The OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (Inclusive Framework) secara resmi telah merilis The Multilateral Convention to Implement Amount A of Pillar One. Konvensi multilateral ini menjadi kerangka pajak internasional untuk penerapan Pilar 1 dalam upaya mengatasi globalisasi dan digitalisasi ekonomi.
Melalui implementasi Amount A dari Pilar 1, negara pasar diberikan hak untuk mengenakan pajak atas profit dari perusahaan multinasional yang mendapat keuntungan dari negara tersebut. Hak pemajakan diberikan meskipun tidak terdapat kehadiran fisik atau physical presence dari perusahaan multinasional tersebut. Mekanisme ini menjadi solusi pemajakan atas perusahaan-perusahaan digital di dunia.
Dengan diterbitkannya MLC, Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, menyatakan bahwa negara-negara dapat mengambil langkah yang diperlukan untuk penandatanganan dan ratifikasi. Ia juga menyebutkan bahwa OECD akan memberikan dukungan kepada negara berkembang dalam implementasi MLC ini. “Kami meningkatkan dukungan kami untuk negara-negara berkembang, untuk memastikan kami dapat memenuhi tujuan kami untuk membuat sistem pajak internasional lebih adil dan bekerja lebih baik di dunia yang semakin terdigitalisasi”, ujarnya.
Meningkatkan Penerimaan bagi Negara Berkembang
Dengan implementasi Pilar 1, diperkirakan tiap tahunnya 200 miliar dolar AS dari keuntungan perusahaan multinasional dialokasikan untuk yurisdiksi pasar. Dari jumlah tersebut, terdapat peningkatan global tax revenue sekitar 17‑32 miliar dolar AS. Hasil analisis juga menemukan bahwa penerimaan pajak dari penerapan Pilar 1 akan lebih banyak memberikan manfaat kepada negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Dampak dan Implementasi di Indonesia
Saat ini, perusahaan multinasional dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila memiliki bentuk usaha tetap (BUT). BUT umumnya timbul jika perusahaan tersebut memiliki kehadiran fisik atau physical presence, misalnya mendirikan kantor cabang atau representative office. Dengan kriteria tersebut, perusahaan digital banyak yang tidak memiliki BUT di Indonesia karena dapat beroperasi melalui saluran digital, sehingga Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas laba yang diperoleh perusahaan tersebut di Indonesia. Pilar 1 memberikan hak pemajakan kepada Indonesia untuk memajaki perusahaan multinasional, meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki BUT. Indonesia dan yurisdiksi pasar lainnya dapat mengenakan pajak kepada perusahaan multinasional penjualannya mencapai 1 juta EUR.
Penandatanganan MLC oleh seluruh anggota Inclusive Framework ditargetkan pada akhir tahun 2023. Setiap yurisdiksi diharapkan bisa mengimplementasikannya mulai tahun 2025. Di Indonesia, dasar hukum untuk menandatangani konvensi multilateral Pilar 1 telah diatur dalam Pasal 32A UU KUP pasca perubahan melalui UU HPP. Pada konferensi pers bulan Juli lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan bahwa Kemenkeu sedang menyiapkan aturan pelaksanaan, sehingga nanti dapat disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan pelaku usaha.