Peraturan transfer pricing didasarkan atas prinsip utama berupa penerapan arm’s length principle yang diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia dimana penerapan dan penafsiran arm’s length principle di Indonesia dapat saja berbeda dengan negara lain dan mempunyai permasalahan tersendiri dalam penerapan prinsip tersebut.
Arm’s length principle merupakan dasar, yang menjadi standar internasional, untuk menentukan harga transfer untuk tujuan pajak, yang digunakan dalam Pasal 9 dari OECD Model Tax Convention, sebagai keadaan yang dibuat atau diberlakukan di antara kedua pihak dalam hubungan dagang atau hubungan keuangan yang berbeda dengan yang dibuat antara perusahaan independen, maka setiap laba yang seharusnya diakui oleh salah satu perusahaan dengan kondisi tertentu, tetapi dengan alasan kondisi tertentu tersebut belum diakui, maka laba dimaksud dapat dimasukkan dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak. [5]
OECD, yang juga didukung oleh negara-negara G20 telah mengeluarkan laporan akhir tentang Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) pada bulan Oktober 2015. Permasalahan BEPS tidak hanya merupakan permasalahan transfer pricing namun juga permasalahan lain seperti international tax planning, tax avoidance hingga tax treaty.[8]
- Aktiva tidak berwujud, karena alokasi laba yang tidak tepat
- Alokasi resiko yang tidak selalu berhubungan dengan kegiatan yang dijalankan
- Tingkat pengembalian pembiayaan yang tidak selalu berhubungan dengan tingkat kegiatan pemberi pinjaman
- Karakterisasi ulang atas transaksi yang tidak rasional secara komersial
- Pembayaran jasa,
- Transaksi komoditas, dan
- Dokumentasi Transfer Pricing
B. Penerapan Arm’s Length Principle
Arm’s length principle juga diterapkan di Indonesia dan diartikan sebagai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diterapkan sesuai pasal 18(3) UU Pajak Penghasilan yang mengatakan bahwa:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.”
a. Penghasilan wajar
b. Biaya yang wajar
c. Penentuan utang sebagai modal
B.1. Penghasilan Wajar
Penerapan arm’s length principle untuk penghasilan yang wajar dapat berupa berapa jumlah untung atau rugi yang wajar dari transaksi hubungan istimewa. Tentunya bisa juga dihitung berapa harga jual wajar dari wajib pajak kepada pihak lain yang memiliki hubungan istimewa.
– | Laba wajar atas penjualan ke perusahaan perantara
Wajib pajak harus membuktikan bahwa harga jual yang dibuat atas penjualan kepada perusahaan perantara harus menggunakan harga wajar, dimana metode resale price (harga jual kembali) dapat menjadi metode transfer pricing yang paling tepat untuk menguji berapa harga wajar dari penjualan barang hasil produksi wajib pajak kepada perusahaan yang terafiliasi. Permasalahannya adalah diperlukan informasi atas harga jual dari perusahaan terafiliasi, yang umumnya merupakan sales company seperti di negara lain, dimana informasi harga jual dari perusahaan perantara kepada pembeli akhir tidak selalu dapat tersedia atau diperoleh DJP. Sebagai contoh adalah sengketa pajak atas harga jual mobil dimana wajib pajak mendapatkan kerugian atas penjualan mobil yang dijual kepada sales company yang memiliki hubungan istimewa yang berada di Singapura namun memperoleh keuntungan atas penjualan mobil kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa di dalam negeri. DJP berpendapat bahwa harga wajar atas penjualan kepada sales company di luar negeri seharusnya sama dengan harga jual kepada pihak terafiliasi di dalam negeri dan meskipun sebenarnya metode resale price seharusnya dapat digunakan namun metode cost plus tetap dapat digunakan sebagai metode transfer pricing yang tepat [14]. Penjualan hasil tambang, mineral atau hasil atas sumber daya alam kepada perusahaan perantara dapat memicu dugaan transfer mispricing yang dapat digolongkan sebagai manipulasi contohnya dengan adanya reinvoicing [15]. Untuk masalah transfer mispricing, metode Comparable Uncontrolled Price (CUP), dengan menggunakan harga acuan, dapat menjadi metode transfer pricing yang paling tepat untuk menguji harga wajar. Kasus Asian Agri yang menjadi sorotan dimana perusahaan tersebut menjual hasil produksi kepada perusahaan perantara sebenarnya tidak didasarkan atas pemeriksaan pajak sesuai pasal 18(3) UU PPh tentang transaksi hubungan istimewa namun didasarkan atas penggelapan pajak berdasarkan Pasal 39(1) UU KUP [16].
|
– | Laba wajar atas perusahaan jasa maklon
Perusahaan maklon adalah penyedia jasa maklon yakni pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/ pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa [17]. Meski perusahaan ini menyediakan jasa, namun untuk kepentingan transfer pricing, perusahaan ini digolongkan sebagai perusahaan toll manufacturer yang melakukan kegiatan manufacturing [18]. |
– | Laba wajar atas perusahaan sumber daya alam Harga wajar ditentukan oleh contract price atau spot price yang menjadi harga acuan dari harga jual wajib pajak seperti batubara, sawit, nikel. Jika metode CUP dapat digunakan sebagai metode transfer pricing yang paling tepat maka mungkin diperlukan verifikasi dari pihak ketiga untuk memastikan bahwa harga pembanding yang digunakan adalah harga yang wajar. Perlu dicatat bahwa laporan akhir BEPS menyatakan bahwa metode transfer pricing untuk komoditas sebaiknya menggunakan metode CUP. Sebagai contoh, untuk harga acuan dari batu bara, metode penentuan harga batubara yang digunakan dapat menggunakan pendekatan atau harga berdasarkan Barlow Jonker Index pada saat kontrak penjualan disepakati kedua belah pihak, pertimbangan jumlah batubara yang akan dijual serta kualitas dan kandungan kalorinya [20]. Untuk mineral logam, dapat digunakan harga berdasarkan London Metal Exchange. |
– | Domestic transfer pricing
Berdasarkan Pasal 2(2) dari PER – 32/PJ/2011, penerapan arm’s length principle juga dilakukan dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Peraturan DJP ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
Meskipun tarif PPh Badan dari wajib pajak badan berdasarkan pasal 17 UU PPh adalah sebesar 25% namun beberapa perusahaan dapat memiliki tarif pajak lebih rendah atau bahkan lebih tinggi dari tarif sebesar 25% yakni:
|
[1] Andreas Adoe, praktisi pajak dan pengajar pada Program Administrasi Fiskal Fakultas Administrasi UI.
[2] Addressing Base Erosion and Profit Shifting, OECD, 2013. Dalam laporan ini dijelaskan bahwa penekanan khusus untuk masalah transfer pricing diberikan atas pergeseran resiko dan aktiva tak berwujud hingga pemecahan kepemilikan aset antar kelompok perusahaan.
[3] The BEPS Project and Developing Countries: from Consultation to Participation, OECD, November 2014.
[4] OECD/G20 BEPS Project Final Reports: Aligning Transfer Pricing Outcomes with Value Creation, Action 8-10, Oktober 2015.
[5] Article 9 OECD Model Tax Convention dan Glossary, OECD Transfer Pricing Guidelines.
[6] “Brazil’s Approach to Transfer Pricing: A Viable Alternative to the Status Quo?”, Tatiana Falcao, Tax Management Transfer Pricing Report, Vol. 20 No. 20, 2/23/2012. Lihat juga, Transfer Pricing and the Arm’s Length Principle in the International Tax Law, Jens Wittendorff, Kluwer Law, 2010, yang berisi penerapan arm’s length principle di Amerika Serikat.
[7] United Nations Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries, 2013.
[8] OECD BEPS Final Report, http://www.oecd.org/ctp/beps-2015-final-reports.htm.
[9] BEPS – Frequently Asked Questions, OECD, Actions 8-10 – Assure that transfer pricing outcomes related to intangibles are in line with value creation, Action 13 – Re-examine transfer pricing documentation, http://www.oecd.org/ctp/beps-frequentlyaskedquestions.htm
[10] Pasal 1 angka 6 dari PER – 32/PJ/2011
[11] Pasal 3(2d) dan Pasal 3(3) dari PER – 32/PJ/2011
[12] Berdasarkan Per DJP No.PER – 22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, pemeriksa pajak juga diwajibkan melakukan hal serupa dengan hal yang dilakukan wajib pajak seperti analisa kesebandingan, functional analysis, karakterisasi entitas hingga penentuan metode transfer pricing.
[13] “Transfer Pricing Audits of Manufacturing Companies in Indonesia: Quo Vadis?”, International Transfer Pricing Journal, IBFD, Andreas Adoe, Januari 2015. Sengketa masalah transfer pricing untuk perusahaan manufaktur dalam tulisan ini diambil dari tulisan di jurnal tersebut.
[14] Lihat Putusan Banding No. PUT-54375/PP/M.XA/15/2014 yang berisi sengketa atas masalah tersebut dan Wajib Pajak berpendapat bahwa kerugian disebabkan adanya harga kontrak yang telah dibuat hingga kerugian nilai tukar.
[15] Penjelasan tentang transfer pricing dan transfer mispricing (http://www.taxjustice.net/topics/corporate-tax/transfer-pricing/). Dari penjelasan ini dapat dilihat tentang penggunaan transfer pricing untuk profit shifting.
[16] Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/PID.SUS/2012
[17] Peraturan DJP No. PER-70/PJ/2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf UU PPh. Dalam lampiran III dijelaskan tentang definisi jasa maklon.
[18] S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi menjelaskan tentang definisi perusahaan toll manufacturer.
[20] Lihat Putusan Pengadilan Pajak No. Put.42759/PP/M.XVI/15/2013.
[21] Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, tarif PPh tidak akan berubah sejak penandatanganan kontrak meskipun tarif PPh Badan dapat berubah sesuai UU PPh seperti tarif PPh yang digunakan ada yang mengunakan tarif PPh Badan 45% hingga 30%. Hal ini sebenarnya juga berlaku untuk Kontrak Karya bagi usaha pertambangan.
[22] Paragraf 12 dari Preface dari OECD Transfer Pricing Guidelines menjelaskan bahwa masalah transfer pricing sebenarnya dimulai dari masalah domestic transfer pricing.
[23] Sebagai contoh adalah Italia yang memiliki domestic anti-avoidance rules termasuk didalamnya masalah transfer pricing namun domestic transfer pricing belum tentu dapat diterapkan seperti dijelaskan dalam “Supreme Court Decision on Transfer Pricing: Burden of Proof, Anti-Avoidance Interpretation and Abuse of Law Principle”, International Transfer Pricing Journal, IBFD, June 2007.
[24] Lihat Putusan Banding No. PUT-43906/PP/M.XIV/15/2013 dimana laporan industri digunakan sebagai benchmarking.