Efektivitas Penerapan Ketentuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Mulai Tahun Pajak 2016

Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dibayar oleh Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto pada dasarnya dilakukan lantaran tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Pembukuan yang lengkap akan menyediakan informasi yang diperlukan untuk menghitung besarnya pajak-pajak yang terutang dan harus dibayar oleh Wajib Pajak dengan adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomisnya.

Pada dasarnya, setiap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan (Pasal 28 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007). Namun demikian, pembuat Undang-undang menyadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan, khususnya Wajib Orang Pribadi. Oleh karena itu, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto dalam satu Tahun Pajak kurang dari Rp 4.800.000.000,00 tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, mereka wajib menyelenggarakan pencatatan. Sebab, hasil pencatatan itulah nantinya yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang dan harus dibayar.

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya.  Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan  pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final (Penjelasan Pasal 28 ayat (9) UU No. 28 Tahun 2007).

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan menghitung penghasilan netonya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Sesuai dengan amanat UU No. 36 Tahun 2008 Tentang perubahan keempat UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Norma Penghitungan Penghasilan Neto diterbitkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak dalam bentuk angka persentase tertentu menurut klasifikasi lapangan usaha (KLU) dan wilayah tempat usaha Wajib Pajak. Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini disusun sedemikian rupa oleh Dirjen Pajak berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.

Keberadaan Norma Penghitungan penghasilan neto dipastikan akan sangat membantu Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan netonya. Sebab, teknis penggunaanya sangat sederhana. Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut cukup melihat angka persentase Norma Penghitungan yang sesuai dengan KLU dan wilayah usahanya dari daftar yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Angka persentase Norma Penghitungan yang cocok dengan KLU dan wilayah usahanya kemudian dikalikan dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperoleh selama satu Tahun Pajak. Hasilnya adalah penghasilan neto. Sangat simple!

Norma Penghitungan Penghasilan Neto Mulai Tahun Pajak 2016

Selain membuat dan menerbitkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, UU No. 36 Tahun 2008 juga mengamanatkan Dirjen Pajak untuk menyempurnakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk secara terus menerus. Atas dasar amanah tersebut, Dirjen Pajak meluncurkan Peraturan Dirjen Pajak (PER) No. 17 Tahun 2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang efektif berlaku mulai tahun Pajak 2016 menggantikan Keputusan Dirjen Pajak (KEP) No. 536 Tahun 2000 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan. Kewajaran angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah salah satu pertimbangan dalam pembuatan PER No. 17 Tahun 2015 ini. Pertimbangan lainnya adalah dalam rangka melaksanakan amanah dari peraturan-peraturan yang lebih tinggi serta menyesuaikan dengan peraturan-peraturan lain yang terkait.

PER No. 17 Tahun 2015 memuat setidaknya tiga perubahan signifikan dibanding KEP No. 536 Tahun 2000. Perubahan pertama adalah terhadap batasan peredaran bruto dari usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak Orang Pribadi yang dibolehkan untuk menyelenggarakan pencatatan. Batas peredaran bruto dalam satu Tahun Pajak yang semula berjumlah Rp.600.000.000,00 sekarang dinaikkan menjadi Rp.4.800.000.000,00. Perubahan kedua adalah dimunculkannya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya digunakan untuk penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final ( Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (2)). Sebelumnya, KEP No. 536 Tahun 2000 tidak mengatur mengenai hal ini. Sedangkan perubahan ketiga adalah penambahan daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto dari satu daftar di dalam KEP No. 536 Tahun 2000 menjadi tiga daftar di dalam PER No. 17 Tahun 2015. Ketiga daftar tersebut adalah:

  1. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menghitung Penghasilan Netonya Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  2. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Ternyata Tidak Atau Tidak Sepenuhnya Menyelenggarakan Pembukuan Atau Tidak Bersedia Memperlihatkan Pembukuan Atau Pencatatan Atau Bukti-Bukti Pendukungnya; dan
  3. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Badan Yang Ternyata Tidak Atau Tidak Sepenuhnya Menyelenggarakan Pembukuan Atau Tidak Bersedia Memperlihatkan Pembukuan Atau Pencatatan Atau Bukti-Bukti Pendukungnya.

Efektivitas Penerapan Ketentuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Mulai Tahun 2016

Bila dicermati lebih mendalam, ada empat poin penting di dalam PER No. 17 Tahun 2015 yang perlu menjadi perhatian atau bahkan mungkin perlu ditata ulang oleh Dirjen Pajak. Tujuannya adalah agar ketentuan baru tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang telah diluncurkan melalui PER No. 17 Tahun 2015 ini dapat diterapkan secara efektif. Keempat poin tersebut adalah :

Pertama, Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) PER No. 17 Tahun 2015 selengkapnya berbunyi :

“(2)Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.
(3)Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.”

   
Sepintas, tidak ada yang salah atau ganjil dengan pengaturan di dalam kedua ayat yang harus dibaca sebagai satu kesatuan tersebut. Akan tetapi, bila dimaknai lebih mendalam, kalimat di dalam ayat (3) yang berbunyi “… dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.” Berpotensi menimbulkan multi tafsir. Tafsiran pertama adalah, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disini semata-mata penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas,  walaupun mungkin saja Wajib Pajak Orang Pribadi menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final seperti penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya. Dengan demikian, Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya digunakan untuk menentukan penghasilan neto dari kegiatan usaha dan pekerjaan bebas saja.

Tafsiran kedua adalah, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disini mencakup seluruh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, baik penghasilan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun penghasilan lainnya seperti penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya. Dengan demikian, Norma Penghitungan Penghasilan Neto digunakan untuk menentukan penghasilan neto dari seluruh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Final tersebut.

Sedang tafsiran ketiga yang lebih ekstrim adalah, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disini adalah penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dari luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas lantaran penghasilan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Dengan demikian, Norma Penghitungan Penghasilan Neto digunakan untuk menghitung penghasilan neto dari penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Final tersebut. Ringkasnya, menurut tafsiran ketiga ini Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikenai Pajak Penghasilan bersifat final masih tetap menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto terhadap penghasilannya yang lain yang tidak dikenakan pajak bersifat final untuk menentukan penghasilan neto.

Kedua, Lampiran I PER No. 17 Tahun 2015 memuat Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menghitung Penghasilan Netonya Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Di dalamnya dimuat seluruh KLU Wajib Orang Pribadi beserta angka persentase normanya menurut jenis usaha dan wilayah usaha. Mengingat PER No. 17 Tahun 2015 menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai konsiderannya, lampiran I tersebut idealnya hanya memuat daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dari dua kategori KLU saja, yaitu :

  1. KLU kategori pekerjaan bebas; dan
  2. KLU kategori kegiatan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya.

Penyebabnya tidak lain adalah karena seluruh penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 dalam satu Tahun Pajak sudah “dikapling” oleh PP No. 46 Tahun 2013 untuk dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1% dari peredaran bruto. Pengecualian dari “kaplingan” PP No. 46 Tahun 2013 tersebut hanyalah penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dari pekerjaan bebas dan penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan peredaran bruto dari usaha perdagangan dan/atau jasa dalam satu Tahun Pajak tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,00 yang dalam usahanya :

  1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Satu hal lagi, pencantuman seluruh KLU Wajib Pajak Orang Pribadi di dalam lampiran I tersebut juga sangat mungkin menimbulkan mispersepsi pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak waspada dengan ketentuan yang diatur di dalam PP No. 46 Tahun 2013.  Mereka bisa saja beranggapan bahwa penghasilan neto mereka dari usaha dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Alasannya, peredaran bruto mereka dari kegiatan usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak, mereka menyelenggarakan pencatatan, dan KLU mereka ada di dalam daftar tersebut.

Ketiga, Pasal 3 ayat (1) PER No.17 Tahun 2015 selengkapnya berbunyi :
“Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.”

Ketentuan di dalam ayat ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 beserta penjelasannya. Pengaturan yang dimuat di dalam ayat ini sedikit lebih luas dibanding KEP No. 536 Tahun 2000 karena telah mengakomodir kewajiban untuk memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya. Sementara, KEP No. 536 Tahun 2000 hanya fokus pada Wajib Pajak yang wajib membuat atau memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan tapi tidak sepenuhnya melaksanakannya. KEP No. 536 Tahun 2000 juga tidak mengatur perihal kewajiban untuk memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya.

Walaupun ketentuan yang dimuat di dalam Pasal 3 ayat (1) PER No. 17 Tahun 2015 ini lebih lengkap dibanding ketentuan sebelumnya, namun tetap saja masih belum sepenuhnya mengakomodir isi dari Penjelasan Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut :
“Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:

  1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
  2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan

sehingga …”

Bila dicermati, Pasal 3 ayat (1) PER No. 17 Tahun 2015 hanya mengatur tentang Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan dan mengabaikan Wajib Pajak yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan sebagaimana tercantum pada huruf a penjelasan Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008. Hal ini dapat diartikan bahwa PER No. 17 Tahun 2015 seolah-olah menyatakan bahwa Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menentukan penghasilan neto tidak digunakan untuk Wajib Pajak yang pada saat pemeriksaan diketahui tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana cara menentukan penghasilan yang akan dikenai pajak bagi Wajib Pajak ini?

Keempat, Lampiran II PER No. 17 Tahun 2015 memuat Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Ternyata Tidak Atau Tidak Sepenuhnya Menyelenggarakan Pembukuan Atau Tidak Bersedia Memperlihatkan Pembukuan Atau Pencatatan Atau Bukti-Bukti Pendukungnya. Pembuatan Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang terdapat di dalam lampiran II PER No. 17 Tahun 2015 ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008. Berikut ini adalah kutipan dari beberapa KLU yang terdapat di dalam lampiran I dan lampiran II PER No. 17 Tahun 2015 :

Tabel 1. Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Beberapa KLU dari Lampiran I dan Lampiran II PER No. 17 Tahun 2015

norma1
Sumber : Lampiran I dan Lampiran II PER No. 17 Tahun 2015

Catatan:

Lamp I adalah lampiran I PER No. 17 Tahun 2015 Tentang Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menghitung Penghasilan Netonya Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Lamp II adalah lampiran II PER No. 17 Tahun 2015 Tentang Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Ternyata Tidak Atau Tidak Sepenuhnya Menyelenggarakan Pembukuan Atau Tidak Bersedia Memperlihatkan Pembukuan Atau Pencatatan Atau Bukti-Bukti Pendukungnya.

Berdasarkan data-data yang terdapat di dalam Tabel 1 diatas, persentase norma pada lampiran II rata-rata lebih tinggi sekitar 20% dibanding persentase norma yang terdapat di dalam lampiran I. Kondisi ini tentunya sangat layak untuk dipertanyakan.

Pertanyaannya adalah, Apakah perlakuan seperti ini logis dan adil? Mengapa harus dibedakan? Bukankah keduanya sama-sama diperuntukkan bagi Wajib Orang Pribadi? Apakah ketidakpatuhan terhadap kewajiban perpajakan atau ketidakkooperatifan saat diperiksa akan menyebabkan persentase penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi menjadi lebih besar dibanding Wajib Pajak Orang Pribadi yang patuh dan kooperatif? Apakah persentase penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak patuh atau tidak kooperatif pasti lebih tinggi dari pada Wajib Pajak yang patuh dan kooperatif? Kalau alasan ketidakpatuhan atau ketidakkooperatifan yang menjadi dasar lebih tingginya persentase norma tersebut, bukankah Pasal 3 ayat (3) PER No. 17 Tahun 2015 sendiri telah menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak patuh atau tidak kooperatif akan diganjar dengan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan?

Penutup

Terlepas dari berbagai kelemahan yang dapat mengancam efektivitas penerapannya, ketentuan tentang Norma Penghasilan Neto yang dimuat di dalam PER No. 17 Tahun 2015 ini sudah jauh lebih baik dibanding ketentuan sebelumnya. PER No. 17 Tahun 2015 lebih amanah dalam menjalankan ketentuan Undang-undang serta telah mengakomodir dengan baik ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam berbagai peraturan yang terkait. PER No. 17 Tahun 2015 telah memisahkan daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya dengan daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya. Sebab, sangat tidak logis Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan memiliki angka persentase penghasilan neto yang sama. Dan yang paling penting dari semua itu adalah keberadaan PER No. 17 Tahun 2015 itu sendiri sebagai antisipasi berbagai perubahan yang sudah sangat banyak terjadi dan tidak mungkin lagi akan tertampung oleh KEP No. 536 Tahun 2000 yang diterbitkan sekitar 15 tahun lalu.

DAFTAR PUSTAKA

  • Keputusan Dirjen Pajak No. 536 Tahun 2000 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan. 2000.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. 2015.
  • Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. 2013.
  • UU  No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. 2007. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4740
  • UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. 2008. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4893
Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait