Iman Santoso
18 Juni 2022
Menurut para ahli hukum, perpajakan internasional mengatur hal-hal mengenai pemajakan atas transaksi lintas negara (cross-border transaction) dimana diatur hak pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) apabila mendapatkan penghasilan dari sumber luar negeri juga, demikian halnya apabila terdapat Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menerima/memperoleh penghasilan dari sumber dalam negeri.
Dalam konteks regulasi perpajakan, kita semua tahu bahwa Pasal 32A UU Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah atau competent tax authorities negara lain dalam rangka perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B = double tax treaty). P3B, dalam hal ini secara teoretis memang memiliki dua tujuan utama seperti tercantum dalam buku P3B yang sering kita lihat. Kalau secara umum orang bilang don’t judge the book by its cover, tapi kalau P3B jelas-jelas judge the book by its cover, karena dari judulnya saja kita bisa mengetahui bahwa terdapat dua tujuan utama yang akan diperoleh dari P3B, yaitu: (1) menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of international double taxation); dan (2) mencegah penyelundupan pajak (to prevent tax/fiscal evation), meski belakangan kita juga memahami bahwa banyak yurisdiksi pajak juga memakai P3B untuk meng-combat international double non-taxation.
Oleh karenanya, sekarang kita paham bahwa persoalan utama dalam pajak internasional itu mencakup: (1) bagaimana kondisi/situasi pajak berganda (double taxation) dan sebaliknya non-double taxation dapat diantisipasi? Apalagi saat sekarang ini dimana dinamika business operation sudah sedemikian pesatnya memasuki era digitalisasi dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi canggih, tentu tugas berat dan concern atas pencegahan pajak berganda dan antisipasi non-double taxation menjadi semakin kritikal untuk dibuatkan pengaturannya; (2) pajak internasional dihadapkan pada fenomena perilaku penghindaran pajak (tax avoidance behaviour), khususnya yang terjadi pada Multinational Company (MNC) group yang beroperasi lintas negara yang memanfaatkan celah hukum yang ada yang bisa jadi karena lack of coordination aturan perpajakan antarnegara. Oleh karena itu, dua permasalahan ini dalam banyak literatur perpajakan internasional kontemporer masih dianggap sebagai problematika utama international taxation studies.
Upaya-upaya yang dilakukan banyak yurisdiksi pajak untuk mengatasi permasalahan perpajakan internasional tadi, secara garis besar dikelompokkan ke dalam 3, yaitu: (1) unilateral, artinya peningkatan kualitas peraturan perpajakan domestik agar double taxation dan non-double taxation issues tadi dapat dieliminasi, seperti dengan ketentuan kredit pajak luar negeri (KPLN) atau Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) provision; (2) bilateral, melalui upaya renegosiasi P3B yang dianggap telah out of date dan menyinkronkannya dengan international best practice seiring dengan perkembangan keilmuan perpajakan internasional, seperti penerapan Multilateral Instrument (MLI) provision. Juga dapat dilakukan secara (3) multilateral, misalnya melalui akomodasi ketentuan BEPS Action Plan di dalam legislasi UU perpajakan domestik juga P3B.
Beberapa perubahan ketentuan UU Pajak domestik yang berhubungan dengan aspek pajak internasional telah dilakukan dalam UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Secara unilateral, aspek-aspek pajak internasional yang berubah dengan pemberlakuan UU tersebut antara lain:
Permasalahan perpajakan internasional juga dapat diatasi melalui P3B. Dalam hal ini, kita melihat beberapa renegosiasi P3B telah dilakukan oleh Indonesia di kurun waktu 2021 hingga sekarang, yaitu P3B dengan Singapura dan Persatuan Emirat Arab.
Upaya bilateral melalui renegosiasi P3B Indonesia – Singapura menghasilkan beberapa perubahan sebagai berikut:
Sementara, upaya bilateral melalui renegosiasi P3B Indonesia – Persatuan Emirat Arab (PEA) menghasilkan poin-poin perubahan sebagai berikut:
Dapat dilihat bahwa beberapa prinsip perpajakan internasional kontemporer telah diakomodasi di dalam P3B baru tersebut, antara lain pengadopsian benefits concepts dan principal purposes test yang terdapat dalam MLI sebagai standar minimum ketentuan tentang GAAR. Juga pemakaian referensi OECD Model Tax Convention Tahun 2017 sebagai acuan untuk exchange of information yang mencakup seluruh jenis pajak, bukan PPh saja. Di samping penurunan atau kenaikan tarif WHT atas passive income dan pemajakan atas capital gain yang lebih disesuaikan dengan tren perpajakan internasional sekarang sekaligus untuk memperlancar laju cross-border investment.
Berikut adalah beberapa contoh adopsi BEPS Action yang merupakan global consensus dan international best practices dalam peraturan perpajakan di Indonesia:
Kita berharap ke depan permasalahan-permasalahan perpajakan internasional tadi dapat dicarikan jalan keluarnya secara komprehensif dan adil sebagaimana juga telah menjadi common issues banyak yurisdiksi pajak di dunia. Barangkali waktu-waktu ke depan kita akan melihat lebih banyak lagi 15 BEPS Action Plan akan diimplementasikan dalam peraturan pajak domestik kita. Khusus untuk hubungan P3B, dapat dilakukan penguatan atas pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili yang lebih fair ke depannya.
Categories:
Artikel Pajak12 Oktober 2024