Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukannya. PPh Pasal 21 merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut Negara melalui mekanisme pemotongan (witholding tax). Kewajiban untuk melakukan pengadministrasian pemotongan PPh Pasal 21 dari penghitungan, penyetoran , dan pelaporan pajak berada di pihak pemberi kerja sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 umumnya akan terjadi setiap bulan minimal atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap. Penghitungan PPh Pasal 21 sendiri memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi karena selain diperhadapkan dengan tarif yang beragam, Pemotong PPh Pasal 21 juga harus memperhatikan kondisi subjektif dan objektif, metode pemotongan, ataupun terkait metode penghitungan PPh Pasal 21. Terkait dengan metode penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap, ada 2 (dua) metode yang banyak digunakan oleh pihak pemotong yaitu Metode Forecasting (perkiraan) atau Metode Weighted Average (running system). Kedua metode tersebut memilki perbedaan terkait cara menghitung PPh Pasal 21 Pegawai Tetap.
Dalam menghitung PPh 21 terutang setiap masa (kecuali masa pajak terakhir yaitu masa desember atau masa dimana pegawai tetap berhenti bekerja), metode forecasting tidak melibatkan penghasilan masa-masa sebelumnya. Setiap masa dianggap beridiri sendiri-sendiri. Ketika menghitung masa pajak terakhir, seluruh komponen penghasilan dan pengurang diakumulasikan kemudian dihitung PPh 21 terutang Setahun (penghitungan didasarkan atas jumlah penghasilan dan pengurang secara aktual selama setahun). PPh 21 terutang masa pajak terakhir merupakan selisih dari PPh 21 terutang setahun dengan PPh 21 yang telah dipotong pada masa-masa pajak sebelumnya. Ketentuan Pemotongan PPh 21 (PER-32/PJ/2015 dan aturan-aturan sebelumnya) menggunakan Metode Forecasting dalam menghitung PPh 21 terutang.
Metode Weighted Average, menghitung PPh 21 terutang untuk pegawai tetap dengan melibatkan komponen penghasilan dan pengurang dari masa-masa sebelumnya. Penghitungan PPh 21 setiap masa (termasuk masa pajak terakhir) didasarkan atas jumlah aktual. Salah satu tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk mengatasi fluktuasi penghasilan pegawai tetap yang cukup tinggi yang dapat menyebabkan PPh 21 masa pajak terakhir menjadi Lebih Bayar (jika menggunakan Metode Forecasting). Metode Weighted Average tidak tertuang dalam ketentuan Pemotongan PPh 21 (PER-32/PJ/2015 dan aturan-aturan sebelumnya).
Baik Metode Forecasting maupun Weighted Average mengasumsikan setiap pegawai tetap akan bekerja hingga bulan desember. Dalam kondisi dimana pegawai tetap menerima penghasilan yang fluktuatif, kedua metode ini dapat menghasilkan penghitungan PPh 21 yang berbeda. Bahkan dalam suatu kondisi, penggunaan Weighted Average dapat menyebabkan PPh 21 pegawai tetap pada suatu masa (selain masa pajak terakhir) menjadi Lebih bayar.
Pembahasan berikut akan mengkaji legalitas penggunaan metode Weighted Average yang perlu dipahami agar pihak pemotong tidak salah dalam melakukan penghitungan PPh 21 pegawai tetap yang dapat menyebabkan timbulnya sanksi perpajakan, terlebih jika pemotong memperhatikan aturan terkait Pengawasan Pembayaran masa sebagaimana tertuang dalam SE 27/PJ/2012 Tentang Pengawasan Pembayaran Masa.
II. Pembahasan
Konsep Metode Weighted Average
Metode penyetahunan Weighted Average disebut juga System Running, dimana penghitungan PPh Pasal 21 dihitung dengan mengestimasikan penghasilan berdasarkan penghasilan kumulatif. Metode ini merupakan skema yang dibentuk sedemikian rupa untuk meredam fluktuasi PPh Pasal 21. Metode ini memperhitungkan penghasilan pada bulan-bulan sebelumnya. Adapun konsep Penghitungan Weighted Average adalah sebagai berikut:
- Bulan Januari merupakan bulan awal dalam penghitungan PPh Pasal 21 sehingga tidak memiliki komponen penghasilan dari bulan sebelumnya. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Januari sama dengan metode forecasting.
