Selain BPJS Kesehatan, karyawan di suatu perusahaan juga dapat mengikuti program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Program ini terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi JKK dan JKM yang dibayarkan pemberi kerja termasuk objek PPh Pasal 21. Sementara itu, iuran JHT dan JP yang dibayarkan pemberi kerja tidak termasuk objek PPh Pasal 21.
Ketentuan Umum BPJS Ketenagakerjaan
Pemberi kerja diwajibkan oleh pemerintah untuk mendaftarkan pegawainya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Program yang diikuti yaitu JKK, JK, JHT, dan JP. Setiap program memiliki penghitungan besaran iurannya masing-masing.
Jaminan Kecelakaan Kerja
Merujuk Pasal 16 PP 44/2015, besaran iuran JKK dikelompokkan berdasarkan risiko kecelakaan kerja, dengan perincian sebagai berikut:
Kelompok | Besaran Premi |
---|---|
Kelompok I | 0,24% dari upah sebulan |
Kelompok II | 0,54% dari upah sebulan |
Kelompok III | 0,89% dari upah sebulan |
Kelompok IV | 1,27% dari upah sebulan |
Kelompok V | 1,74% dari upah sebulan |
Pengelompokan tersebut bergantung dari tingkat kecelakaan kerja dari masing-masing bidang usaha pemberi kerja.
Jaminan Kematian
Pada Pasal 18 PP 44/2015, iuran JK ditetapkan sebesar 0,30% dari upah sebulan.
Jaminan Hari Tua
Dalam Pasal 16 PP 46/2015, iuran JHT ditetapkan sebesar 5,70% dari upah sebulan. Jumlah iuran tersebut terdiri dari 3,70% yang ditanggung perusahaan dan 2% ditanggung oleh pegawai.
Jaminan Pensiun
Menurut Pasal 28 PP 45/2015, iuran JP ditetapkan sebesar 3% dari upah sebulan. Iuran jaminan pensiun sebesar 2% ditanggung oleh perusahaan, sedangkan 1% lainnya ditanggung oleh pekerja.
BPJS Ketenagakerjaan dalam Penghitungan PPh Pasal 21
Dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023), pembayaran iuran JKK dan iuran JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan, yang dibayarkan oleh pemberi kerja, merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
Iuran tersebut masuk dalam komponen penghasilan bruto. Pemberi kerja kemudian menghitung PPh Pasal 21 terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk pegawai tetap, penghitungan dilakukan dengan menerapkan tarif efektif sesuai dengan lampiran PP 58/2023.
Pada saat menerima manfaat dari pembayaran premi tersebut, pegawai tidak lagi dikenakan pajak. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 7 huruf a PMK 168/2023 yang menyebutkan:
“Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak termasuk:
- pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;…”
Sementara itu, iuran JHT dan JP kepada BPJS Ketenagakerjaan yang dibayar oleh pemberi kerja, bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 huruf c PMK 168/2023, yang berbunyi:
“Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak termasuk:…
c. iuran terkait program pensiun dan hari tua yang dibayarkan kepada … badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja … yang dibayar oleh pemberi kerja;…”
Akan tetapi, untuk iuran JHT dan JP yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan pengurang dalam menghitung PPh Pasal 21. Dalam menentukan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap, pengurang digunakan pada saat menghitung PPh Pasal 21 untuk masa pajak terakhir, yakni di bulan Desember atau bulan tertentu saat pegawai berhenti bekerja.
Baca selengkapnya: Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Terakhir