Salah satu syarat penyerahan barang yang dikenakan PPN menurut penjelasan pasal 4 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah bahwa penyerahan dilakukan di daerah pabean. Pengertian daerah pabean tercantum dalam pasal 1 angka 1 yaitu wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Definisi tersebut menekankan batas-batas wilayah Indonesia yang menjadi daerah pabean. Sementara itu UU PPN sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai saat terjadinya penyerahan atas suatu transaksi perdagangan internasional. Penentuan saat terjadinya penyerahan (point of delivery) demikian dirasakan penting dalam kaitannya dengan penentuan apakah penyerahan dilakukan di dalam atau di luar daerah pabean yang pada akhirnya akan turut menentukan apakah atas transaksi tersebut memenuhi syarat untuk dikenakan PPN atau tidak.
Incoterms 2000
Secara umum penyerahan dianggap telah terjadi ketika perusahaan penjual telah memindahkan risiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada perusahaan pembeli. Untuk menentukan point of delivery dalam perdagangan internasional perlu memahami Incoterms yaitu singkatan dari International Commercial Terms yang merupakan definisi standard perdagangan internasional yang diterbitkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) atau Kamar Dagang Internasional yang berkedudukan di Paris. Incoterms menetapkan secara jelas tanggungjawab dan risiko serta hak dan kewajiban bagi pihak pembeli maupun pihak penjual. Incoterms telah dianut oleh kebanyakan negara dalam pembuatan kontrak penjualan (sales contract) atas transaksi ekspor- impor sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1936 hingga terbitan terakhir yaitu Incoterms 2000. Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor P-01/BC/2007 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor KEP-81/BC/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk juga mengacu pada definisi dalam Incoterms. Sementara itu dalam menghitung pajak-pajak sehubungan dengan impor, ketentuan perpajakan mendasarkan pada Nilai Impor yang menjadi dasar perhitungan bea masuk sesuai perundang-undangan Pabean (UU Nomor 18 Tahun 2000 pasal 1 angka 20).
Incoterms memudahkan pemahaman atau interpretasi yang sama antar para trader dari berbagai negara terhadap syarat-syarat perdagangan internasional. Incoterms berlaku untuk berbagai jenis transportasi darat, laut dan udara . Berikut ini disajikan contoh Incoterms dengan moda transportasi laut dalam bentuk chart.
Sumber : H.M. Noch Idris Ronosentono, Pengetahuan Dasar Tatalaksana Freight Forwarding (Jakarta: CV.Infomedika, 2006), hal 324
Chart di atas menggambarkan risiko bagi Seller (Penjual) maupun Buyer (pembeli) serta point of delivery pada masing-masing trade terms yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
EXW = Ex Works (…nama tempat)
Penjual menyerahkan barang di tempat penjual, misalnya di pabrik, gudang atau tempat lainnya. Dalam hal ini dokumen ekspor belum di urus. Risiko dan biaya-biaya terkait dengan pengambilan barang tersebut di tempat penjual menjadi tanggungjawab pembeli. Dibelakang terminologi Ex Works dicantumkan nama tempat penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli. Misalnya Ex Works Jurong-Warehouse. Ini berarti barang di serahkan oleh penjual di gudang penjual yang berlokasi di Jurong Singapore).
FCA = Free Carrier (… nama tempat)
Penjual menyerahkan barang-barang kepada perusahaan angkutan yang ditunjuk pembeli di tempat yang telah ditentukan. Dalam hal ini dokumen ekspor di urus oleh pihak penjual. Risiko dan biaya-biaya bagi pihak penjual hanya sampai pada saat penyerahan barang kepada perusahaan angkutan, selebihnya menjadi tangungjawab pembeli. Nama tempat penyerahan tersebut dicantumkan di belakang terms FCA. Misalnya FCA Kuala Lumpur. Kuala Lumpur dalam hal ini adalah nama kota dalam negara pihak penjual melakukan penyerahan barang tetapi masih berada di wilayah negara yang bersangkutan.
FAS = Free Alongside Ship (…nama pelabuhan pengapalan)
Dalam hal ini penjual menyerahkan barang di samping kapal bersandar pada pelabuhan pengapalan yang ditentukan. Pembeli bertanggung jawab atas segala risiko dan biaya-biaya sejak barang diserahkan oleh penjual di samping kapal. Dokumen ekspor diurus oleh pihak penjual. Nama pelabuhan pengapalan dicantumkan di belakang terms FAS. Misalnya FAS Narita. Artinya penyerahan dilakukan di samping kapal yang bersandar di pelabuhan Narita Jepang.
FOB = Free On Board (…nama pelabuhan pengapalan)
Penjual melakukan penyerahan barang di atas kapal (melewati pagar kapal) yang tertambat di pelabuhan pengapalan. Sejak dari titik penyerahan tersebut pembeli bertanggungjawab atas risiko atas barang dan biaya-biaya yang terjadi. Semua dokumen dan biaya-biaya yang berkaitan dengan ekspor merupakan tanggungjawab penjual. Sama seperti FAS, nama pelabuhan pengapalan dicantumkan dibelakang terms FOB. Misalnya FOB Singapore.
CFR= Cost and Freight (…nama pelabuhan tujuan)
CFR yang sebelumnya juga disebut sebagai C&F perlakuannya sama dengan FOB, hanya dalam hal ini penjual wajib membayar biaya-biaya dan ongkos angkut sampai ke pelabuhan tujuan yang ditentukan. Meskipun demikian, risiko kehilangan atau kerusakan atas barang-barang sejak penyerahan melewati pagar kapal berada pada pihak pembeli. Nama pelabuhan tujuan dicantumkan di belakang terms CFR, misalnya CFR Tanjung Perak yang dalam hal ini merupakan pelabuhan tujuan.
CIF = Cost Insurance and Freight (…nama pelabuhan tujuan)
Perlakuannya sama dengan CFR, hanya saja penjual wajib menutup asuransi angkutan laut terhadap risiko kerugian pembeli terhadap kerusakan atau kehilangan barang yang mungkin terjadi selama dalam perjalanan. Meskipun penjual yang menutup asuransi, risiko atas barang telah berpindah dari pihak penjual kepada pembeli sejak penyerahan barang di atas kapal di pelabuhan pengapalan. Sama seperti CFR, nama pelabuhan tujuan dicantumkan dibelakang terms CIF, misalnya CIF Tanjung Priok.
DES = Delivered Ex Ship (…nama pelabuhan tujuan)
Dalam hal ini penjual dianggap menyerahkan barang kepada pembeli di atas kapal (barang belum di bongkar) pada saat kapal tiba di pelabuhan tujuan. Semua biaya dan risiko terkait dengan pengangkutan barang sampai ke pelabuhan tujuan masih merupakan tanggungjawab penjual. Pada kondisi ini dokumen impor di pelabuhan tujuan belum diurus. Terms DES Tanjung Priok menunjukkan bahwa barang diserahkan penjual kepada pembeli di atas kapal di pelabuhan Tanjung Priok.
DEQ = Delivered Ex Quay – Duty Unpaid (…nama pelabuhan tujuan)
Sama seperti DES namun penjual menanggung biaya bongkar barang tersebut ke atas dermaga. Dalam DEQ – Duty Unpaid pembeli wajib mengurus dokumen impor dan membayar semua bea masuk serta pajak-pajak sehubungan dengan impor tersebut.
DEQ = Delivered Ex Quay – Duty Paid (… nama pelabuhan tujuan)
Selain bertanggungjawab membongkar barang tersebut dari kapal ke atas dermaga, penjual juga bertanggungjawab atas pengurusan dokumen impor serta pembayaran bea masuk dan pajak-pajak terkait dengan impor tersebut di negara tujuan.
Dari penjelasan chart Incoterms di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perdagangan internasional (ekspor – impor), apabila sales contract mencantumkan terms EXW, FCA, FOB, CFR serta CIF maka penyerahan telah terjadi di negara asal barang (country of origin) karena risiko atas barang (kehilangan atau kerugian) telah berpindah dari penjual ke pembeli di negara asal barang tersebut. Dengan demikian misalnya dalam hal PT.A mengimpor barang dari S Pte Ltd Singapore dengan terms CIF Tanjung Priok, maka dalam hal ini penyerahan terjadi di Singapura yaitu di luar daerah pabean Indonesia sehingga tidak memenuhi syarat untuk dikenakan PPN. Pada saat PT. A memasukkan barang tersebut ke wilayah pabean Indonesia baru kemudian dikenakan PPN impor. Begitu juga misalnya apabila PT.X yang berkedudukan di Jakarta melakukan penjualan ke PT.Y yang bekedudukan di Surabaya terms CIF Tanjung Perak. Barang berasal dari sebuah perusahaan pabrik di Singapura di mana PT. X merupakan agen tunggalnya di Indonesia.. PT.X akan membeli barang dari vendornya di Singapore misalnya dengan terms Ex Work Warehouse Singapore. Selanjutnya PT.X menjual barang ke PT.Y dengan terms CIF Tanjung Perak. Mengacu pada Incoterms 2000, penyerahan dari PT.X ke PT. Y merupakan penyerahan di luar daerah pabean yaitu di Singapore (bukan di Tanjung Perak Surabaya), sehingga PT. X tidak wajib mengenakan PPN ke PT.Y. Selanjutnya PT.Y akan mengurus dokumen impor atas nama perusahaannya sendiri. Kontrak penjualan seperti ini bisa terjadi antara lain dalam hal PT.Y memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk (master list) atau dalam hal adanya pembatasan atau ketentuan pemerintah yang tidak membolehkan PT.X (misalnya perusahaan yang bergerak di bidang migas) melakukan impor langsung dari luar negeri melainkan harus melakukan pembelian dari perusahaan lokal.
Pertanyaan mungkin timbul dalam hal penggunaan trade terms DES atau DEQ – Duty Unpaid dalam transaksi perdagangan internasional, apakah penyerahan dianggap terjadi di luar daerah pabean atau di dalam daerah pabean? Dalam kedua terms tersebut risiko atas barang (kehilangan atau kerusakan) baru berpindah kepada pembeli setelah barang tiba di daerah pabean Indonesia. Pada DES penyerahan terjadi di atas kapal sedangkan pada DEQ – Duty Unpaid di sisi dermaga setelah barang dibongkar dari kapal. Sedikit benang merah mungkin dapat ditarik adalah bahwa dalam kedua terms tersebut dokumen impor wajib diurus sendiri oleh pembeli (importir) atas namanya sehingga Bea Masuk, PPh pasal 22 dan PPN dibayar oleh pembeli tersebut. Dengan demikian transaksi tersebut dapat dianggap seperti kegiatan impor biasa. Hal ini .berbeda dengan terms DEQ – Duty Paid, di mana pihak penjual yang mengurus dan membayar sendiri bea masuk dan pajak-pajak terkait atas namanya sehingga seolah-olah pihak penjual bertindak juga sebagai importir yang kemudian menjualnya kepada pembeli di daerah pabean. Perpindahan risiko atas barang ke pihak pembeli terjadi setelah pihak penjual menyelesaikan pengurusan dokumen impor. Meskipun terms tersebut jarang dipakai dalam sales contract ekspor-impor, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyerahan dalam daerah pabean yang merupakan salah satu syarat dikenakannya PPN.