- Bulan Februari s/d Desember:
- Memperhitungkan penghasilan pada bulan-bulan sebelumnya (dijumlahkan)
- Memperhitungkan pengurang pada bulan-bulan sebelumnya (dijumlahkan)
- Penghasilan Neto Setahun = Penghasilan Neto X (estimasi masa kerja/realisasi masa kerja)
- PPh Pasal 21 sebulan = PPh Pasal 21 Setahun X (realisasi masa kerja/ estimasi masa kerja)
Penghitungan PPh Pasal 21/26 tahun 2009 dan sebelumnya
Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21/26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi senantiasa berubah yang mengikuti ketentuan Undang-undang PPh yang bergerak dinamis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 02/PJ./1995 hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 545/PJ./2000 diterbitkan dan berlaku sebelum perubahan terakhir Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Kemuudian, dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap/penerima pensiun bulanan dan wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap/penerima pensiun bulanan dengan menggunakan Formulir 1721-A1 (untuk pegawai tetap swasta) atau 1721-A2 (Untuk PNS). Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penghitungan pajak sehubungan dengan pemotongan PPh Pasal 21/26 terdiri dari dua yaitu :
1. | Penghitungan yang dilakukan setiap Masa dan |
2. | Penghitungan yang dilakukan setiap Tahun |
Penghitungan masa bersifat cicilan pajak dilakukan setiap bulan sedangkan Penghitungan tahunan merupakan pajak sesungguhnya atas seluruh penghasilan Pekerja/ Pemberi Jasa (Orang Pribadi). Terkait pelaporan SPT PPh Pasal 21 terdapat form SPT Tahunan PPh Pasal 21 (1721) berfungsi sebagai sarana pelaporan kewajiban PPh Pasal 21 yang dilakukan pada akhir tahun atas kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang telah dilakukan setiap bulan. SPT 1721 merupakan laporan dari hasil penghitungan tahunan atau penghitungan sesungguhnya.
Untuk Pegawai Tetap, pihak pemotong harus menghitung ulang seluruh penghasilan yang riil diterima dalam tahun tersebut. Jika dari jumlah tersebut terjadi kurang bayar, maka harus dilakukan pembayaran PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya. Sebaliknya jika ternyata lebih bayar, maka kelebihan tersebut harus diperhitungkan pada bulan-bulan lainnya dalam tahun takwim berikutnya. Pada dasarnya metode Weighted Average ini digunakan oleh Pemotong PPh Pasal 21 untuk menyiasati agar tidak terjadi kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang dapat menyebabkan adanya pemeriksaan bagi pemotong. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya lebih bayar ini adalah berfluktuasinya penghasilan teratur dan tidak teratur sehingga pemotong cenderung untuk membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 nihil.
Penghitungan PPh Pasal 21/26 setelah tahun 2009
Setelah berlakunya Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, terjadi perubahan terkait pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21/26. Mulai diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 31/PJ/2009, membuat penghitungan PPh pasal 21 yang dilakukan setiap Tahun tidak lagi berlaku. Namun demikian, pada ketentuan ini terdapat istilah Masa Pajak terakhir yaitu masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja. Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Terkait dengan pelaporan PPh Pasal 21 juga terjadi perubahan yang cukup signifikan, terutama sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 14/PJ/2013 tentang ketentuan mengenai Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian Dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada tahun pajak 2014. Salah satu issue terjadinya perubahan ini yaitu adanya kendala bagi otoritas pajak dalam melakukan pengawasan pelaporan SPT PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak (Januari s/d November) yang dilaporkan oleh pihak pemotong sesuai dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 32/PJ/2009. PER – 32/PJ/2009 memberi ruang kepada Pemotong PPh Pasal 21 melaporkan PPh Pasal 21 masa Januari s/d November bersifat gelondongan karena Formulir 1721 – I pihak pemotong hanya diwajibkan untuk disampaikan pada Masa Pajak Desember, sehingga tidak ada rincian tersendiri untuk setiap masa pajak Januari s/d November. Dalam praktiknya, ruang ini digunakan Pemotong PPh Pasal 21 melakukan penghitungan PPh 21 terutang setiap pegawai sesuai ketentuan yang diamanatkan pada lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 31/PJ/2009 hanya dilakukan di Masa Pajak terakhir saja, sedangkan penghitungan setiap pegawai di Masa Januari s/d November bersifat perkiraan dengan memperhatikan dampak kurang atau lebih bayar yang akan terjadi di masa pajak terakhir. Dengan berlakunya PER – 14/PJ/2013, pihak pemotong diwajibkan untuk melampirkan seluruh rincian daftar pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak dengan menggunakan Formulir 1721 – I Masa Pajak bagi pegawai tetap. Hal tersebut berdampak terhadap Pemotong PPh Pasal 21 yang seharusnya melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk setiap pegawai dilakukan secara tepat sesuai ketentuan yang pada setiap Masanya. Dampak dari kekurangan bayar pajak secara agregat di SPT Masa yang bersangkutan dapat menimbulkan sanksi administrasi perpajakan.
Penggunaan Metode Forecasting dalam PER-32/PJ/2015
Metode forecasting merupakan metode penghitungan PPh Pasal 21 dengan perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama satu tahun pajak. Secara implisit, metode penghitungan ini digunakan dalam contoh penghitungan PPh Pasal 21 pada lampiran PER-32/PJ/2015. Melalui PER-32/PJ/2015 kepada Wajib Pajak diharapkan dapat melakukan penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode perkiraan atau yang dikenal dengan forecasting method. Hal ini turut ditegaskan pula dalam Pasal 14 ayat (2) PER-32/PJ/2015, yaitu :
“Untuk Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Berikut ini ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode forecasting yang tercantum pada lampiran PER-32/PJ/2015 :
Retto pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp3.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Retto menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut:
Dari ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 pada lampiran PER-32/PJ/2015 diatas, terdapat penghasilan neto yang disetahunkan selama 12 bulan atau perkiraan lamanya pegawai yang bersangkutan bekerja. Ini artinya, bahwa pihak pemotong harus menggunakan estimasi atau perkiraan penghasilan selama satu tahun pajak untuk melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas jumlah penghasilan yang dibayarkan dalam setiap masa pajak. Perkiraan penghasilan selama satu tahun dilakukan dengan menyetahunkan penghasilan neto sebulan.
Studi Kasus dan Penghitungan
Pada tahun 2015, Budi Darmawanto bekerja pada PT Software Indonesia sebagai salah satu Marketing. Budi Darmawanto sudah menikah dan memiliki tiga orang anak (K/3). Berikut penghasilan yang diterima beserta Penghitungan PPh Pasal 21 Budi Darmawanto melalui metode weight average dan metode forecasting selama tahun 2015 (Besarnya PTKP sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 122/PMK.010/2015):
Jika dilihat dari figur SPT PPh Pasal 21/26, terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana sebelumnya dalam PER-32/PJ/2009 untuk penghasilan bruto dan PPh Pasal 21 yang dipotong dimasukan secara total keseluruhan tanpa merinci detail per pegawai. Sedangkan jika dilihat SPT PPh Pasal 21 yang berlaku sampai saat ini yaitu PER-14/PJ/2013 untuk penghasilan bruto dan PPh Pasal 21 yang dipotong harus dimasukan secara rinci per pegawai sehingga wajib pajak tidak dapat melakukan penginputan data secara asal. Pada contoh di atas terlihat jelas bahwa untuk suatu masa pajak (selain masa pajak terakhir) terdapat penghasilan namun PPh Pasal 21-nya negative (lebih bayar). Kondisi tidak lazim ini mempertegas bahwa penggunaan Weighted Average tidak relevan lagi.
III. Penutup
Berdasarkan analisa diatas maka dapat disimpulkan bahwa, penggunaan metode weight average dalam menghitung PPh Pasal 21 tidak sesuai dengan ketentuan pemotongan PPh Pasal 21/26 dan tidak relevan mengingat figur SPT PPh Pasal 21/26 menampilkan data rinci pegawai tetap yang memuat Jumlah Penghasilan Buro dan PPh Pasal 21 Terutang. Metode Weighted Average dapat menghasilkan PPh Pasal 21 terutang yang berbeda dengan Forecasting. Jika dalam suatu masa penggunaan metode Weighted Average secara agregat Lebih kecil dari Forecasting maka akan berpotensi timbulnya sanksi administrasi.
IV. Referensi
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian Dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 32/PJ/2015 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 545/PJ./2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi