Pada akhir Juli lalu Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor SE-2/PJ.03/2008 tentang Penegasan Atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (Representative Office/Liaison Office) Di Indonesia. SE ini diterbitkan untuk merespon pertanyaan yang sering muncul sekitar ketentuan terdahulu yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 yang merupakan aturan pelaksanaan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994. Alih-alih memberikan penegasan, SE tersebut malah menimbulkan pertanyaan mendasar karena tidak mengakomodasi ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah efektif berlaku, khususnya pasal tentang pemajakan Laba Usaha (Pasal 7) dan definisi Bentuk Usaha Tetap (Pasal 5).
Norma Penghitungan Khusus
Kewenangan Menteri Keuangan dalam menetapkan Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Pasal 15 UU Pajak Penghasilan (PPh). Pasal 16 ayat (1) sendiri mengatur cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, sedangkan Pasal 16 ayat (3) mengatur cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dalam suatu tahun pajak. Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan bahwa Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif dihitung dengan cara mengurangkan biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal terkait dalam UU PPh.
Salah satu golongan Wajib Pajak tertentu yang penghasilan netonya ditetapkan dengan Norma Penghitungan Khusus dan secara eksplisit tercantum dalam penjelasan Pasal 15 UU PPh adalah perusahaan dagang asing. Secara singkat KEP-667/PJ./2001 mengatur penerapan Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia sebagai berikut:
- Penghasilan neto ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto
- Pelunasan PPh adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final, yang diperoleh dari perhitungan:
– PPh atas penghasilan kena pajak terutang 30% x 1% | = 0,30% |
– Branch Profit Tax 20% x (1-0,30)% | = 0,14% |
Total | = 0,44% |
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kemudian dalam SE-2/PJ.03/2008 butir 2 ditegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 tersebut adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (representative office/liaison office) di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai P3B dengan Indonesia. Hal ini lebih untuk menjelaskan bahwa karena tidak adanya P3B, penerapan tarif Branch Profit Tax (BPT) dalam menghitung pajak yang terutang sepenuhnya mengacu pada tarif BPT menurut ketentuan domestik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 26 (4) UU PPh yaitu 20%.
Selanjutnya butir 3 SE tersebut menegaskan bahwa besarnya tarif pajak yang terutang untuk Kantor Perwakilan Dagang (KPD) dari negara-negara mitra P3B disesuaikan dengan tarif BPT dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang tercantum dalam P3B dimaksud. SE ini lalu memberikan contoh perhitungan tarif pajak terutang bagi KPD yang berasal dari negara treaty partner seperti Spanyol dan Australia untuk menunjukkan bahwa besaran tarif BPT dalam P3B (Tax Treaty) akan menghasilkan tarif pajak terutang yang berbeda atau lebih rendah dibandingkan dengan tarif pajak terutang bagi KPD yang berasal dari negara non-treaty partner. Dalam contoh tersebut, dengan tarif BPT untuk KPD yang berasal dari Spanyol sebesar 10% maka tarif pajak terutang adalah 0,37%, sedangkan untuk KPD yang berasal dari Australia dengan tarif BPT 15% dihasilkan tarif pajak terutang sebesar 0,405%.
SE tidak mengakomodasi ketentuan P3B
Pemajakan atas laba usaha umumnya diatur dalam Pasal 5 dan 7 dari P3B Indonesia dengan negara-negara lainnya. Pasal 7 mengatur mengenai Laba Usaha di mana laba suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap (permanent establishment). Dengan kata lain Negara Sumber (Source Country) tidak berhak memajaki laba usaha dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh penduduk Negara Domisili (Residence Country) jika kegiatan tersebut dilakukan tidak melalui suatu BUT.
Definisi dan cakupan Bentuk Usaha Tetap (BUT) itu sendiri umumnya diatur dalam Pasal 5 dari suatu P3B Indonesia dengan negara-negara lain yang menjadi treaty partner. Hal ini selaras dengan susunan pasal-pasal dalam model treaty OECD maupun UN. Dalam pasal 5 ayat (4) diatur pula beberapa aktivitas bersifat preparatory atau auxiliary yang tidak termasuk dalam definisi BUT (pengecualian) yakni:
- penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan;
- pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan semata-mata dengan maksud untuk penyimpanan atau untuk pameran.
- pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
- pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk pengumpulan keterangan bagi keperluan perusahaan.
- pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk keperluan reklame, untuk pemberian keterangan-keterangan, untuk penelitian ilmiah atau kegiatan kegiatan serupa yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.
- pengurusan tempat usaha tertentu semata-mata untuk setiap kegiatan-kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub ayat (a) sampai (c), asal saja keseluruhan kegiatan ditempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau penunjang.
Mengacu pada ketentuan P3B di atas, maka apabila Kantor Perwakilan Dagang Asing dari negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia melakukan kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kategori kegiatan a) sampai dengan e) tersebut di Indonesia, maka tidak akan menimbulkan adanya BUT. Dengan demikian Indonesia tidak berhak memajaki laba usaha yang diperoleh dari kegiatan ekspor barang ke Indonesia yang dilakukan oleh Kantor Pusatnya atau perusahaan luar negeri yang menunjuknya apabila dilakukan tidak melalui suatu BUT di Indonesia. Secara regulasi pun pada dasarnya suatu Kantor Perwakilan Dagang Indonesia dilarang melakukan aktivitas usaha berupa transaksi perdagangan atau penjualan di Indonesia (Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10/M-DAG/PER/3/2006). Kegiatan yang diperkenankan antara lain adalah kegiatan promosi dan pemasaran produk barang-barang yang dihasilkan perusahaan yang menunjuknya di luar negeri dan penelitian pasar atas barang-barang yang dibutuhkan oleh perusahaan luar negeri.
Bagi Kantor Perwakilan Dagang Asing yang berasal dari negara-negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, maka penerapan Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto (Pasal 15 UU PPh) yang di atur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 dan kemudian ditegaskan dengan Surat Edaran Nomor SE-2/PJ.03/2008 dapat dipahami karena dengan tidak adanya P3B, ketentuan perpajakan domestik Indonesia sebagai negara berdaulat (sovereign state) dapat di berlakukan sepenuhnya. Pasal 2 ayat (5) UU PPh huruf c mencantumkan Kantor Perwakilan termasuk dalam pengertian BUT. Namun tidak demikian halnya untuk Kantor Perwakilan Dagang yang berasal dari negara-negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia karena dilindungi oleh P3B (treaty protection) di mana seperti telah dikemukakan sebelumnya, jika laba perusahaan luar negeri diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan tidak melalui BUT di Indonesia, maka Indonesia tidak berhak memajaki laba usaha tersebut. Seandainya pun secara nyata-nyata KPD Asing melakukan kegiatan penjualan di Indonesia (meski dari sisi regulasi/perizinan tidak diperkenankan), sehingga berdasarkan pasal 5 dari P3B menimbulkan adanya BUT di Indonesia, maka tentu cara penghitungan penghasilan kena pajaknya mengacu pada Pasal 16 ayat (3) UU PPh sebagaimana lazimnya untuk BUT dan diterapkan tarif pajak progesif Pasal 17 UU PPh, bukan dengan Pasal 15 yaitu dengan Norma Penghitungan Khusus penghasilan neto dan bersifat final.
SE-2/PJ.03/2008 tampaknya tidak mengakomodasi ketentuan P3B dan seolah-olah menginterpretasikan bahwa setiap KPD merupakan BUT sehingga dianggap perlu untuk menegaskan pembedaan dalam cara menghitung pajak terutang dengan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto antara KPD yang berasal dari negara Treaty Partner dengan KPD yang berasal dari negara non-Treaty Partner, khususnya karena pengaruh perbedaan tarif Branch Profit Tax. Surat Edaran (SE) yang diharapkan memberikan penegasan sekaligus meluruskan sejumlah surat-surat sebelumnya yang diterbitkan Dirjen Pajak sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para Wajib Pajak ternyata masih menyisakan pertanyaan yang sangat mendasar.