Diskriminasi Pemajakan atas Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing

Hardhat Construction Industry  - Mariakray / Pixabay

Badan usaha yang menyelenggarakan usaha jasa konstruksi wajib memiliki Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Hal ini diatur dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah  Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Untuk badan usaha nasional, izin usaha dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah di tempat domisilinya tetapi berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha jasa konstruksi di seluruh wilayah Indonesia. SIUJK diberikan kepada badan usaha nasional yang telah memiliki tanda registrasi badan usaha yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), sedangkan izin usaha bagi Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing  diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum (PU) setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PU Nomor: 05/PRT/M/2011 tanggal 28 Maret 2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang mencabut Peraturan Menteri PU sebelumnya yaitu Nomor: 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing.

Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) didefinisikan dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri PU di atas yaitu badan usaha yang didirikan menurut hukum dan berdomisili di negara asing, memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Sehubungan dengan izin perwakilan BUJKA, pasal 4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2011 mengatur beberapa hal sebagai berikut:

  • izin Perwakilan hanya diberikan kepada BUJKA yang memiliki kualifikasi besar
  • izin Perwakilan dapat diberikan setelah BUJKA mendapatkan penyetaraan klasifikasi dan kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari LPJK.
  • BUJKA yang telah memiliki Izin Perwakilan dapat melakukan kegiatan usaha jasa konstruksi di seluruh wilayah Indonesia

Faktanya hingga saat penulisan artikel ini LPJK belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA (penyetaraan klasifikasi dan kualifikasi usaha konstruksi untuk BUJKA). Namun demikian, pasal 17 Peraturan Menteri PU diatas mengatur bahwa dalam hal Lembaga tingkat Nasional (dalam hal ini LPJK) belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA, Menteri PU dapat menerbitkan Izin Perwakilan kepada BUJKA.

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas Usaha Jasa Konstruksi

Pemajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif tersendiri dan bersifat final yang berarti bahwa setelah pengenaan PPh Final  maka penghasilan tersebut tidak perlu digabungkan lagi dengan jenis penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final atau dengan tarif umum menurut pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh), karena kewajiban pajaknya dianggap sudah selesai dan final. Besaran tarif PPh Final menurut Peraturan Pemerintah di atas untuk penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah sebagai berikut:

  1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi kecil
  2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
  3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Tarif tersebut juga berlaku bagi BUJKA yang memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Adapun mekanisme pelunasan PPh Final dilakukan melalui pemotongan oleh Pengguna Jasa (project owner) pada saat pembayaran dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak atau disetor sendiri oleh Penyedia Jasa (kontraktor) dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak, misalnya badan internasional dan perwakilan negara asing. Dasar pengenaan PPh Final adalah jumlah pembayaran yang diterima dari Pengguna Jasa tidak termasuk PPN.

Diskriminasi Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas BUJKA

Berdasarkan pasal 11 Peraturan Menteri PU Nomor: 05/PRT/M/2011, BUJKA hanya diizinkan mengerjakan proyek konstruksi yang kompleks, beresiko besar dan/atau berteknologi tinggi. Selain itu untuk setiap pekerjaan konstruksi, BUJKA wajib membentuk ikatan kerjasama operasi (joint operation) dengan BUJK (badan usaha jasa konstruksi nasional). Umumnya proyek konstruksi yang dilakukan oleh Joint Operation di mana salah satu anggotanya adalah BUJKA merupakan proyek berdurasi lebih dari 6 (enam) bulan bahkan seringkali berupa proyek tahun jamak (multi-years project). Berdasarkan UU PPh ataupun Tax Treaty antara Indonesia dengan negara mitra, aktivitas BUJKA umumnya akan menimbulkan adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment (PE). Eksistensi dari BUT konstruksi tersebut memberikan hak pemajakan kepada Indonesia atas penghasilan yang diperoleh oleh BUJKA (BUT) yang bersangkutan.  Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tarif PPh Final menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 adalah berlaku juga untuk BUT. Selain itu sesuai pasal 26 ayat (4) UU PPh atau ketentuan Tax Treaty Indonesia dengan negara di mana BUT terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (resident taxpayer), maka BUT tersebut dikenakan lagi PPh atas sisa laba setelah PPh yang bersifat final (branch profit tax) yang tarifnya adalah 20% atau tarif yang lebih rendah menurut Tax Treaty.

