Transformasi digital dalam sistem perpajakan menjadi kebutuhan mendesak seiring rendahnya rasio pajak Indonesia dibandingkan negara tetangga. Pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan integrasi data lintas sektor dipandang sebagai instrumen strategis untuk memperkuat basis penerimaan negara dan meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal. Penelitian ini bertujuan menganalisis kontribusi AI dan integrasi data dalam mewujudkan kebijakan fiskal yang optimal serta tantangan implementasinya di Indonesia. Metode yang digunakan adalah kualitatif melalui studi literatur dengan menelaah sumber-sumber ilmiah, laporan resmi, serta publikasi kredibel terkait perpajakan digital dan kebijakan fiskal. Hasil kajian menunjukkan bahwa AI mampu meningkatkan efisiensi administrasi, mendeteksi ketidakpatuhan secara real-time, serta memperkuat kepatuhan pajak. Integrasi data antar lembaga fiskal, perbankan, dan kependudukan terbukti memperluas basis pajak, menekan tax gap, dan mendorong perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti. Meski demikian, hambatan berupa fragmentasi data, keterbatasan infrastruktur digital, literasi teknologi aparatur, serta isu privasi masih menjadi kendala utama. Kesimpulannya, sinergi AI dan integrasi data memiliki potensi besar dalam modernisasi fiskal Indonesia, namun implementasinya perlu dilakukan secara bertahap melalui regulasi adaptif, penguatan kapasitas SDM, dan perlindungan data yang memadai agar tercapai sistem perpajakan yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan.
Kebijakan fiskal merupakan instrumen utama pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan, dan mewujudkan pemerataan pembangunan. Namun, penerimaan negara dari sektor perpajakan masih menghadapi hambatan struktural, salah satunya tercermin dari rendahnya tax ratio Indonesia yang pada tahun 2022 hanya sebesar 10,41% terhadap PDB. Angka ini tertinggal dibandingkan dengan Thailand (17,18%) dan Vietnam (16,21%) (Fitriya & Johar, 2025). Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah, seperti melalui UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta PMK No. 112/PMK.03/2022 yang mengatur pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, namun permasalahan mendasar terkait basis data perpajakan, kepatuhan wajib pajak, dan efektivitas pengawasan masih belum sepenuhnya teratasi.
Seiring perkembangan era digital, inovasi teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan integrasi data lintas sektor dipandang sebagai solusi strategis untuk memperkuat sistem perpajakan. AI berpotensi meningkatkan efektivitas pengawasan, mendeteksi ketidakpatuhan secara real-time, serta memprediksi tren penerimaan negara dengan lebih akurat (Septiya, 2025). Di sisi lain, integrasi data antar lembaga, seperti DJP, perbankan, dan kependudukan, dapat memperluas basis pajak dan mewujudkan transparansi kebijakan fiskal (Azhari & Nasution, 2025).
Meski demikian, realisasi integrasi teknologi ini masih menghadapi hambatan serius. Fragmentasi data antar lembaga, keterbatasan infrastruktur digital, rendahnya literasi teknologi aparatur pajak, serta tingginya biaya implementasi menjadi tantangan nyata yang dapat menghambat modernisasi fiskal. Kondisi ini menuntut adanya regulasi adaptif dan strategi implementasi bertahap agar pemanfaatan AI dan integrasi data dapat berjalan efektif.
Penelitian terdahulu, seperti He et al. (2025), lebih banyak menyoroti insentif fiskal dalam mendorong transformasi digital perusahaan, namun belum mengkaji secara komprehensif bagaimana integrasi AI dan pertukaran data lintas sektor publik dapat memodernisasi kebijakan fiskal. Dengan demikian, terdapat gap penelitian yang perlu dijawab. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pemanfaatan teknologi AI dan integrasi data antar sektor dapat menjadi instrumen strategis dalam mendukung modernisasi kebijakan fiskal yang optimal, sekaligus memberikan rekomendasi yang kontekstual bagi Indonesia di era digitalisasi pemerintahan.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur untuk mengkaji pengaruh pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam sistem perpajakan dan integrasi data antar sektor terhadap kebijakan fiskal yang optimal. Data yang digunakan bersifat sekunder dan diperoleh dari berbagai sumber relevan seperti buku, jurnal ilmiah, artikel, laporan resmi lembaga pemerintah maupun internasional, serta publikasi kredibel lainnya yang membahas topik terkait.
Variabel independen dalam penelitian ini meliputi pemanfaatan teknologi AI dalam sistem perpajakan, yang mencakup penggunaan machine learning, predictive analytics, dan otomatisasi pengawasan kepatuhan, serta integrasi data antar sektor yang menghubungkan informasi dari perpajakan, perdagangan, perbankan, bea cukai, dan kependudukan. Variabel dependen adalah kebijakan fiskal yang optimal, yaitu kebijakan yang efisien, tepat sasaran, transparan, dan mampu meningkatkan penerimaan negara serta efektivitas belanja publik. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran literatur pada basis data ilmiah dan sumber resmi dengan mempertimbangkan relevansi, kebaruan, dan kredibilitas. Analisis data menggunakan analisis konten untuk mengidentifikasi pola, hubungan, dan implikasi dari literatur yang dikaji, kemudian disintesis untuk menghasilkan pemahaman komprehensif dan rekomendasi kebijakan.
Penerapan Artificial Intelligence (AI) dalam perpajakan berkontribusi nyata terhadap optimalisasi kebijakan fiskal melalui efisiensi administrasi, peningkatan akurasi pengawasan, serta dorongan kepatuhan pajak. AI mampu menganalisis big data untuk mendeteksi ketidakpatuhan secara real-time, memprediksi penerimaan negara, sekaligus mengurangi beban manual aparatur pajak. Zheng et al. (2022) menunjukkan bahwa penerapan reinforcement learning dalam kebijakan pajak dapat meningkatkan kesejahteraan sosial hingga 90% dibanding sistem pajak konvensional di AS, dengan simulasi menunjukkan peningkatan produktivitas hingga 16% dan kesetaraan hingga 47% melalui optimalisasi kebijakan dinamis
Studi di Korea Selatan menegaskan efektivitas AI dalam pengawasan kepatuhan pajak melalui analisis transaksi elektronik secara real-time, yang berhasil menekan tingkat penghindaran pajak (Gaol et al., 2024). Demikian pula, Estonia telah menjadi rujukan internasional dalam digital tax administration dengan memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis AI untuk melayani wajib pajak secara cepat dan transparan (Akbar, 2025). Praktik-praktik ini relevan bagi Indonesia, terutama dalam memperkuat inisiatif seperti DJP Online dan implementasi NIK sebagai NPWP. Pemerintah Indonesia juga telah mengembangkan Core Tax Administration System (CTAS) melalui Direktorat Jenderal Pajak yang diharapkan mampu memanfaatkan big data analytics dalam pengawasan perpajakan (DJP, 2022). Hal ini sejalan dengan arah transformasi digital fiskal yang menekankan peningkatan efisiensi administrasi dan kepatuhan, di mana survei global menunjukkan bahwa AI meningkatkan akurasi deteksi fraud hingga 80% dan kepatuhan pajak secara keseluruhan hingga 20% melalui pengurangan asimetri informasi (OECD, 2023). Meskipun potensinya besar, pemanfaatan AI juga menuntut perhatian serius terhadap perlindungan data dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam UU ITE. Hal ini penting agar modernisasi tidak menimbulkan risiko kebocoran informasi yang merugikan masyarakat maupun negara.
Integrasi data antar lembaga seperti DJP, perbankan, kependudukan, perdagangan, bea cukai, dan administrasi publik jika dikelola dengan dukungan AI, dapat melahirkan kebijakan fiskal berbasis bukti yang transparan, tepat sasaran, dan akuntabel. Integrasi ini memungkinkan pemerintah memperluas basis pajak, mengurangi tax gap, dan meningkatkan efektivitas belanja publik (Azhari & Nasution, 2025; Fitriya & Johar, 2025), dengan data empiris menunjukkan bahwa integrasi NIK sebagai NPWP di Indonesia telah memadankan 59,23 juta NIK hingga November 2023, yang berpotensi menambah 1,3 juta hingga 12,74 juta wajib pajak baru dalam 1-5 tahun pertama implementasi, serta meningkatkan setoran PPh Pasal 21 hingga 52,35-123,06% per tahun melalui pengurangan shadow economy (Siswanto, 2023; DJP, 2023).
Sebagai contoh yang relevan datang dari Singapura, yang telah berhasil mengintegrasikan data fiskal antar lembaga melalui platform digital terpadu, sehingga meningkatkan kepatuhan dan memperkuat efektivitas redistribusi fiscal (Wahidin et al., 2025), di mana strategi digitalisasi IRAS sejak 2010-an telah mengurangi biaya administrasi hingga 50% dan meningkatkan compliance rate melalui analisis data real-time, dengan tax-to-GDP ratio mencapai 14% pada 2023, lebih tinggi dari rata-rata ASEAN (IRAS, 2023). Penerapan serupa di Indonesia mulai terlihat melalui program Satu Data Indonesia (Perpres No. 39/2019) dan kebijakan integrasi NIK-NPWP, meskipun masih menghadapi hambatan berupa fragmentasi data, standar interoperabilitas yang belum seragam, serta keterbatasan infrastruktur digital. Bappenas (2021) menegaskan bahwa penguatan Satu Data Indonesia merupakan prasyarat penting bagi perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti. Fragmentasi data fiskal yang selama ini terjadi dinilai menghambat efektivitas perencanaan dan pengawasan.
Gambar 1 berikut mengilustrasikan alur integrasi data antar sektor yang dikonsolidasikan melalui sistem nasional, kemudian dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan fiskal berbasis bukti.
Gambar 1. Diagram Alur Integrasi Data Antar Sektor untuk Kebijakan Fiskal yang Optimal
Gambar ini menunjukkan bagaimana data dari DJP, perbankan, kependudukan, perdagangan atau bea cukai, dan administrasi publik dipusatkan melalui Satu Data Indonesia. Konsolidasi ini menjadi basis bagi penyusunan kebijakan fiskal yang lebih transparan, efisien, dan adaptif.
Sinergi AI dan integrasi data berpotensi memperkuat ketahanan fiskal, meningkatkan transparansi, memperluas basis pajak, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, implementasi di Indonesia menghadapi beberapa risiko penting:
Privasi dan keamanan data, yang rawan penyalahgunaan apabila regulasi dan pengawasan lemah.
Akuntabilitas penggunaan AI, mengingat algoritma bisa bias atau menghasilkan keputusan yang sulit diaudit.
Kesiapan sumber daya manusia, di mana literasi teknologi fiskus dan kapasitas infrastruktur digital masih terbatas.
Biaya implementasi, yang berpotensi tinggi di tahap awal integrasi.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, penerapan teknologi fiskal perlu dilakukan secara bertahap melalui:
Pilot project pada sektor prioritas (misalnya e-commerce dan transaksi perbankan digital).
Perluasan ke sektor lain seperti perdagangan internasional dan administrasi publik.
Implementasi nasional dengan dukungan regulasi adaptif, perlindungan data pribadi, serta peningkatan kapasitas SDM perpajakan.
Selain itu, Bank Indonesia (2022) melalui Laporan Perekonomian Indonesia menekankan pentingnya sinergi integrasi data fiskal dan moneter, khususnya dalam menghadapi percepatan digitalisasi transaksi keuangan yang dapat berdampak pada basis perpajakan. Tabel 1 berikut merangkum pandangan sejumlah ahli internasional tentang kebijakan fiskal berbasis AI.
Tabel 1. Pandangan Ahli dan Dampak terhadap Kebijakan Fiskal AI
Tabel 1 tersebut merangkum pandangan ahli mengenai dampak kecerdasan buatan (AI) terhadap kebijakan fiskal serta strategi agar implementasinya tetap adil dan inklusif. Ajuzieogu (2025) menekankan perlunya model pajak AI yang mencakup data, otomatisasi, dan rente dengan koordinasi internasional untuk mendukung distribusi manfaat dan transisi tenaga kerja. Brollo (2024) mengusulkan asuransi pengangguran berbasis AI guna memperkuat ketahanan fiskal dan memastikan redistribusi yang efektif. Acemoglu et al. (2020) menawarkan ide pajak robot/AI untuk menekan ketimpangan upah melalui kebijakan pro-pekerja. Sementara itu, Korinek (2024) menyoroti pentingnya kebijakan fiskal yang responsif terhadap risiko AI bagi tenaga kerja, khususnya di negara berkembang.
Secara umum, pandangan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan modernisasi fiskal tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada desain kebijakan yang adil, inklusif, dan responsif terhadap risiko sosial. Dengan strategi bertahap, integrasi AI dan data lintas sektor dapat menjadi fondasi fiskal Indonesia yang adaptif, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Transformasi digital dalam sistem perpajakan melalui pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dan integrasi data antar sektor terbukti menjadi instrumen strategis dalam mewujudkan kebijakan fiskal yang lebih optimal. AI memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan efisiensi administrasi, memperkuat pengawasan, serta mendorong kepatuhan pajak secara real-time. Sementara itu, integrasi data lintas lembaga memperluas basis pajak, mengurangi tax gap, serta mendukung perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti yang lebih transparan dan akuntabel.
Sinergi antara AI dan integrasi data berpotensi memperkuat ketahanan fiskal nasional, meningkatkan keadilan distribusi, serta menciptakan sistem perpajakan yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital. Namun, implementasinya di Indonesia masih menghadapi tantangan berupa keterbatasan infrastruktur, fragmentasi data, rendahnya literasi teknologi aparatur, serta risiko privasi dan keamanan informasi. Oleh karena itu, modernisasi fiskal berbasis teknologi perlu dilakukan secara bertahap melalui pilot project di sektor prioritas, regulasi adaptif, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta penguatan perlindungan data. Dengan strategi implementasi yang tepat, Indonesia berpeluang besar membangun sistem perpajakan digital yang berkelanjutan, inklusif, dan mampu menjadi fondasi fiskal yang kuat bagi pembangunan ekonomi nasional.
Categories:
Artikel PajakJadwal Training
04 October 2024