skema insentif pajak penghasilan di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan atas insentif atas penghasilan (income based incentive) dan biaya/aktivitas. Insentif atas penghasilan dapat dibedakan lagi atas: (1) pembebasan pajak atas penghasilan, yakni tax holiday atau mini tax holiday dan (2) penurunan tarif. Insentif pajak penghasilan yang dikaitkan dengan biaya/aktivitas antara lain investment allowance, super tax deduction dan penyusutan yang dipercepat (Hidayat: Dampak Pilar Dua Terhadap Insentif Perpajakan).
Penerapan ketentuan tarif pajak minimum sebagaimana diatur dalam Pilar Dua akan berdampak langsung pada insentif pajak atas penghasilan, yakni tax holiday atau penurunan tarif pajak. Tax holiday terdampak langsung dari ketentuan tarif pajak minimum karena tax holiday membebaskan wajib pajak dari kewajiban membayar pajak, sedangkan tarif pajak minimum mengharuskan pembayaran pajak dengan tarif 15%. Bila kebijakan tax holiday dipertahankan, pajak yang dibebaskan oleh Indonesia akan dinikmati oleh negara domisili dari induk perusahaan. Kebijakan insentif pajak penghasilan lainnya seperti penurunan tarif, investment allowance, super tax deduction dan penyusutan yang dipercepat masih dapat dipertahankan selama tarif efektif dari pajak penghasilan tidak kurang dari 15%.
Sehubungan dengan komitmen Indonesia atas penerapan Pilar 2, perlu dicarikan alternatif pemberian insentif non-pajak pengganti agar tetap dapat menarik investor, selain secara konsisten pemerintah memperbaiki ekosistem investasi seperti birokrasi yang efektif dan efisien, kemudahan perizinan, kepastian hukum, dan pemberantasan korupsi.