Artikel Pajak

Naik Pajak, Turun Kepercayaan: Salah Angka atau Salah Pemerintah?

Adhylia Hanan Nafisyah

01 October 2025

Sejak 25 Agustus 2025, gelombang demonstrasi yang salah satunya terkait kenaikan pajak terus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Hingga Sabtu (30/8), aksi sudah memasuki hari kelima namun belum juga reda. Dari Jakarta hingga Makassar, ribuan mahasiswa dan buruh turun ke jalan menuntut penurunan beban pajak yang dinilai semakin mencekik. Namun, meski aksi sudah berjalan hampir sepekan, gejolak ini belum juga reda.

Gelombang protes ini bukan sekadar reaksi spontan, tetapi cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola fiskal. Ironinya, ketika masyarakat resah dengan kebijakan kenaikan pajak, sebagian pejabat publik justru mempertontonkan gaya hidup mewah dan hiburan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah pajak yang tinggi selalu menyengsarakan rakyat, dan apakah pajak rendah otomatis membawa kesejahteraan?

Fungsi Pajak dalam Perspektif Ekonomi Publik

Secara teori, pajak memiliki tiga fungsi utama sebagaimana dirumuskan oleh Richard Musgrave (1959):

  1. Fungsi Alokasi, yaitu pajak dipakai untuk membiayai penyediaan barang publik yang tidak bisa dihasilkan pasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

  2. Fungsi Distribusi, yakni peran pajak dalam mengurangi kesenjangan sosial dengan memberikan subsidi, bantuan sosial, dan jaminan bagi kelompok rentan.

  3. Fungsi Stabilisasi, yaitu pajak sebagai instrumen menjaga stabilitas ekonomi, mengendalikan inflasi, dan mendukung pertumbuhan jangka panjang.

Dalam kerangka sosial-politik, Jean-Jacques Rousseau melalui teori kontrak sosial menekankan bahwa rakyat bersedia membayar pajak sebagai bentuk penyerahan sebagian hak ekonomi dengan imbalan perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan dari negara. Dengan kata lain, legitimasi pajak tidak ditentukan semata oleh angka tarif, melainkan oleh kepercayaan publik pada negara.

Negara dengan Pajak Tinggi Tapi Rakyat Makmur

Mari kita lihat ke negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia yang rakyatnya rela membayar pajak sangat tinggi, bahkan salah satu yang tertinggi di dunia. Menurut data Trading Economics, tarif pajak penghasilan di Denmark mencapai sekitar 55,9%, Swedia 52%, dan Norwegia 47,40%. Angka ini jelas jauh di atas tarif Indonesia yang berada di kisaran 35% untuk lapisan tertinggi.

Namun, meski rakyat membayar mahal, mereka jarang protes. Mengapa? Karena pajak mereka kembali dalam bentuk jaminan sosial yang konkret:

  • Pendidikan gratis hingga perguruan tinggi.

  • Layanan kesehatan universal tanpa biaya tambahan.

  • Infrastruktur publik yang merata dan modern.

  • Tunjangan pengangguran, pensiun, dan subsidi bagi kelompok rentan.

Tidak hanya itu, negara-negara ini juga menduduki posisi teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparency International. Tahun 2023, Denmark menempati peringkat 1 sebagai negara paling bersih dari korupsi, disusul Finlandia dan Selandia Baru. Swedia dan Norwegia juga termasuk dalam 10 besar.

Artinya, masyarakat mau membayar pajak tinggi karena percaya bahwa uangnya tidak dikorupsi dan dikelola secara transparan.

Negara dengan Pajak Rendah Tapi Rakyat Makmur

Sebaliknya, ada juga negara yang justru memungut pajak rendah namun rakyatnya tetap sejahtera. Singapura, misalnya, memiliki tarif pajak penghasilan maksimal hanya 24%, tetapi pemerintah mampu menyediakan layanan publik yang efisien berkat pengelolaan anggaran yang ketat. Swiss menerapkan pajak penghasilan sekitar 40%, namun tetap dikenal dengan standar hidup tinggi dan sistem kesehatan yang baik. Bahkan, Uni Emirat Arab (UEA) hampir tidak mengenakan pajak penghasilan individu, tetapi tetap makmur karena mengandalkan pemasukan besar dari sektor minyak dan pariwisata.

Lalu, Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia berada dalam posisi yang agak paradoks. Tarif pajak relatif tinggi untuk negara berkembang, dengan lapisan tertinggi mencapai 35%. Namun, indeks korupsi masih memprihatinkan. Menurut laporan Transparency International 2024, Indonesia berada di peringkat 99 dari 180 negara, jauh di bawah Singapura (peringkat 3) atau Denmark (peringkat 1).

Di sinilah persoalannya. Beban pajak yang dibayarkan masyarakat terasa tidak seimbang dengan manfaat yang kembali ke mereka. Pendidikan masih mahal dan kualitasnya tidak merata. Layanan kesehatan sering membuat warga harus antre panjang, sementara fasilitasnya terbatas. Infrastruktur memang terlihat berkembang, tetapi distribusinya belum menyentuh seluruh daerah. Sementara itu, kasus korupsi di tubuh pejabat pajak kerap mencuat dan meruntuhkan kepercayaan publik. Dengan kondisi semacam ini, wajar jika banyak orang merasa diperas tanpa ada jaminan imbal balik yang layak.

Membangun Kepercayaan Publik

Dari perbandingan di atas, jelas bahwa masalah utama bukan terletak pada tinggi atau rendahnya tarif pajak, melainkan pada bagaimana negara mengelola pendapatan tersebut. Negara-negara dengan pajak tinggi mampu menumbuhkan kepercayaan publik karena ada transparansi, hukum yang tegas, serta pelayanan publik yang nyata. Begitu pula negara dengan pajak rendah tetapi makmur, mereka tetap bisa sejahtera karena pemerintah efisien, korupsi rendah, dan memiliki sumber pendapatan alternatif yang dikelola secara profesional.

Kepercayaan adalah fondasi. Rakyat akan rela membayar pajak tinggi jika melihat manfaat nyata yang mereka rasakan sehari-hari. Namun, tanpa kepercayaan, sekecil apa pun pajak yang dipungut akan tetap menimbulkan penolakan. Gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus 2025 adalah bukti bahwa jurang antara ekspektasi rakyat dan performa pemerintah semakin lebar.

Sejarah telah menunjukkan bahwa pajak, baik tinggi maupun rendah, bisa menjadi instrumen kemakmuran bila dikelola secara transparan, adil, dan efisien. Denmark dan Singapura mungkin menempuh jalur berbeda, tetapi keduanya berhasil menyejahterakan rakyat karena memiliki satu kesamaan: pemerintahan yang bersih dan terpercaya.

Indonesia memiliki peluang besar untuk menuju ke arah itu, asalkan berani melakukan reformasi fiskal yang tidak hanya teknis, tetapi juga moral. Pajak bukan sekadar angka dalam laporan keuangan negara, melainkan kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah. Jika kontrak itu ditepati dengan kejujuran dan tanggung jawab, maka pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai investasi bersama untuk masa depan.

Ke depannya, pemerintah perlu menata ulang sistem perpajakan agar lebih adil dan transparan. Rasio pajak yang tinggi seharusnya dibarengi dengan pelayanan publik yang benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat, mulai dari pendidikan yang terjangkau, layanan kesehatan yang memadai, hingga pembangunan infrastruktur yang merata. Selain itu, upaya pemberantasan korupsi di sektor perpajakan harus dilakukan secara serius agar kepercayaan publik kembali pulih. Dengan begitu, pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai instrumen gotong royong yang menyejahterakan semua.

Pada akhirnya, pajak bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan cermin hubungan antara negara dan warganya. Ketika pengelolaannya adil, bersih, dan berpihak pada rakyat, pajak dapat menjadi fondasi kokoh bagi terciptanya kesejahteraan bersama.

Referensi

Categories:

Artikel Pajak
Pajak 101 Logo

Jadwal Training

Jadwal Lainnya

Artikel Terkait

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA