Sesuai amanat Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN, tarif PPN yang akan diberlakukan adalah 12%. Melalui acara Taxcussion 2024 yang diselenggarakan oleh Kostaf FIA UI (14/7/2024), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI Haula Rosdiana dan Dewan Pembina Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani menyampaikan pandangannya terkait isu tersebut.
Menunda Kenaikan Tarif
Haula Rosdiana menekankan bahwa secara teori, kenaikan tarif pajak sebesar 1% tidak otomatis akan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Menurutnya, asumsi bahwa peningkatan tarif pajak akan langsung berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan negara adalah keliru. Dalam konteks ini, beliau menegaskan bahwa jawaban yang tepat adalah tidak menaikkan tarif PPN pada saat ini, dan jika memungkinkan, justru menurunkannya.
Senada dengan pernyataan Haula Rosdiana, menurut Ajib Hamdani kenaikan tarif PPN akan menjadi tantangan bagi perekonomian. Di satu sisi, kenaikan tarif PPN telah diamanatkan Undang-Undang, dan dilaksanakan paling lambat 1 Januari 2025. Meskipun begitu, menurutnya pengunduran kenaikan tarif PPN mungkin bisa dilakukan. Ia mencontohkan hal pajak karbon yang sesuai amanat UU HPP sudah harus berjalan pada 1 April 2022, namun nyatanya karena belum siap, hingga saat ini belum diimplementasikan.
Antara Tambahan Insentif atau Alternatif Lain
Menurut Ajib Hamdani, jika pemerintah tetap menaikkan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat. Misalnya, pemerintah menaikkan jumlah penghasilan tidak kena pajak atau menurunkan tarif PPh Pasal 21. “Jika pemerintah konsisten mendorong daya beli masyarakat, seharusnya ketika ada disinsentif satu sisi dalam konteks tarif PPN maka pemerintah harus berani mendorong insentif di tempat lain”, jelasnya.
Sementara itu, menurut Haula Rosdiana pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan alternatif lain selain menaikkan tarif PPN. Pemerintah bisa melakukan evaluasi struktur dan kebijakan perpajakan yang ada, serta mencari cara sumber penerimaan negara tanpa mengorbankan daya beli masyarakat. Haula menjelaskan peningkatan daya beli masyarakat harus menjadi fokus utama kebijakan pemerintah. Daya beli lebih tinggi akan berdampak pada konsumsi yang meningkat, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.