RUU Tax Amnesty akhirnya disahkan oleh pemerintah sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang menjelaskan definisi pengampunan pajak, dalam pasal 1, sebagai penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan.
UU Pengampunan Pajak, yang bahkan sudah digugat untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi, sudah didukung dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan PMK No. 119/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah NKRI dan penempatan pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan dalam rangka Pengampunan Pajak. Lebih lanjut Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) juga telah menerbitkan Peraturan DJP No: PER-07/PJ/2016 tentang Dokumen dan Pedoman Teknis Pengisian Dokumen dalam rangka Pelaksanaan Pengampunan Pajak serta Surat Edaran No: SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Keuntungan UU Pengampunan Pajak
Apabila semua ketentuan formal terpenuhi maka, menurut Pasal 11(5) UU Pengampunan Pajak, Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengampunan pajak dapat memperoleh, sebagai contoh, penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan atas kewajiban PPh dan PPN, penghapusan sanksi administrasi, hingga tidak dilakukan pemeriksaan serta penyidikan setelah membayar Uang Tebusan.
Beberapa pertanyaan yang muncul dalam penerapan UU Pengampunan Pajak adalah harta apa yang dapat diikutsertakan dalam pengampunan pajak oleh Wajib Pajak. Dalam UU Pengampunan Pajak, yang dimaksud dengan harta adalah harta yang dilaporkan dalam SPT Tahunan seperti dijelaskan dalam pasal 5 UU tersebut.
Tulisan ini akan lebih menekankan pada permasalahan pelaporan atau pengungkapan harta Wajib Pajak baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi ataupun Badan serta definisi harta apa yang dapat memperoleh pengampunan pajak hingga apa yang dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak untuk melacak harta Wajib Pajak tersebut.
Pengungkapan Harta
Pengungkapan harta tentunya akan mempengaruhi jumlah Uang Tebusan yang harus dibayar sehingga pengungkapan harta dan definisi harta yang harus diungkapkan adalah hal yang penting bagi Wajib Pajak.
Berdasarkan pasal 1 UU Pengampunan Pajak, definisi harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI.
Definisi harta yang luas ini dapat menimbulkan penafsiran yang luas karena tidak adanya batasan dalam definisi harta sehingga harta yang dilaporkan dapat berwujud peralatan pribadi, perkakas rumah, uang tunai di rekening perbankan, piutang, asuransi jiwa, obligasi, hasil karya seni, batu mulia, logam mulia atau bahkan dana pensiun.
Untuk pelaporan rekening pribadi pada perbankan, banyak Wajib Pajak, terutama orang pribadi, dapat merasa keberatan apabila pelaporan juga disertai dengan nomor rekening perbankan yang bersangkutan kecuali jika peraturan dan Undang-Undang pajak mewajibkannya. Harta berupa uang tunai di rekening perbankan dari Wajib Pajak tentunya juga meliputi rekening perbankan yang berada di dalam dan luar negeri yang terutama berada di offshore banking. [2]
Karena keterbatasan definisi harta yang perlu dilaporkan, maka definisi harta mungkin dapat mengacu pada apa yang dapat dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan yang didasarkan atas petunjuk pengisian lampiran SPT Tahunan. [3]
Dalam prakteknya, karena batasan definisi harta yang kurang memadai, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mengalami kesulitan untuk membuat catatan lengkap atas harta yang harus dilaporkan untuk pelaporan SPT Tahunan terutama atas Wajib Pajak yang tidak memiliki kegiatan usaha. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, permasalahan dapat bertambah dengan adanya harta yang dimiliki bersama.
Untuk Wajib Pajak Badan, karena adanya kewajiban pembukuan maka pengungkapan harta akan didasarkan atas pembukuan, sesuai Pasal 28 UU Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam praktek, Wajib Pajak Badan bahkan dapat menggunakan harta pribadi pemegang saham dalam kegiatan usaha dari Wajib Pajak Badan tersebut.
Karena tidak adanya aturan pajak tentang definisi harta, maka definisi harta dapat saja mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata yang menjelaskan tentang definisi barang, termasuk barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Barang bergerak Pasal-pasal dalam KUH Perdata mengatur penjelasan tentang barang bergerak, baik yang karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan seperti kapal atau barang bergerak karena ditentukan undang-undang seperti hak pakai, piutang atau saham. Dijelaskan juga dalam bahwa perkakas rumah, mebel, perabotan rumah tangga atau perhiasan rumah dapat juga digolongkan sebagai barang bergerak yang dapat menimbulkan kesulitan jika Wajib Pajak Orang Pribadi harus melaporkannya. |
Barang tidak bergerak Untuk barang tidak bergerak, dapat meliputi, sebagai contoh, tanah, mesin-mesin pabrik, tanaman perkebunan hingga hak pakai atas barang tidak bergerak. Pelaporan harta yang terkait dengan hak kepemilikan barang tidak bergerak akan lebih mudah karena kepemilikan harta ini, pada umumnya, akan tercatat. |
Khusus untuk harta tidak berwujud, Undang-Undang juga menjelaskan tentang hak cipta atas benda tidak berwujud, misalnya hak merek, hak paten, dan hak cipta sehingga harta ini dapat dilaporkan dalam pelaporan pajak oleh para seniman, penemu hingga usahawan pemegang hak tersebut.
