I. Pendahuluan
Pertumbuhan suatu Perusahaan dapat dilihat dari kegiatan perluasan usaha yang dilakukan. Perluasan usaha tersebut dapat berupa pendirian Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan. Peruntukan Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan yang dimaksud tersebut juga disesuaikan dengan tujuan dan maksud tertentu. Misalnya pendirian Kantor Cabang yang bertindak sebagai kepanjangantangan dari Kantor Pusat ditujukan untuk melakukan kegiatan main business di daerah yang sebelumnya tidak dapat dijangkau, sedangkan Kantor Perwakilan hanyalah sebagai kantor yang mengurusi administrasi saja. Dari segi kewenangan pun bisa jadi tidak seluruhnya dilimpahkan ke Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan dan diatur secara jelas di dalam anggaran dasar perusahaan. Salah satu contohnya yaitu kewenangan atas perlakukan biaya Kantor Cabang, yang mana pembayaran tersebut umumnya langsung dilakukan oleh Kantor Pusat dan dibebankan dalam pembukuan Kantor Pusat. Walaupun demikian, dalam praktiknya juga timbul permasalahan kewenangan bila dikaitkan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan khususnya Pajak Penghasilan Pasal 21. Tidak jarang terjadi suatu tarik ulur antara tempat pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Lokasi Kantor Cabang dengan KPP dimana Kantor Pusat didirikan dan bertempat kedudukan.
II. Pembahasan
PPh Pasal 21 dipungut oleh Pemerintah Pusat
Dalam memori penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, disebutkan bahwa:
“…Adapun yang dimaksud dengan pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, antara lain, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai”
Mengacu pada ketentuan di atas, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak yang pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Walaupun pada akhirnya, hasil pungutan PPh tersebut akan dibagikan kembali ke daerah melalui Dana Perimbangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005, disebutkan pada Pasal 1 angka 8 bahwa Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Terkait dengan PPh Pasal 21 alokasi hasil pungutan dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 bahwa :
“Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).”
Sesuai hal tersebut bahwa PPh Pasal 21 pada hakikatnya adalah pajak pusat, dimana Kantor Pelayanan Pajak menjalankan fungsinya sebagai pemungut pajak dari Pemerintah Pusat. Konsep desentralisasi mengenai penerimaan negara berupa PPh Pasal 21 bukan merupakan kewenangan KPP, melainkan sudah diatur oleh Undang-Undang.
Desentralisasi Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21
Berdasarkan Pasal 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 23/PJ.43/2000 Tentang Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, disebutkan bahwa:
“Dalam pengertian Pemotongan PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 antara lain adalah pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, bentuk usaha tetap, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan. Pemotongan Pajak tersebut juga dilakukan oleh kantor cabang, perwakilan atau unit tempat pembayaran imbalan jasa ketenagakerjaan dimaksud dilakukan yang pada umumnya menunjuk pada tempat pelaksanaan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Dengan demikian nampak bahwa pada prinsipnya Undang-undang Pajak Penghasilan tidak mengatur mekanise pemusatan (sentralisasi) pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21.”
Berdasarkan hal tersebut maka pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 menganut adanya desentralisasi. Lebih lanjut sejak adanya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 258/PJ./2000 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-22/PJ./1995 Tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-205/PJ./1999 , maka Wajib Pajak yang telah mendapat ijin pemusatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 tetap dapat melaksanakan pemusatan tersebut sampai dengan tanggal 31 Desember 2000. Dengan demikian, mulai tahun 2001 apabila terdapat pegawai di Kantor Cabang maka pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 atas pegawai tersebut tidak dapat dipusatkan di Kantor Pusat, melainkan harus didesentralisasikan ke Kantor Cabang.
Tempat terutang PPh Pasal 21
Berdasarkan Penjelasan Pasal 21 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, disebutkan bahwa:
“…Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan….”
Kemudian terkait pengertian pemotong pajak, diatur lebih lanjut pada Pasal 2 ayat 1 huruf a PER – 32/PJ/2015 disebutkan sebagai berikut:
“Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi: a. pemberi kerja yang terdiri dari: 1. orang pribadi; 2. badan; atau; 3. cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut…”
Mengacu pada ketentuan di atas bahwa pemotong pajak terkait dengan dimana tempat terutangnya PPh Pasal 21. Adapun tempat terutangnya PPh Pasal 21 berdasarkan peraturan di atas ada di pihak yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan. Berdasarkan hal tersebut di atas apabila dikondisikan bahwa Kantor Pusat adalah pihak yang melakukan pembayaran gaji secara langsung kepada karyawan yang bekerja di Kantor Cabang. Kemudian, pembayaran gaji tersebut dicatat sebagai beban dalam pembukuan Kantor Pusat. Dengan demikian, seharusnya PPh Pasal 21 tersebut tidak terutang di kantor Cabang sehingga Kantor Cabang tidak disebut sebagai pemotong PPh Pasal 21.
III. Penutup
PPh Pasal 21 adalah salah satu jenis pajak penghasilan yang pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yang kemudian terdapat pembagian penghasilan ke daerah untuk melaksanakan konsep desentralisasi. Terkait dengan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan yang dilakukan oleh Pemberi Kerja, berdasarkan SE – 23/PJ.43/2000 bahwa PPh Pasal 21 tidak menganut asas pemusatan dan merujuk pada pada tempat pelaksanaan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan PER-32/PJ/2015 menyebutkan bahwa tempat terutangnya PPh Pasal 21 yaitu dimana pihak yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan.
IV. Referensi
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
- Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 23/PJ.43/2000 tentang Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan PPh Pasal 21 Dan Atau Pasal 26
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep – 258/PJ./2000 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-22/PJ./1995 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-205/PJ./1999