Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

BPHTB1Pendahuluan

Salah satu kebutuhan primer setiap manusia adalah tempat tinggal atau yang biasa disebut rumah. Setiap tahunnya kebutuhan tempat tinggal di Indonesia mengalami peningkatan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.  Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Ada salah satu hak bagi Wajib Pajak yang diatur Undang-Undang yaitu melakukan upaya hukum untuk memperoleh atau mendapatkan keringanan pembayaran pajak. Salah satu cara yang dapat dilakukan Wajib Pajak khususnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tertuang dalam Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.


Pembahasan

Atas permohonan Wajb Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan pengurangan oleh Menteri dalam hal :

 1.Kondisi tertentu wajib pajak yang berhubungan dengan objek pajak, yaitu :
  a.Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
  b.Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
  c.Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran;
  d.Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dan orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
 2.Kondisi wajib pajak karena sebab-sebab tertentu, yaitu :
  a.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
  b.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
  c.Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
  d.Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
  e.Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
  f.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
  g.Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah;
  h.Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
  i.Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
  j.Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
  k.Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
  l.Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
 3.Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.
 4.Tanah dan atau bangunan di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama masa rehabilitasi berlangsung yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak dituiukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.

 
Besarnya Pengurangan BPHTB

Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut :

 1.Sebesar 25% untuk wajib pajak yang termasuk dalam  kategori memiliki Tanah dan/ atau bangunan Rumah Sederhana, Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana yang diperoleh langsung wajib pajak orang pribadi dari pengembang dan dibayar secara angsuran.
 2.Sebesar 50% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  a.Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
  b.Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dan orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
  c.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
  d.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
  e.Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
  f.Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
  g.Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
  h.Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.
 3.Sebesar 75% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  a.Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
  b.Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
  c.Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah;
 4.Sebesar 100% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  a.Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
  b.Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
  c.Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
  d.Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
  e.Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
  f.Tanah dan atau bangunan di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama masa rehabilitasi berlangsung yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak dituiukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.

 

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan BPHTB :

  1. Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang sebesar perhitungan setelah pengurangan.
  2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di atas wajib mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (4a) atau ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006.
  3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, angka 9, angka 10 dan angka 11, angka 12 serta huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliyar lima ratus juta rupiah).
  4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, angka 9, angka 10 dan angka 11, angka 12 serta huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua miliyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000,000,00 (lima miliyar rupiah).
  5. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan atau dapat mengajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3, angka 4 dan angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006.
  6. Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
  7. Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
  8. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan d, dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.
  9. Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf e , dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.
  10. Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf h dan huruf i telah lewat dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006.
  11. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam huruf h dan huruf i  berupa mengabulkan sebagian, atau mengabulkan seluruhnya, atau menolak.

Referensi :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 91/PMK.03/2006 Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 Tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
  3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.03/2004 Tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 16/PJ/2005 Tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 158/PJ/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2005 Tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.6/2005 tentang Penjelasan Peraturan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Categories: Tax Learning

Artikel Terkait