Tax Learning

Bagaimana Ketentuan PBB-P2 dalam UU HKPD?

Tanah sebagai objek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memiliki kedudukan strategis dalam sistem pajak daerah. Sebagai sumber daya esensial, tanah tidak hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan hukum. Dalam konteks fiskal, tanah berperan sebagai instrumen untuk mengoptimalkan penerimaan daerah yang berasal dari pemanfaatan ruang, sekaligus mendorong keadilan dalam distribusi penggunaan lahan.

Seiring perkembangannya, pengelolaan PBB-P2 telah mengalami penyesuaian melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang menggantikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Objek PBB-P2 dalam UU HKPD

PBB-P2 merupakan salah satu dari sembilan pajak daerah yang pemungutannya diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota. PBB-P2 menyasar pada bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (Pasal 38 ayat (1) UU HKPD).

Kemudian, yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. Sementara itu, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.

Namun demikian, terdapat jenis kepemilikan yang dikecualikan dari objek PBB-P2. Merujuk Pasal 38 ayat (3) UU HKPD, yang dikecualikan dari PBB-P2 meliputi kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan:

  • bumi dan/atau bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintahan daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
  • bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
  • bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
  • bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
  • bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  • bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri;
  • bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenis;
  • bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh kepala daerah; dan
  • bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah.

PBB-P2 menyasar kepada orang pribadi atau badan yang secara nyata memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan bangunan. Dengan demikian, PBB-P2 tidak selalu dibebankan kepada pemilik bumi dan/atau bangunan, tetapi juga dapat dibebankan kepada pihak yang menguasai atau memanfaatkan bumi dan/atau bangunan tersebut.

Sebagai informasi tambahan, pemungutan dan pengadministrasian PBB terbagi menjadi dua yaitu diatur oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. PBB-P2 merupakan pajak yang diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah pusat berwenang dalam memungut PBB atas kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya yang (PBB-P5L).

Tarif dan Dasar Pengenaan PBB-P2

Pasal 41 UU HKPD menerangkan bahwa tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5%. Khusus untuk objek pajak berupa lahan yang digunakan untuk produksi pangan dan peternakan, tarif pajak ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan lahan lainnya yang ditetapkan melalui peraturan daerah.

Lebih lanjut, Pasal 40 ayat (1) UU HKPD, dasar pengenaan PBB-P2 adalah nilai jual objek pajak (NJOP) yang ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. Adapun besaran NJOP ditetapkan setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya oleh kepala daerah kabupaten/kota terkait. NJOP ditetapkan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.

Perlu dicatat, daerah dapat menetapkan besaran NJOP yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan PBB-P2. Besaran NJOP untuk penghitungan ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP).

NJOPTKP diberikan paling sedikit sebesar Rp10.000.000 untuk setiap wajib pajak. Dalam hal wajib pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 pada satu wilayah kabupaten/kota, NJOPTKP hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2.

Contoh Perhitungan PBB-P2

PT JKL memiliki lahan di DKI Jakarta dengan bidang area tanah seluas 1.000 m² dan luas bidang bangunan 800 m². Diketahui NJOP tanah per m² di daerah tersebut adalah Rp5.000.000 dan harga bangunan per m² adalah Rp1.000.000.

Adapun informasi tambahan dalam ketentuan Peraturan Daerah Gubernur Nomor 17 Tahun 2024 yakni dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan sebesar 40% (hunian) dan 60% (selain hunian) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. NJOPTKP yang berlaku di DKI Jakarta adalah Rp60.000.000.

Perhitungan NJOP Bumi dan Bangunan

Bumi = 1.000 m² x Rp5.000.000 = Rp5.000.000.000.
Bangunan= 800 m² x Rp1.000.000 = Rp800.000.000.
NJOP bumi bangunan = Rp5.800.000.000.

NJOP Kena Pajak (NJOP - NJOPTKP) = Rp5.740.000.000

DPP PBB-P2
= 60% x Rp5.740.000.000
= Rp3.444.000.000

PBB-P2 terutang
= 0,5% x Rp3.444.000.000
= Rp17.220.000

Categories:

Tax Learning

Artikel Terkait

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA