Sunset Policy: Fostering, Aware, and Increase

Sumber dana atau penerimaan Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendapatan negara terbagi menjadi dua yaitu Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan Perpajakan merupakan sumber dana utama  yang sangat berpotensi dan mendominasi pendapatan negara Indonesia, yaitu sekitar 70% dari penerimaan APBN.

Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia salah satunya adalah Self Assessment yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang. Namun, tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia masih tergolong rendah. Masih banyak Wajib Pajak yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban dan yang tidak mengetahui tatacara untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Salah satu tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu Negara dapat dinilai dengan Tax Ratio.

Tax Ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara pada periode tertentu. Tax Ratio digunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara. PDB di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan tidak hanya berasal dari produksi jasa dan barang dalam negeri saja, tetapi dari investasi orang asing. Di Indonesia, penerimaan pajak yang digunakan untuk menghitung tax ratio hanya dari pajak pusat saja. Sedangkan dalam model OECD, tax ratio dihitung berdasarkan penerimaan pajak pusat, pajak daerah dan SDA. Dua hal inilah yang menyebabkan tax ratio di Indonesia lebih kecil dibandingkan negara lainnya.

Dapat dilihat perkembangan dari tax ratio di Indonesia adalah sebagai berikut.

Grafik 1.1 Perkembangan Tax Ratio di Indonesia

grafik sunset

Dari grafik 1.1 di atas dapat dilihat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, Tax Ratio di Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan. Kenaikan terjadi pada tahun 2008 kemudian mengalami penurunan yang drastis pada tahun 2009.

Adapun perbandingan Tax Ratio beberapa negara di ASEAN dapat dilihat pada grafik di bawah ini.Bila dibandingkan dengan negara di ASEAN, Tax Ratio Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lainnya selain Myanmar dan Kamboja.

Grafik 1.2 Tax Ratio ASEAN Tahun 2011

grafik 2 sunset

Selain akibat dari komponen penentuan Tax Ratio di Indonesia, hal ini disebabkan juga karena lebih rendahnya tingkat realisasi penerimaan pajak terhadap target APBN yang dipengaruhi dari tingkat kepatuhan wajib pajak yang kurang. Tax Ratio dapat ditingkatkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menjalankan kebijakan dalam perpajakan, yaitu Sunset Policy yang merupakan fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan agar menarik para Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pada tanggal 30 April 2015 pemerintah melalui Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, Dan Keterlambatan Pembayaran Atau Penyetoran Pajak, yang berlaku mulai tanggal 4 Mei 2015. Pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut diatur mengenai tata cara pelaksanaan kebijakan Sunset Policy Tahun 2015 (umumnya dikenal dengan istilah Sunset Policy jilid 2).

Berdasarkan latar belakang yang ada, penulis tertarik untuk membahas tentang kebijakan Sunset Policy Jilid 2 yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 ini.

Faktor-Faktor Pelaksanaan Sunset Policy Jilid 2

Pemerintah dalam mengadakan kebijakan Sunset Policy Jilid 2 pada tahun 2015 ini dilatarbelakangi oleh berbagai hal keadaan dan faktor-faktor. Salah satunya adalah bercermin dari Sunset Policy Jilid 1 pada tahun 2008 yang bisa dikatakan cukup efektif untuk meningkatkan pendapatan Negara.

Pada tahun 2008, Tax Ratio mengalami peningkatan sebesar 0,6% dari 12,4% (2007) menjadi 13% (2008). Peningkatan Tax Ratio ini merupakan indikator dari efektivitas diberlakukannya kebijakan Sunset Policy Jilid 1 yang dilakukan secara sukarela oleh Wajib Pajak. Dalam laporan tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tahun 2008, terdapat perbandingan antara target dengan realisasi penerimaan pajak sebagai berikut:

Grafik 1.3 Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2008

grafik 3 sunset
Sumber : Laporan Tahunan Dirjen Pajak 2008, diolah kembali penulis

Berdasarkan data perbandingan antara target dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2008, dapat dilihat bahwa terjadi pencapaian target bahkan cukup melebihi target penerimaan pajak. Realisasi pajak yang diperoleh sebesar 571,1 triliun (termasuk PPh migas). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Sunset Policy Jilid 1 pada tahun 2008 sudah efektif dan bisa dikatakan berhasil dalam memenuhi pencapaian target penerimaan pajak dan juga dalam meningkatkan Tax Ratio.

Pada tiga tahun terakhir selisih antara realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan target APBN mengalami perbedaan yang sangat signifikan. Hingga berakhirnya triwulan I 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 198,226 triliun dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 15,32%. Untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun 2015 ini DJP kembali menjalakan kebijakan Sunset Policy.

Dalam jangka panjang, diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta Tax Ratio. Dengan dihapusnya sanksi administrasi, maka untuk tahun selanjutnya diibaratkan hutang pajak sudah dianggap clear sehingga wajib pajak akan menjalankan kewajiban perpajaknnya dari awal dan menjadi tidak segan dan lebih tertib serta taat.

Dalam rangka meningkatkan potensi penerimaan pajak serta revolusi perpajakan agar menjadi lebih baik, diadakan rancangan untuk melanjutkan reformasi pajak. Yaitu dengan diadakannya Tahun Pembinaan Wajib Pajak pada tahun 2015, kemudian Tahun Penegakan Hukum pada tahun 2016, dan Tahun Rekonsiliasi pada tahun 2017. Maka DJP mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak. Dengan adanya kebijakan ini, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT beberapa tahun ke belakang dan akan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Dengan dilakukannya pembinaan diharapkan bisa menyadarkan Wajib Pajak bahwa kontribusi mereka penting untuk kemajuan bangsa melalui pembangunan.

Berdasarkan data DJP pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ada sebanyak 44,8 juta orang. Namun, baru 26,8 juta orang yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dari jumlah yang telah terdaftar tersebut, hanya 10,3 juta Wajib Pajak yang menyampaikan SPT. Sedangkan bagi Wajib Pajak Badan, dari 1,2 juta perusahaan yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan, hanya sekitar 45,8 persen atau 550 ribu perusahaan yang menyampaikan SPT.

Keadaan yang menyebabkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang rendah karena kekurang pahaman Wajib Pajak terhadap ketentuan perpajakan. “Kurang pahamnya masyarakat atas ketentuan perpajakan yang membuat mereka enggan mendaftarkan diri, melaporkan SPT, dan melakukan kekhilafan dalam pengisian SPT.” jelas Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dalam acara Pencanangan Tahun Pembinaan Pajak 2015 dan Peluncuran Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) di Istana Presiden, Jakarta, Rabu (29/04).

Ketidakpatuhan tersebut berhubungan dengan penelitian di Chile, Amerika Latin oleh Jaime V. Caro, “Why I don’t pay my tax” dalam ”How to influence the Taxpayer’s Tax Consciusness for Improving His Behavior” menunjukkan delapan sebab mengapa seserorang tidak mau membayar pajak, antara lain:

  1. Karena saya tidak menerima manfaat.
  2. Karena tetangga saya juga tidak membayar pajak.
  3. Karena jumlah pajaknya terlalu besar.
  4. Karena mereka mencuri uang saya.
  5. Karena saya tidak tahu bagaimana melaksanakannya.
  6. Karena saya telah mencoba tapi saya tidak mampu.
  7. Karena jika mereka menangkap saya, maka saya akan dapat menyelesaikannya.
  8. Walaupun saya tidak bayar, tidak akan terjadi apa-apa.

Manfaat yang Diperoleh Wajib Pajak

Salah satu langkah diterapkannya Sunset Policy Jilid 2 ini adalah dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang terbit berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU KUP (dikenal dengan sanksi bunga penagihan) apabila Wajib Pajak melunasi Utang Pajak yang timbul sebelum tanggal 1 Januari 2015 dan pelunasan dilakukan sebelum 1 Januari 2016.

Selain itu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, DJP atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi dalam hal sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Sanksi administrasi tersebut terbatas atas:

  1. Keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya;
  2. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya;
  3. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu masa atau masa pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; dan/atau
  4. Pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar;

yang dilakukan pada tahun 2015.

Wajib Pajak mendapatkan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi jika menyampaikan permohonan kepada DJP. Permohonan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
  2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. Ditandatangani oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dikuasakan;
  4. Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar;
  5. Dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.

Permohonan tersebut harus dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut:

  1. Surat pernyataan ditandatangani di atas meterai oleh Wajib Pajak;
  2. Fotokopi atau print-out SPT atau SPT pembetulan yang disampaikan;
  3. Fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman SPT atau SPT pembetulan;
  4. Fotokopi Surat Setoran Pajak;
  5. Fotokopi Surat Tagihan Pajak.

Selain persyaratan formal tersebut Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan material yaitu sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak belum dibayar oleh Wajib Pajak atau sudah dibayar sebagian oleh Wajib Pajak.

Dirjen Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Sanksi Administrasi yang tercantum Surat Tagihan Pajak sudah dibayar sebagian oleh Wajib Pajak; dan
  2. Jumlah Sanksi Administrasi yang dikurangkan adalah sebesar sisa Sanksi Administrasi yang belum dibayar oleh Wajib Pajak.

Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi atau Pengurangan Sanksi Administrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.

Adapun perbedaan dengan Sunset Policy Jilid 1 yaitu pembetulan dilakukan secara sukarela, sedangkan pada Sunset Policy Jilid 2 DJP telah memiliki data wajib pajak yang wajib memanfaatkan fasilitas Sunset Policy Jilid 2 ini. Karena banyaknya Wajib Pajak yang belum tersentuh, sebagai strategi pembinaan Wajib Pajak, DJP akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan data dari pihak ketiga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta Kementerian/Lembaga.

DJP melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak terdaftar yang telah dan yang belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), serta orang pribadi maupun badan yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dengan adanya pembinaan ini, Wajib Pajak akan lebih mudah dan terbantu dengan tidak perlu melihat kembali data 5 tahun ke belakang, sehingga Wajib Pajak akan lebih berkontribusi dalam memanfaatkan kebijakan Sunset Policy Jilid 2 ini dan selanjutnya akan berdampak pada peningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yang selaras dengan meningkatnya Tax Ratio di Indonesia.

Simpulan

Diberlakukannya kebijakan Sunset Policy Jilid 2 dilatar belakangi oleh kesuksesan Sunset Policy Jilid 1, penerimaan negara 3 tahun terakhir yang mengalami defisit dan pencapaian yang masih minim pada akhir triwulan I tahun 2015, tujuan pemerintah dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tahun 2015 sebagai tahun pembinaan wajib pajak, serta masih banyaknya Wajib Pajak yang belum tersentuh.

Manfaat yang diperoleh Wajib Pajak yaitu dihapusnya sanksi bunga penagihan, penghapusan sanksi atas keterlambatan penyampaian SPT dan penyetoran pajak terutang, serta tidak perlu mendata sendiri tentang perpajakan tahun-tahun sebelumnya. Akan dilakukan pemeriksaan jika Wajib Pajak tidak memanfaatkan fasilitas Sunset Policy yang akan diperjelas dengan data dari pihak asosiasi seperti bank.


Sunset Policy
Jilid 1 dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai Desember 2008 serta perpanjangan hingga Februari 2009. Sedangkan Sunset Policy Jilid 2, hanya dari bulan Mei 2015 hingga Desember 2015. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak dengan singkatnya waktu yang ada.

Saran

Dengan dilakukannya kebijakan Sunset Policy Jilid 2, Wajib Pajak akan mempunyai stigma yang tidak baik untuk berpikir tidak akan melaksanakan kewajiban perpajakannya karena pada tahun yang akan datang mungkin akan diberlakukan kembali fasilitas Sunset Policy. Sebaiknya, pemerintah memperkuat penerapan ketentuan hukum yang berlaku setelah dijalankannya kebijakan Sunset Policy Jilid 2 ini agar ke depannya Wajib Pajak akan patuh sehingga akan melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.

Daftar Pustaka

Buku

  • Nurmantu, Safri. 2005.  Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit
  • Rahardja, Prathama, dan Manurung, Mandala. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Peraturan

  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999)
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5289).
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor  29/PMK.03/2015 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga Yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 257).
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, Dan Keterlambatan Pembayaran Atau Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 671).

Sumber Lain

  • The World Bank. 2014. Sandstone: Tax Revenue (% of DGP). http://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS (diakses 25 April 2015).
  • Direktorat Jenderal Pajak. 2008. Penerimaan Pajak. Laporan Tahunan DJP Tahun 2008: 10-11.
  • Direktorat Jenderal Pajak. 2015. Pemerintah Siapkan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak di Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015.http://pajak.go.id/content/article/pemerintah-siapkan-kebijakan-penghapusan-sanksi-pajak-di-tahun-pembinaan-wajib-pajak (diakses 23 April 2015).
  • Dirjen Pajak. 2015. Realisasi Penerimaan Pajak Triwulan 1 Tahun 2015. http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaan-pajak-triwulan-i-2015 (diakses 23 April 2015).
  • Dirjen Pajak. 2012. Dirjen Pajak: “Tax Ratio Indonesia Tinggi, Ada Kesalahan Penghitungan Tax Ratio”. http://www.pajak.go.id/content/news/dirjen-pajak-tax-ratio-indonesia-tinggi-ada-kesalahan-penghitungan-tax-ratio (diakses 23 April 2015).
  • Kementerian Keuangan. 2015. Pemerintah Canangkan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015. http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pemerintah-canangkan-tahun-pembinaan-wajib-pajak-2015 (diakses 29 April 2015).
Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait