Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule

tax avoidance_1231.      Pendahuluan

Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin terbukanya perekonomian suatu negara tentu akan memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka dengan cara menciptakan berbagai inovasi produk barang maupun jasa. Sebagai perusahaan yang berorientasi laba sudah tentu suatu perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya melalui berbagai macam efisiensi biaya, termasuk efiesiensi beban (biaya) pajak.

 

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, yaitu semakin canggihnya skema-skema transaksi keuangan yang ada dalam dunia bisnis tentu juga akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan skema-skema transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak mereka, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap skema-skema penghindaran pajak tersebut. Bagi perusahaan yang beroperasi secara internasional (perusahaan multinasional) kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak lebih terbuka lagi yaitu dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (international tax avoidance). Dalam perdagangan internasional, perusahaan multinasional tersebut mempunyai peran sebesar 60 persen dari transaksi internasional.[1] Oleh karena besarnya sumbangan mereka terhadap perdagangan internasional maka wajar saja kalau perusahaan multinasional tersebut merupakan penyumbang pajak terbesar di banyak negara, tidak terkecuali juga bagi Negara Indonesia.

 

Terkait dengan perusahaan multinasional (PMA), dalam tahun 2005 saja, di Indonesia, realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan mencapai USD 8.68 miliar[2] Jumlah tersebut meningkat dua kalinya dari tahun sebelumnya. Seiring dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan pemerintah yang berasal pajak dari perusahaan multinasional seharusnya tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak.[3] Hal serupa juga pernah diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak mempunyai kewajiban membayar pajak.[4] Di balik pernyataan tersebut tentu kita bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak tersebut?

 

2.      Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1.      Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2.      Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance.[5] Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,  The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”,[6] atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).[7]

Lantas apa yang dimaksud dengan tax planning itu sendiri? Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan  bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?

Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:[8]

1.      Substantive tax planning, yang terdiri atas:

a.       Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

b.      Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

c.       Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

2.      Formal tax planning

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

3. Ketentuan tentang Anti Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:

1.      Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

2.      General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi  bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning[9] lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:[10]

1.      Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.

2.      Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.

3.      Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).

4.      Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang.

5.      Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.

6.      Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.

4.      Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga  berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan  anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.


[1] Bruno Gibert, “France: Consolidation and Developing the French Advance Pricing Agreement Procedure”, dalam European Taxation, IBFD, Februari 2005, hal. 56.

[2] Kapanlagi.com, 15 Desember 2005.

[3] Kompas, 23 November 2005.

[4] Kompas, 27 Agustus 2002.

[5] Untuk memperjelas perbedaan sudut pandang suatu negara atas skema penghindaran pajak yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lihat tulisan kami di Inside Tax Edisi September 2007.

[6] Indrayagus Slamet, “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata Perpajakan Indonesia”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hal. 8.

[7] James Kessler, “Tax Avoidance Purpose and Section 741 of the taxes Act 1988”, British Tax Review, 4 November 2004, hal. 377.

[8] Paulus Merks, “Categorizing International Tax Planning”, dalam Fundamentals of International Tax Planning (editor: Raffaele Russo), IBFD, 2007, hal. 66-69.

[9] Untuk mendapatkan pengertian defensive tax planning yang jelas, silahkan baca tulisan Indrayagus Slamet di Inside Tax Edisi September 2007.

[10] Rachel Tooma, “Tax Planning in Australia: When is Aggressive Too Aggressive?” dalam Tax Notes International,  Mei 2006, hal. 427.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait