Mengantisipasi Kebijakan Pajak Terhadap Kegiatan Usaha Pertambangan Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara

pertambangan1. Pendahuluan

Kegiatan usaha di sektor pertambangan yang sekarang berlaku dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, berdasarkan undang-undang yang dijadikan dasar hukum untuk melakukan kegiatan usaha tersebut yaitu minyak bumi dan gas alam termasuk panas bumi dan pertambangan umum.

Kegiatan usaha di sektor migas diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 sedangkan di sektor pertambangan umum adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1967, yaitu Undang-undang Pokok Pertambangan (untuk selanjutnya disebut UUPP).

UUPP tersebut diusulkan untuk diubah dengan undang-undang yang baru yag sudah disampaikan ke DPR yaitu Rancangan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU PMB).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1980, yang merupakan aturan pelaksanaan dari UUPP barang galian dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:

  1. golongan bahan galian strategis, antara lain: bitumen cair, lilin bumi, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium, nikel, kobalt dan timah;
  2. golongan bahan galian yang vital, yaitu: besi, mangaan molibden, khrom, bauksit, tembaga,timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, arsin, antimon, bismut, rhutium yodium, belerang dll.;
  3. golongan galian yang tidak masuk dua kelompok di atas, misalnya: nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu, asbes, grafit, magnesit dll.

Penggolongan tersebut dimaksudkan untuk menentukan siapa yang boleh mengusahakannya.

Kegiatan pertambangan umum selama ini dilakukan melalui penanaman modal asing karena merupakan investasi yang padat modal dan dilakukan dalam bentuk Kontrak Karya. Kontrak Karya yang sekarang ini berjalan sudah mencapai Generasi VII. Setiap generasi berbeda dengan generasi lainnya karena masing-masing mengandung kebijakan yang berbeda antara satu dengan lainnya, terutama kebijakan yang menyangkut pajak penghasilan.Kontrak Karya dari suatu generasi yang sama mempunyai ketentuan yang sama, dan sebelum ditawarkan kepada calon investor standar kontrak karya tersebut dikonsultasikan dengan DPR. Oleh karena itu suatu Kontrak karya dianggap sebagai lex specialis.

Tulisan ini membahas kegiatan pertambangan berdasarkan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara dibandingkan dengan undang-undang yang berlaku sekarang, terutama menyangkut kebijakan pajak penghasilan dari RUU PMB.

Berdasarkan RUU PMB usaha pertambangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

  1. pertambangan mineral radioaktif – dilakukan melalui Penugasan Usaha Pertambangan;
  2. pertambangan mineral logam dan batubara – berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, perseroan terbatas , koperasi dan perorangan; serta
  3. pertambangan mineral bukan logam dan batuan dilakukan oleh BUMN, BUMD, perseroan terbatas , koperasi dan perorangan.

2. Modus operandi

Berdasarkan UUPP kegiatan usaha pertambangan dilakukan melalui Kontrak Karya yaitu kontrak antara persahaan swasta (yang didirikan dalam rangka Undang-undang PMA) dengan Pemerintah RI, yang diwakili oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berbeda dengan UUPP dalam RUU PMB kegiatan pertambangan dilakukan dalam bentuk pemberian IUP untuk kegiatan pertambangan mineral logam dan batubara serta mineral bukan logam atau batuan. IUP diberikan untuk satu jenis pertambangan mineral atau pertambangan batubara.

IUP dilaksanakan di wilayah usaha pertambangan (WUP), dan proses pemberian IUP untuk pertambangan mineral logam dan batubara dilaksanakan melalui lelang sedangkan untuk pengusahaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan diberikan melalui permohonan pencadangan wilayah[1].

Berbeda dengan Kontrak Karya yang sifatnya sentralistik, IUP memberikan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (desentralisasi).

IUP terdiri dari dua tahap yaitu:

  1. IUP Eksplorasi, meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi termasuk studi kelayakan, dengan jangka waktu paling lama 8 tahun dan/atau
  2. IUP Operasi Produksi, meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan penjualan, diberikan untuk jangka waktu paling lama 23 tahun yang dapat diperpanjang untuk setiap kali 10 tahun.

Berbeda dengan UUPP, dalam RUU PMB pemegang IUP wajib memproses hasil tambangnya, karena IUP Operasi Produksi meliputi pengolahan dan pemurnian.

IUP diberikan dalam suatu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan WUP untuk pertambangan mineral logam dan batubara diberikan melalui lelang atau pencadangan wilayah. Namun demikian, di dalam RUU PMB tidak secara tegas dinyatakan bahwa satu badan usaha hanya dapat melakukan kegiatan usaha pertambangan di satu WUP yang sama.


3. Perlakuan Pajak Penghasilan

Kebijakan perpajakan, terutama pajak penghasilan, didasarkan atas dua pertimbangan utama, yaitu bersifat netral[2] terhadap sektor pertambangan dan pemberian insentif sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada suatu masa tertentu.

Kebijakan yang bersifat netral antara lain adalah:

  • bahwa pengeluaran yang dilakukan oleh pemegang saham sebelum terbentuknya PT PMA boleh dikonsolidasikan kepada PT PMA yang dibentuk kemudian sesudah Kontrak Karya ditandatangani[3];
  • semua pengeluaran yang dilakukan dalam masa pra-operasi (pre-operating expenses) diamortasasi dan dibebankan mulai saat perusahaan berproduksi.
  • masa kompensasi kerugian lebih panjang daripada ketentuan umum yaitu 8 tahun.

Seperti telah disebutkan di muka IUP diberikan kepada setiap badan usaha yang memenuhi syarat, artinya perusahaan pemegang IUP, dari sudut pandang perpajakan, sama dengan perusahaan lain yang bergiat diberbagai sektor industri. Dengan perkataan lain, perlakuan pajak yang berlaku bagi pemegang IUP harus tunduk kepada perlakuan pajak yang berlaku umum. Hal ini berbeda dengan perlakuan pajak dalam Kontrak Karya karena kontrak karya tersebut dikonsultasikan dengan DPR sehingga disamakan dengan undang-undang, yang berarti bahwa perlakuan pajak yang diberikan di dalam kontrak dimaksud dapat berbeda dengan yang berlaku umum.

Yang menjdai masalah adalah apakah peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku sudah cukup untuk memberikan perlakuan pajak di sektor pertambangan yang sifatnya netral. Di bawah ini disajikan perlakuan pajak yang perlu diberikan di sektor pertambangan umum atas dasar pertimbangan perlakuan pajak yang netral.

a. Pengeluaran dalam masa eksplorasi
Perlakuan pajak atas pengeluaran dalam masa eksplorasi sangat berpengaruh kepada upaya untuk menarik investasi di sektor pertambangan. Seperti telah disebutkan di muka berdasarkan RUU PMB IUP Eksplorasi berlangsung paling lama 8 tahun, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum dan studi kelayakan. Secara garis besar pengeluaran pada tahap ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran-pengeluaran yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun dan pengeluaran-pengeluaran yang mempunyai manfaat kurang dari satu tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 11A Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (Undang-undang PPh) pengeluaran yang mempunyai masa manfaat satu tahun atau kurang harus dibebankan sekaligus, sedangkan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus di amortisasi. Pengeluaran dalam tahap ini yang mempunyai masa manfaat kurang dari satu tahun adalah pengeluaran untuk karyawan dan tenaga-tenaga kerja yang lain. Apabila gaji untuk karyawan tersebut harus dibebankan sekaligus maka perlakuan ini akan merupakan disinsentif karena pembebanan sekaligus akan menyebabkan perusahaan tidak akan pernah dapat memperoleh kembali sebagian dari investasinya. Perlakuan pajak tersebut tidak netral sehingga akan menghambat investasi.


b. Saat dimulainya amortisasi

Pasal 11A Undang-undang PPh tidak secara tegas mengatur kapan amortisasi dimulai sedangkan berdasarkan Rancangan Undang-undang PPh yang sedang dibahas di DPRterdapat ayat baru yang disipkan yaitu ayat (1a) yang rumusannya adalah sebagai berikut:

“(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidangusaha tertentu yang diatur lebh lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

Ayat (1a) tersebut dapat dijadikan dasar hukum untuk memberikan perlakuan pajak yang berbeda terhadap pengeluaran-pengeluaran dalam masa pra-produksi di pertambangan umum.

Dengan demikian perlakuan pajak yang berbeda dengan ketentuan umum, untuk memperikan perlakuan pajak yang netral dapat diberikan.

c. Kompensasi kerugian

Sektor pertambangan umum merupakan kegiatan usaha yang sifatnya padat modal sehingga membutuhkan pendanaan yang besar. Apabila dikaitkan dengan rentang waktu kompensasi kerugian lima tahun sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (2) tidak memadai. Di dalam RUU PMB tidak diatur secara tegas berapa lama waktu yang diberikan untuk melakukan konstruksi. Hal ini penting untuk mengetahui jangka waktu mulai dari tahapan eksplorasi sampai dengan mulai beroperasi. Apabila diambil asumsi bahwa masa konstruksi membutuhkan waktu 2 tahun, maka waktu yang dibutuhkan untuk sampai tahap produksi adalah 10 tahun. Apabila dikaitkan dengan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana diatur di Pasal 6 ayat (2) maka kompensasi kerugian 5 tahun tidak menunjang sektor pertambangan.

d. Pengeluaran dalam rangka pengembangan daerah (corporate social responsibility- CSR)

Selama ini di dalam Kontrak Karya mengandung ketentuan tentang kewajiban perusahaan pertambangan untuk membantu Pemerintah dalam melaksanakan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan dari ketentuan tersebut dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat untuk menjadi tenaga yang terlatih atau untuk menjadi wirausaha, yang dibiayai oleh perusahaan. Program pengembangan wilayah yang dicanangkan Pemerintah tersebut terutama di tujukan kepada perusahaan yang bergerak di bidang penambangan minyak bumi, gas alam dan pertambangan umum lainnya. Dari sudut pandang Undang-undang PPh pengeluaran-pengeluaran yang berkaitan dengan pengembangan wilayah tersebut dapat dianggap tidak memenuhi dalam “biaya yang boleh dikurangkan” sesuai dengan ketentuan Pasal 6. Padahal hal itu sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan pertambangan, oleh karena itu bila pengeluaran untuk pengembangan wilayah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya maka perlakuannya menjadi disinsentif bagi penanaman modal di sektor pertambangan.
 
Dalam hubungan itu maka sebaiknya pengeluaran untuk pengembangan wilayah yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan boleh mengurangkan sebagai biaya. Pengeluaran tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah sehingga apabila dialihkan kepada pihak swasta sebaiknya bebannya dipikul oleh kedua pihak. Dengan memperkenankan dkurangkan sebagai biaya berarti Pemerintah hanya memikul 30% dari beban dan sisanya sebesar 70% dipikul oleh perusahaan (dengan asumsi tarif PPh adalah 30%). Sebaliknya apabila biaya pengembangan wilayah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya maka seluruhnya menjadi tanggungan perusahaan, sehingga bebannya menjadi lebih tinggi.

e. Ring fencing

Berdasarkan ketentuan yang berlaku sekarang, yaitu kegiatan pertambangan umum dengan KK, secara tidak langsung kebijakan yang dianut adalah ring-fencing, artinya perusahaan yang telah diberi kuasa pertambangan (KP) untuk wilayah pertambangan tertentu tidak dapat memperoleh KP untuk wilayah kerja yang lain. Dalam hal demikian maka harus membentuk badan usaha baru, supaya perusahaan tidak dapat melakukan konsolidasi antara satu wilayah pertambangan dengan wilayah lainnya. Mencegah tidak dilakukannya konsolidasi dimaksudkan agar perusahaan tidak memanfaatkannya untuk tax planning.

Di dalam RUU PMB tidak secara tegas bahwa satu badan usaha hanya diberikan satu WUP, sehingga kemungkinan perusahaan yang sama memperoleh dua WUP yang berbeda dapat terjadi. Mungkin kekewatiran ini terdengar berlebihan oleh sebab itu sebaiknya menunggu RUU PMB menjadi undang-undang dengan peraturan pemerintah sebagai aturan pelksanaannya mempetimbangkan masalah ini.

f. Perbandingan utang dan modal (DER)

Ketentuan tentang perbandingan utang dan modal (DER) di dalam suatu KK dimaksudkan agar perusahaan membiayai kegiatannya melalui equity financing bukan dengan loan financing. Hal ini dimaksudkan agar dengan adanya DER perusahaan serius untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Penerapan DER, berdasarkan KK didasarkan atas besarnya penanaman modal, yaitu investasi sampai dengan $ 200 juta DER adalah 5:1 sedangkan untuk investasi lebih dari $ 200 juta DER adalah 8:1.

Besarnya DER tersebut untuk menentukan apakah bunga atas pinjaman yang diperoleh perusahaan dapat dikurangkan sebagai biaya atau tidak. Apabila pinjamannya lebih besar dari DER dimaksud maka bagian bunga yang melebihi DER tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.

Karena perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan sesuai dengan RUU PMBkedudukannya sma dengan perusahaan lain maka peraturan yang mengatur DER harus merujuk kepada aturan umum yang berlaku. Undang-undang PPh mengatur DER hanya sebatas memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menentukannya. Dan sampai saat ini aturan semacam itu belum pernah diterbitkan. Dalam hal ketentuan DER tidak ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka perusahaan dapat memanfaatkannya melalui loan financing karena bunga yang dibayar dapat sepenuhnya dikurangkan sebagai biaya.

4. Kesimpulan

Apabila RUU PMB disetujui oleh DPR tanpa perubahan yang berarti maka perlu diikuti dengan upaya hukum dari peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga kebijakan perpajakan di sektor ini konsisten dan bersifat netral. Hal ini diperlukan mengingat bahwa pengusahaan di sektor pertambangan selama ini dalam bentuk kontrak karya yang diperlakukan sebagai „lex specialis“. Perlakuan ini memberikan ruang yang leluasa kepada pemerintah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan kebijakan yang dianut dalam suatu masa tertentu. Beberapa masalah masih perlu memperoleh perhatian secara khusus dalam arti mencarikan jalan dari sudut pandang hukum dalam kerangka memberikan perlakuan pajak yang bersifat netral terhadap kegiata usaha pertambangan.

a. Amortisasi

Masalah amortisasi dalam kaitannya dengan kegiatan usaha pertambangan umum adalah kapan saatnya membebankan pengeluaran selama pra-operasi. Amortisasi sebaiknya dimulai pada saat perusahaan sudah mulai berproduksi. Dan mengingat bahwa dalam RUU PMB investor diwajibkan juga melakukan pemurnian maka masa produksi harus dimulai pada saat perusahaan sudah dapat menjual produknya.
Disamping itu perlu ditegaskan bahwa dalam rangka penerapan amortisasi tersebut sebaiknya tidak ada pembedaan antara pengeluaran rutin (seperti misalnya gaji dan upah) dan biaya-biaya yang mempunyai manfaat yang lebih dari satu tahun.


b. Kompensasi kerugian

Seperti diketahui, masa eksplorasi adalah 8 tahun oleh karenanya masuk akal jika kompensasi kerugian diberikan untuk 8 sampai 10 tahun. Ini memungkinkan investor untuk memperoleh kembali seluruh investasinya.

c. Perbandingan utang dan modal

Ketentuan tentang perbandingan antara utang dan modal sebaiknya diterapkan sejalan dengan berlakunya undang-undang yang baru. Hal ini untuk mencegah investor memakai struktur loan financing, yang dari sudut pandang pajak penghasilan akan merugikan. Disamping itu penentuan perbandingan ini akan memaksa investor untuk membiayai investasinya melalui equity financing.

d. Pengeluaran untuk pengembangan wilayah

Kewajiban yang diahruskan oleh Pemerintah dalam kegiatan pertambangan adalah pengembangan wilayah (CSR), tetapi perlakuan pajaknya belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu untuk kepentingan kepastian hukum dan membagi beban yang dipikul perusahaan dengan Pemerintah maka sebaiknya di dalam RUU PPh yang sedang dibahas, ditegaskan bahwa CSR boleh dikurangkan sebagai biaya. Apabila hal ini tidak ditegaskan di dalam undang-undang maka hal ini akan menjadi hambatan bagi investasi.


[1] Istilah “wilayah pencadangan” tidak diberi rumusan di dalam RUU PMB, yang ada adalah “wilayah pencadangan negara” yaitu bagian dari wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk mineral dan batubara yang semata-mata hanya boleh diusahakan oleh negara. Secara analogi istilah “wilayah pencadangan” sebagai alternatif suatu perusahaan untuk memperoleh IUP adalah daerah tertentu yang diinginkan oleh suatu perusahaan untuk diusahakan.

[2] Tax neutrality, Tax Glossary, IBFD: Tax neutrality is often a goal (or at least a consideration) to tax policy makers. The idea behind the concept of tax neutrality is that ideally taxation should not have any influence on the allocation of resources in the economy.

[3] Modus operandi berdasarkan Undang-undang No. 11/1967 calon investor (sebelum PT PMA terbentuk) dapat melakukan penelitian pendahuluan dengan mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Ijin Penelitian Pendahuluan (SIPP). Penelitian pendahuluan dibatasi waktunya hanya 1 tahun untuk melakukan kegiatan secsra terbatas untuk mengetahui bahan galian yang terdapat di wilayah tertentu. Semua pengeluaran yang dikeluarkan pada masa ini dapat dikonsolidasikan kepada PT PMA yang dibentuk kemudian dan dimasukkan sebagai pengeluaran pra-operasi.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait