Masa kampanye pilpres 2014 dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memaparkan visi-misinya dan niat mulia memperjuangkan kesejahteraan rakyat demi merengkuh suara. Dalam konteks situasi fiskal yang kurang sehat, kedua pasangan sama-sama mengandalkan penerimaan dari sektor pajak.
Tax State
Ditandai dengan bergesernya sumber utama penerimaan ke pajak, maka Indonesia telah menjadi tax state semenjak 1986. Mengikuti Schumpeter (1991), tax state merupakan sebuah sistem model operasi suatu negara yang bersandar pada penerimaan dari hasil pemajakan atas kegiatan ekonomi di wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1983, pasca mengalami dua kali oil boom, tax ratio Indonesia sempat menyentuh angka 23%, tetapi lebih dari 2/3 penerimaan berasal dari sektor migas.
Ironinya, Indonesia kini memiliki nisbah pajak yang tidak menggembirakan, mencerminkan adanya kelemahan kapasitas perpajakan serius. Dalam satu dekade terakhir, nisbah pajak berkisar pada angka 11%-13%, masih di bawah ambang batas nisbah pajak rasional suatu negara berkembang (15%).
Siapapun yang akan memenangkan tampuk kekuasaan harus berupaya menggenjot pajak sebagai determinan seberapa jauh pemerintah akan memainkan perannya. Pajak merupakan sine qua non untuk mewujudkan janji-janji lantaran kesuksesan program di bidang apapun harus dimulai dari ketersediaan dana. Karenanya, sudah sewajarnya, jika optimalisasi pajak diangkat ke strata prioritas agenda politik. Sayangnya, dalam putaran debat dan kampanye para kandidat tidak tidak mengelaborasi lebih detail formula konseptual dan langkah operasional mengenai bagaimana hal itu dicapai.
Tidak Mudah
Menilik pengalaman di manapun, reformasi perpajakan tidak mudah dan tidak ada panacea. Sebagai negara berkembang, Indonesia berhadapan dengan beragam rintangan, dan yang paling utama political commitment pemerintah sendiri. Sejujurnya, pemerintah demi pemerintah Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh melakukan enforcement dalam menarik pajak karena, dalam kondisi budaya pajak rendah dan massifnya evasi pajak (tax evasion), hal itu dapat menimbulkan biaya politik yang mahal.
Pemerintah lebih memilih bermain aman dengan membiarkan evasi pajak dan tidak merisaukan celah pajak (tax gap) sepanjang hal itu menguntungkan secara politik dan dana yang dibutuhkan tersedia. Sebagaimana menjadi fenomena di kebanyakan negara berkembang, evasi pajak bahkan diberikan ruang demi menyokong perekonomian dan kebijakan sosial politik (Bahl dan Martinez-Varquez 1992:100).
Riwayat Pajak
Apa yang patut digarisbawahi adalah bahwa retorika dan pernyataan visi-misi saja tidak cukup menjamin komitmen yang kuat dan berkelanjutan. Komitmen pajak mesti dimulai dari “dapur” sendiri dan untuk itu, pengungkapan riwayat penunaian kewajiban pajak pribadi, yakni surat pemberitahuan (SPT), dapat menjadi prediktor kredibel akan kesungguh-sungguhan calon penguasa dalam bidang perpajakan.
Penyerahan berkas NPWP dan bukti penyampaian SPT yang dipersyaratkan KPU hanya kulit dan baru sebatas kewajiban formal. Sebaliknya, isi SPT lebih merefleksikan kepatuhan personal para kandidat sebagai warga negara dan pebayar pajak. Keempatnya, sampai taraf tertentu, memiliki latar belakang ekonomi mapan dan bahkan menjadi bagian dari konglomerasi. SPT secara polos akan menceritakan komitmen pemiliknya, apakah akan menjadi, meminjam Anies Baswedan, pengurus atau penguras negara.
Di sisi lain, ekspos SPT menghadirkan mekanisme kontrol integratif untuk menguji integritas calon pemimpin dari aspek korupsi dan evasi pajak. Pemimpin yang ketahuan tidak patuh dan jujur mengisi SPT rentan korupsi dan melakukan kebohongan, minimal terhadap janjinya sendiri. Bagi suatu negara pajak dan demokratis besar seperti Indonesia, calon pemimpin yang bersih dari korupsi saja tidak cukup, tetapi juga harus menunjukkan itikad baik dalam melaksanakan kewajiban pajaknya sebagai warga negara. Mengandalkan LHKPN sebagai dasar verifikasi kewajaran kekayaan memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap daftar dan asal kekayaan, tetapi tidak menyangkut kewajiban pajak. Padahal evasi pajak tidak kalah buruknya dibanding korupsi karena tipe kejahatan ini menyasar uang negara bahkan sebelum masuk ke kas negara.
Gagasan mengungkap isi SPT sulit diterima jika berlindung di balik hukum kerahasiaan pajak, isu yang sempat mencuat selepas bocornya data pajak Presiden SBY dan keluarganya. Namun demi kemaslahatan bersama, kerahasiaan bukan sesuatu yang terlampau sakral meskipun tetap dihormati. Lagi pula kerahasiaan pajak tidak dilanggar jika pengungkapan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Pemilihan presiden Amerika Serikat dapat menjadi preseden; sekalipun SPT merupakan informasi pribadi yang dilindungi hukum, namun calon presiden dan wakilnya secara sukarela merilis SPT-nya.
Substansi Demokrasi
Bagaimanapun, mengetengahkan isu pajak dalam perhelatan politik sangat baik bagi proses demokratisasi. Pajaklah yang memberi substansi pada kehidupan demokrasi; prinsip demokrasi dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat akan menemukan esensi jika rakyat, selain memberikan suara, juga membayar pajak. Pajak pula yang mengokohkan state building dan berperan dominan dalam memperkuat relasi rakyat dan negara sebagai wujud dari kontrak sosial fiskal untuk mencapai tujuan nasional. Kepemimpinan yang memberikan ketauladanan pajak akan membentuk kesadaran kolektif akan sentralnya peranan pajak dalam kehidupan bernegara, dan pada gilirannya akan mengubah perilaku kepatuhan pebayar pajak untuk bersedia berkontribusi.
Regulasi pilpres Indonesia tidak mengatur hal ini, tetapi, sama halnya dengan dokumen rahasia lainnya, atas dasar moralitas, transparansi, dan keadilan, publik berhak menuntut, dan sepatutnya mengapresiasi kandidat yang berprakarsa. Dengan demikian, perhelatan pilpres tahun ini dapat membuka lembaran baru konvensi bagi kontestasi figur yang amanah dan memiliki komitmen pajak yang konsisten dengan riwayat pribadinya.