Pemerintah telah mewajibkan penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang namun perlu dikaji tentang penerapan aturan ini yang dapat berpengaruh pada peraturan pajak, baik Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khususnya pada Wajib Pajak Badan yang tentunya memerlukan perencanaan pajak agar ketentuan penggunaan Rupiah tidak menimbulkan masalah pajak atau agar dapat meminimalkan masalah pajak dalam kewajiban penerapan Rupiah.
Berdasarkan UU tentang Mata Uang tersebut, dijelaskan bahwa ada sanksi jika mata uang selain Rupiah digunakan dalam transaksi di Indonesia secara tunai maupun non tunai, maka bagi yang melanggar dapat dipidana kurungan maksimal 1 tahun dan denda hingga dua ratus juta Rupiah[2]. Kewajiban penggunaan Rupiah, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mempunyai beberapa perkecualian diantaranya: [3]
transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
transaksi perdagangan internasional;
simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
transaksi pembiayaan internasional.
Karena kewajiban diatas, maka Wajib Pajak dapat dipastikan akan menggunakan mata uang Rupiah dalam transaksi di Indonesia sehingga hal ini dapat menimbulkan pertanyaan atas perlakuan pajak seperti, sebagai contoh :
Pembukuan dalam mata uang asing,
Perlakuan pajak atas selisih kurs,
Hedging dan pembukuan dalam Rupiah, dan
Pelaporan PPN dan transaksi dalam Rupiah
Tulisan ini akan melihat peraturan perpajakan yang dapat diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia karena penerapan UU Mata Uang tersebut.
A. Pembukuan dalam mata uang asing Wajib Pajak Badan diperkenankan untuk menggunakan mata uang asing dalam pembukuan dan pelaporan pajak sesuai Pasal 3 UU KUP dimana pembukuan dalam mata uang asing harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 28 ayat (8) UU KUP [4].
Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat yakni: [5]
Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya pertambangan
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi;
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh;
Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
Kontrak Investasi Kolektif (KIK);
Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company), atau
Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Penerapan kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi dalam negeri tidak hanya berpengaruh pada pembukuan, dimana pembukuan untuk kepentingan komersil dapat menggunakan mata uang asing, seperti Dollar Amerika Serikat, namun transaksi dalam negeri termasuk pelaporan pajak menggunakan mata uang Rupiah dan hal ini akan dapat mempengaruhi harga jual, harga pembelian, biaya gaji, beserta PPh Potongan Pungutan (withholding tax) yang akan juga mempengaruhi pelaporan PPN. [6]
Untuk pembukuan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dalam mata uang asing , tentunya harus mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia khususnya pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing (PSAK No. 10)[7]. PSAK tersebut menjadi acuan, diantaranya, untuk pengakuan dan penghitungan selisih kurs, penentuan kurs yang digunakan hingga pengakuan atas pengaruh keuangan dari perubahan kurs valuta asing dalam laporan keuangan. B. Perlakuan Pajak atas Selisih Kurs Selisih kurs, menurut PPh, dapat menimbulkan permasalahan kerugian dan keuntungan karena selisih kurs. Keuntungan selisih kurs merupakan objek pajak penghasilan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh begitu juga dengan kerugian karena selisih kurs dapat menjadi biaya pengurang PPh sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh
Permasalahan nilai tukar dapat terjadi karena beberapa hal, misalkan Wajib Pajak yang mengimpor barang dengan mata uang asing namun harus menjualnya di Indonesia dengan mata uang Rupiah. Oleh karenanya, perlu diperhatikan cara menghitung keuntungan dan kerugian karena cara perhitungan selisih kurs yang tidak diatur rinci dalam UU PPh dan dapat didasarkan atas PSAK No. 10, contohnya :
Pengakuan selisih kurs, baik sebagai laba atau kerugian dalam laporan rugi laba Wajib Pajak, atas transaksi dalam mata uang asing akibat devaluasi atau depresiasi luar biasa suatu mata uang yang tidak memungkinkan dilakukannya hedging.
Pengakuan selisih kurs, yang akan diakui sebagai keuntungan atau kerugian kurs periode berjalan, karena selisih kurs tunai (spot rate) dan kurs masa depan (forward rate) misalnya karena adanya swap valuta asing untuk hedging.
Pembukuan untuk selisih kurs harus taat asas berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, sesuai Standar Akuntansi Keuangan, agar tidak dianggap melanggar UU PPh. [8]
Apabila Wajib Pajak diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dari PMK No. 196/PMK.03/2007 yang menjelaskan diantaranya mengenai kurs yang harus digunakan oleh Wajib Pajak pada awal tahun buku dan pada tahun berjalan untuk beragam transaksi. [9]
C. Hedging dan Kewajiban Penggunaan Rupiah Wajib Pajak dapat melakukan hedging atau lindung nilai untuk mengatasi masalah resiko nilai tukar karena kewajiban penggunaan Rupiah. Permasalahan dari hedging adalah apakah keuntungan atau kerugian karena hedging dapat diakui dalam perhitungan PPh. Untuk itu pembukuan menurut Standar Akuntansi Keuangan diperlukan untuk menentukan apakah pembukuan hedging, yang menjadi dasar perhitungan laba atau rugi karena hedging, telah dilakukan dengan benar.
PSAK No. 55 tentang Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai mengatur tentang pembukuan atas laba dan rugi instrumen lindung nilai terhadap risiko :
Nilai wajar aktiva atau kewajiban yang sudah diakui.
Nilai arus kas, atau
Risiko valuta asing.
Contoh dari hedging yang dilakukan atas risiko diatas :
ikatan pasti (komitmen) yang belum diakui (lindung nilai atas nilai wajar valuta asing), atau
transaksi yang diperkirakan akan terjadi (lindung nilai arus kas valuta asing).
Bagi DJP, yang menjadi pertimbangan atas transaksi hedging adalah objek PPh yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, contohnya atas bunga dan keuntungan selisih kurs sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Demikian juga dengan biaya yang dapat dikurangkan atas transaksi hedging seperti biaya bunga dan kerugian selisih kurs, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Jika transaksi hedging meliputi pembayaran, contohnya adalah bunga termasuk premium, diskonto atau premi swap kepada pihak asing di luar negeri, pembayaran akan terutang PPh Pasal 26 dengan tarif yang dapat berubah sesuai dengan tax treaty.[10]
D. Pelaporan PPN dan transaksi dalam Rupiah Untuk penjualan dan pembelian dalam negeri, maka transaksi harus menggunakan mata uang Rupiah sehingga pelaporan PPN juga harus menggunakan dasar pengenaan pajak dalam Rupiah.
Dalam prakteknya, pembeli dan penjual di Indonesia dapat saja membuat perjanjian penjualan atau pembelian yang memungkinkan perubahan harga bila terjadi perubahan nilai tukar dengan menggunakan proforma invoice, yang dapat dikatakan sebagai komitmen penjualan atau faktur sementara sehingga faktur komersial akan diterbitkan di kemudian hari.[11]
Proforma invoice juga terkadang dilakukan untuk menghindari pembayaran PPN yang harus dilakukan sedangkan pembayaran dari konsumen baru akan dibayar dalam jangka waktu lama setelahnya. Penggunaan proforma invoice dapat menjadi masalah bila ada perbedaan antara informasi antara proforma invoice seperti jumlah pembayaran hingga tanggal transaksi dengan informasi yang ada di faktur pajak.
Untuk pelaporan faktur pajak, penggunaan faktur pajak elektronik (e-faktur) akan lebih memudahkan pengawasan oleh DJP untuk menemukan ketidaksesuaian informasi faktur pajak dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam pelaporan faktur pajak elektronik, mata uang yang bisa digunakan hanya Rupiah dan untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang menggunakan mata uang selain Rupiah maka harus terlebih dahulu dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-faktur. [12]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk kepentingan perhitungan PPN, penggunaan mata uang asing dimungkinkan asalkan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan[13]. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut juga dijelaskan bahwa dalam transaksi atas:
Impor Barang Kena Pajak;
Penyerahan Barang Kena Pajak;
Penyerahan Jasa Kena Pajak;
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
yang dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing maka penghitungan besarnya PPN atau PPn BM, harus dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
Berdasarkan aturan diatas, dapat dilihat bahwa meskipun Faktur Pajak elektronik hanya mengatur pelaporan PPN dalam Rupiah namun peraturan pajak untuk PPN belum mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi di dalam negeri.
E. Kesimpulan Kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 dapat membuat Wajib Pajak bertransaksi hanya menggunakan mata uang Rupiah yang akan mempunyai pengaruh dalam perhitungan PPh serta pelaporan PPN. Wajib Pajak memerlukan perencanaan pajak atas kewajiban ini seperti dalam hal pembukuan, selisih kurs, transaksi hedging hingga pelaporan PPN.
DJP mungkin perlu merubah beberapa peraturan, contohnya atas peraturan PPN, untuk turut mendukung penerapan kewajiban penggunaan mata uang Rupiah untuk transaksi di dalam negeri.
[1] Praktisi pajak dan pengajar pada Program Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi UI. [2] Pasal 33 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang [3]Pasal 21 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
[4] Lihat PMK No.24/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas PMK No. 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. [5] Pasal 3 dari PMK No. 24/PMK.011/2012. [6] Perlu dicatat bahwa salah satu rencana revisi UU KUP terbaru adalah penerapan kewajiban penggunaan rupiah dalam pelaporan pajak. [7] Penjelasan Pasal 28 UU KUP [8] Lihat penjelasan dari Pasal 6(1)(e) UU PPh. [9] PMK 196 tersebut telah diperbaharui dengan PMK No. 24/PMK.011/2012 yang tidak merubah Pasal 6 tersebut. [10] Lihat Pasal 26 UU PPh. [11] Proforma invoice dapat didefinisikan sebagai faktur berisi ringkasan atau perkiraan yang dikirim oleh penjual kepada pembeli sebelum pengiriman barang. Faktur jenis ini mencatat jenis dan jumlah barang, nilai ,dan informasi penting lainnya seperti berat dan biaya transportasi. Proforma invoice biasanya digunakan sebagai faktur awal dan berbeda dari faktur normal (Sumber : BusinessDictionary.com). Proforma invoice dapat juga didefinisikan sebagai dokumen yang menyatakan komitmen penjual untuk menyediakan barang atau jasa tertentu kepada pembeli dengan harga tertentu dan tidak dicatat sebagai piutang oleh penjual dan juga tidak dicatat sebagai hutang oleh pembeli (Sumber : Debitoor Accounting Glossary, debitoor.com). [12]Pasal 5 dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Elektronik. [13] Lihat Pasal 14 dari PP No. 1 Tahun 2012.