Untuk harta di luar negeri, ada beberapa hal yang dapat membuat Wajib Pajak kesulitan dalam melaporkan kepemilikan harta seperti kepemilikan badan usaha di luar negeri yang kepemilikannya tidak terbagi atas saham, seperti persekutuan atau trust, meskipun badan usaha tersebut digunakan untuk kegiatan usaha seperti contohnya sebagai perusahaan induk atau holding company. Demikian juga jika Wajib Pajak Indonesia memiliki saham atas unjuk yang kepemilikan sahamnya tidak tercatat.
Berdasarkan harta yang dilaporkan, pelaporan harta tersebut harus didasarkan pada nilai wajar dari harta tersebut pada akhir tahun pajak terakhir khususnya untuk harta selain kas berdasarkan pasal 6 UU Pengampunan Pajak.
Pelacakan Harta
Ditjen Pajak diberi kewenangan untuk mendapatkan informasi perpajakan berupa harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak karena berdasakan Pasal 35A dari UU Ketentuan Umum Perpajakan disebutkan bahwa instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Hal yang sudah berjalan ini memampukan Ditjen Pajak mengetahui harta seperti properti hingga kendaraan yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Untuk harta yang berada di luar negeri, berdasarkan pertukaran informasi, Dirjen Pajak dapat memperoleh informasi harta di luar negeri melalui Exchange of Information (EOI) berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) dan sebagai contoh, berdasarkan PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara EOI, Ditjen Pajak dapat memperoleh informasi kepemilikan atau penghasilan dari harta. [4]
Untuk harta berupa uang tunai di perbankan luar negeri, Indonesia yang telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) yang didukung OECD dan negara G20, akan berpartisipasi dalam pertukaran informasi keuangan yang diperoleh dari lembaga keuangan dari negara lain termasuk informasi rekening perbankan sehingga memampukan Ditjen Pajak mengetahui uang yang disimpan di perbankan luar negeri. Rencana lebih lanjut dari OECD bahkan adalah pertukaran informasi atas kepemilikan (beneficial owner) dari badan usaha di offshore financial center.
Harta yang tidak dilaporkan dapat dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis untuk menambah kekayaannya yang merupakan penghasilan bersih yang belum dilaporkan atau obyek pajak yang belum dikenakan PPh. [5]
Pengungkapan harta dari Wajib Pajak, berdasarkan UU Pengampunan Pajak. dapat digunakan sebagai basis data perpajakan yang lebih valid, terintegrasi dan terintegrasi dengan potensi penerimaan berupa penghasilan yang berasal dari harta tersebut baik berupa passive income, sewa hingga capital gain sehingga akan menguntungkan Ditjen Pajak dalam penerimaan pajak.
Kesimpulan
UU Pengampunan Pajak memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mendapat keuntungan berupa pembebasan sanksi administrasi dan sanksi pidana. Untuk pengungkapan harta, akan lebih baik jika diatur lebih lanjut tentang definisi harta yang perlu dilaporkan untuk mengikuti Tax Amnesty atau SPT Tahunan khususnya bagi harta bergerak dari Wajib Pajak Orang Pribadi.
Wajib Pajak, baik Badan maupun Orang Pribadi, menghadapi resiko atas harta yang tidak dilaporkan, baik yang berada di dalam ataupun di luar negeri, berupa sanksi administrasi dan pidana pajak yang dapat dihapuskan dengan mengikuti pengampunan pajak.
[2] Sebagai acuan dapat melihat pada penerapan aturan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) dari Amerika Serikat meski FATCA tidak hanya mengacu pada offshore banking di financial offshore center.
[3] Petunjuk pengisian dapat dilihat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-19/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya.
[4] Pasal 8(2) dari PMK No. 60/PMK.03/2014 yang sudah diubah dengan PMK No.125/PMK.010/2015
[5] Pasal 4(2)(p) UU PPh menjelaskan bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak merupakan objek pajak penghasilan.Â