Mengacu pada tarif PPh Final menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 di atas, maka berhubung izin perwakilan diberikan hanya kepada BUJKA yang memiliki kualifikasi besar maka kemungkinan tarif PPh PPh Final untuk yang berlaku bagi BUJKA berupa BUT adalah:

  • 3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi jika BUJKA memiliki kualifikasi usaha
  • 4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi jika BUJKA tidak memiliki kualifikasi usaha
  • 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi jika BUJKA memiliki kualifikasi usaha
  • 6% untuk jasa perencanaan atau pengawasan konstruksi jika BUJKA tidak memiliki kualifikasi usaha

Menurut penjelasan pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 yang dimaksud dengan ”kualifikasi usaha” adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Masalahnya adalah bahwa hingga saat ini LPJK belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA (penyetaraan klasifikasi dan kualifikasi usaha konstruksi untuk BUJKA). Hal ini menimbulkan adanya diskriminasi pemajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi antara BUJK (Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional) dengan BUJKA (Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing), karena selama LPJK belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA, maka BUJKA selalu dikenakan tarif yang lebih tinggi. Perbandingan beban pajak BUJKA jika memiliki kualifikasi usaha (tarif 3%) dengan tanpa kualifikasi usaha (tarif 4%) untuk kontrak pelaksanaan konstruksi dapat dilihat dari illustrasi berikut ini.
    
Dalam Rupiah
BPT
DPP = Dasar Pengenaan Pajak
Branch Profit Tax (BPT) dengan asumsi tarif menurut Tax Treaty 10%
Penghasilan Kena Pajak = angka asumsi Penghasilan Neto setelah koreksi fiskal

Dari illustrasi di atas, tampak jelas bahwa BUJKA akan menanggung beban pajak yang lebih besar Rp.900.000.000 = 1% – (10% x1%) x Nilai Kontrak = 0,9% x Rp. 100.000.000.000 apabila tidak memiliki kualifikasi usaha.

Terkait masalah ini Kepala Pusat Pembinaan Usaha Dan Kelembagaan pada Badan Pembinaan Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum melalui suratnya Nomor UM.01.03-KU/32 tanggal 31 Januari 2012 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing menghimbau agar Izin Perwakilan BUJKA yang diterbitkan oleh Menteri PU dapat dipertimbangkan sebagai pengganti Sertifikat BUJKA yang belum dapat diterbitkan oleh LPJK sehingga BUJKA dapat menerapkan tarif PPh Final 3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi dan 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi. Mengutip kembali pasal 17 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:05/PRT/M/2011, dalam hal LPJK belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA, Menteri dapat menerbitkan izin Perwakilan. Hingga saat ini himbauan tersebut belum diakomodasi oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kesimpulan

Belum dapatnya LPJK dalam menerbitkan Sertifikasi BUJKA menimbulkan diskriminasi pemajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi antara BUJKA (Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing) dengan BUJK (Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional) di mana BUJKA selalu terkena tarif PPh Final yang lebih tinggi yaitu 4%  (untuk jasa pelaksanaan konstruksi) atau 6% (untuk jasa perencanaan atau pengawasan konstruksi) dan tidak dapat menikmati tarif yang lebih rendah sebagaimana halnya BUJK yang mempunyai kualifikasi usaha.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian  Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak  perlu mempertimbangkan Izin Usaha Perwakilan BUJKA sebagai pengganti Sertifikat BUJKA agar BUJKA dapat menerapkan tarif PPh Final 3% untuk jasa  pelaksanaan konstruksi dan 4% untuk jasa perencanaan atau pengawasan konstruksi selama LPJK belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA (penyetaraan klasifikasi dan kualifikasi usaha konstruksi untuk BUJKA). Perlu dipertimbangkan bahwa pasal 1 Peraturan Menteri PU Nomor :05/PRT/M/2011 menyatakan BUJKA yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia dipersamakan dengan badan hukum Perseroan terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Di lain pihak, LPJK perlu segera menyusun  mekanisme sertifikasi BUJKA untuk menghindari adanya diskriminasi pemajakan.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait