Pemotongan PPh Atas Pembayaran Imbalan Jasa Kepada BUT Yang Tidak Memiliki NPWP

pemotongan_123Pendahuluan

Suatu negara berhak memajaki laba usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di negara lainnya apabila perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha di negara yang disebut pertama melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dengan kata lain, jika kegiatan usaha sebuah perusahaan dari satu  negara dilakukan tidak melalui suatu BUT atau kegiatan tersebut tidak menimbulkan adanya BUT di negara lain, maka negara lain tersebut sama sekali tidak berhak memajaki laba usaha perusahaan dimaksud. Hal ini terdapat dalam Pasal 7 pada hampir seluruh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau dikenal dengan Tax Treaty yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra perjanjian. Mengenai bagaimana BUT dianggap timbul termasuk beberapa pengecualiannya, hal itu umumnya diatur dalam pasal 5 sebuah P3B. Ketika suatu negara berdasarkan P3B berhak mengenakan Pajak atas suatu Laba Usaha perusahaan luar negeri, teknis pemajakannya menggunakan ketentuan perpajakan domestik negara tersebut.

Dalam rangka penerapan suatu P3B, otoritas perpajakan Indonesia memberi persyaratan administratif yaitu berupa Surat Keterangan Domisili (SKD) atau yang dalam terminologi perpajakan internasional disebut dengan Certificate of Domicile (COD) atau Certificate of Residence (COR). Hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009. SKD diterbitkan oleh pihak otoritas perpajakan negara mitra P3B yang pada dasarnya menerangkan bahwa seseorang atau sebuah badan adalah merupakan penduduk negara tersebut untuk tujuan perpajakan serta terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) di negara dimaksud. Dalam praktiknya, meskipun individu atau suatu badan berasal dari sebuah negara mitra perjanjian, P3B terkait tidak dapat diterapkan atas transaksi yang dilakukan sepanjang yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan SKD. Dalam hal ini ketentuan perpajakan Indonesia akan sepenuhnya diberlakukan. Ketentuan domestik juga berlaku penuh apabila perusahaan luar negeri berasal dari suatu negara di mana Indonesia tidak mendatangani P3B dengan negara tersebut.

Kegiatan Pemberian Jasa Yang Menimbulkan BUT dan Aspek Pemajakannya

Kecuali dengan negara Jepang, P3B Indonesia dengan negara mitra perjanjian lainnya mencantumkan pemberian jasa (furnishing of services) dalam definisi permanent establishment atau BUT. Yang dimaksud dengan pemberian jasa disini adalah di luar pemberian jasa dalam rangka proyek konstruksi, perakitan dan instalasi yang diatur dalam klausul tersendiri. Dalam P3B Indonesia dengan negara lain dinyatakan bahwa BUT dapat timbul dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa melampaui jangka waktu tertentu. Jadi dalam penentuan BUT atas kegiatan pemberian jasa, terdapat semacam time test. Misalnya P3B Indonesia dengan Singapura mengatur bahwa jangka waktu pemberian jasa lebih dari 90 hari dalam periode 12 bulan baru akan menimbulkan adanya BUT.

Ketentuan perpajakan domestik Indonesia yakni pasal 2 ayat (5) huruf m Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juga mengatur bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dapat menimbulkan BUT. Apabila pemberi jasa berasal dari negara yang bukan mitra P3B atau berasal dari negara mitra P3B namun tidak dapat menunjukkan SKD, maka ambang batas 60 hari sebagaimana menurut pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh tersebut akan diberlakukan sepenuhnya dalam menentukan apakah kegiatan pemberian jasa akan menimbulkan BUT. Pentingnya penentuan timbul tidaknya BUT dari suatu kegiatan pemberian jasa adalah dalam rangka perlakuan pemajakannya.

Pasal 2 ayat (1a) UU PPh mengatur bahwa BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Selanjutnya, penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan WPDN sebagaimana diatur dalam UU PPh dan UU yang mengatur mengenai ketentuan umum yaitu UU KUP. Dengan demikian, berdasarkan self assessment yang dianut Indonesia, BUT wajib mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP dan memenuhi kewajiban sebagaimana layaknya WPDN, termasuk kewajiban dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan. Ketentuan pemotongan seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2) juga berlaku terhadap BUT yang memperoleh penghasilan dari kegiatan pemberian jasa yang merupakan objek pemotongan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan terkait.

Pemotongan PPh Atas BUT Yang Tidak Memiliki NPWP

Dalam praktik, tidak jarang timbul permasalahan ketika WPDN melakukan transaksi dengan pihak perusahaan luar negeri yang tidak atau belum memiliki NPWP meskipun dari kegiatan pemberian jasa yang dilakukannya telah menimbulkan adanya BUT di Indonesia, baik karena telah melampaui time test dalam P3B atau melebihi jangka waktu 60 hari berdasarkan UU PPh  dalam hal tidak terdapat P3B dengan negara asal pihak pemberi jasa atau karena tidak dapat menunjukkan SKD. Terdapat kebimbangan dalam menentukan apakah atas imbalan jasa yang dibayarkan akan dipotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 26 UU PPh. Masalah ini tidak hanya terjadi di kalangan Wajib Pajak tetapi juga muncul ketika petugas pajak melakukan penelitian berkas maupun pada waktu melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pihak yang condong untuk memotong PPh pasal 26 umumnya beralasan karena BUT tersebut belum atau tidak memiliki NPWP sehingga tidak dapat dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Alasan ini kurang dapat diterima, karena tidak ada dasar hukumnya. Persyaratan memiliki NPWP tidak termasuk penentu timbul tidaknya suatu BUT. Lagi pula, tidak ada ketentuan yang mengakibatkan status Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) BUT berubah menjadi WPLN Non BUT hanya karena tidak memiliki NPWP. Seandainya alasan demikian dapat diterima, perusahaan luar negeri akan dengan mudah menghindari BUT dengan cara sengaja tidak mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP. Selain itu, tidak terdapat ketentuan yang mengatakan bahwa pemotongan  PPh pasal 23 tidak dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiki NPWP. Pasal 23 ayat (1a) UU PPh menegaskan bahwa apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% dari tarif yang seharusnya. Wajib Pajak yang dimaksudkan disini menurut Pasal 23 UU PPh adalah sangat jelas yaitu WPDN atau BUT. Jadi, masalah BUT memiliki atau tidak memiliki NPWP dalam rangka pemotongan PPh Pasal 23 adalah hanya berakibat pada perbedaan besarnya tarif pemotongan yang akan dikenakan, tidak lantas mengakibatkan penerapan pemotongan PPh pasal 26.

Tidak kalah pentingnya untuk dipahami secara mendasar adalah bahwa pemotongan PPh Pasal 26 hanya berlaku  bagi WPLN selain BUT. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan pasal 26 UU PPh. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, pemotongan PPh pasal 26 atas BUT adalah tidak tepat. PPh pasal 26 dengan tarif 20% dikenakan terhadap perusahaan luar negeri yang berasal dari negara mitra P3B tetapi tidak dapat menunjukkan SKD atau  berasal dari negara non mitra P3B di mana kegiatan pemberian jasa di Indonesia tidak melebihi jangka waktu 60 hari sebagaimana di atur dalam pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh. Dalam hal ini status perusahaan asing tersebut adalah WPLN Non BUT. Apabila perusahaan yang disebut pertama dapat menunjukkan SKD, maka dalam hal kegiatan pemberi jasa tidak melebihi jangka waktu yang terdapat dalam P3B, maka perusahaan asing tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh sama sekali karena tidak menimbulkan adanya BUT di Indonesia.

Penutup

Munculnya permasalahan pemotongan PPh atas pembayaran imbalan jasa kepada BUT yang tidak memiliki NPWP tampaknya didasari pemikiran bahwa perusahaan luar negeri baru dapat dipotong PPh pasal 23 apabila BUT tersebut telah memiliki NPWP. Pemahaman ini masih kental di sebagian kalangan Wajib Pajak maupun Fiskus meskipun tidak ada dasar hukumnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ketentuan perpajakan yang menyangkut BUT dalam UU PPh tidak sinkron dengan persyaratan administratif. Perlu dipahami bahwa sistim dan prosedur perpajakan Indonesia yang self-assessment mewajibkan Wajib Pajak sendiri termasuk BUT untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk memperoleh NPWP. Tidak ada mekanisme yang mewajibkan pihak pemotong untuk memaksa BUT mendaftarkan diri. Ketentuan di KUP hanya mengatur bahwa kepada Wajib Pajak akan diterbitkan NPWP secara jabatan apabila kewajiban mendaftarkan diri tidak dilaksanakan.. Urusan pendaftaran Wajib Pajak dalam hal ini BUT untuk memperoleh NPWP maupun penerbitan NPWP secara jabatan ini tentu berada dalam ruang lingkup tanggung jawab pihak Direktorat Jenderal Pajak, bukan di pihak Pemotong.

Pihak otoritas perpajakan Indonesia perlu memikirkan cara paling efektif untuk menjaring semua WPLN yang melakukan kegiatan pemberian jasa di Indonesia yang berdasarkan  P3B atau ketentuan UU PPh menimbulkan BUT di Indonesia agar mereka mendaftarkan diri ke kantor pajak atau diberikan NPWP secara jabatan. Sementara itu, perlu diterbitkan semacam  penegasan tentang pemotongan PPh atas BUT yang tidak memiliki NPWP untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi dalam praktik.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait