Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 212 Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa beban pajak penghasilan entitas adalah jumlah gabungan pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam menentukan laba rugi pada suatu periode. Pajak kini merupakan pajak penghasilan entitas yang terutang atas laba kena pajak untuk suatu periode. Secara sederhana, pajak kini adalah pajak sesuai dengan perhitungan SPT Badan entitas. Sementara itu, pajak tangguhan adalah konsekuensi pajak masa mendatang (next period) yang ditimbulkan karena adanya rugi fiskal yang dapat dikompensasikan, serta perbedaan temporer. Perbedaan temporer adalah perbedaan jumlah tercatat aset atau liabilitas dalam laporan posisi keuangan dengan dasar pengenaan pajaknya (DPP).
Perbedaan temporer yang menimbulkan laba kena pajak (taxable temporary differences/TTD) pada periode masa depan merupakan perbedaan temporer kena pajak yang menghasilkan liabilitas pajak tangguhan. Sebaliknya, perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan (deductible temporary differences/DTD) dari laba kena pajak periode masa depan akan menyebabkan timbulnya aset pajak tangguhan.
Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan pajak kini dan pajak tangguhan secara keseluruhan, namun mencoba menjelaskan sisi menarik dari penerapan pajak tangguhan atas aset tetap yang disusutkan/depreciable assets. Beberapa hal yang dapat dijelaskan atas penerapan pajak tangguhan aset tetap tersebut adalah:
Asumsikan peralatan yang diperoleh 1 Januari 2022 sebesar Rp1.000.000, disusutkan secara komersial 5 tahun garis lurus. Peralatan tersebut termasuk kelompok 1 (penyusutan 4 tahun) dan untuk tujuan pajak disusutkan garis lurus.
Akhir periode Tahun 2022:
Nilai buku akuntansi |
Rp800.000 |
Nilai buku pajak |
Rp750.000 |
Selisih agregat depresiasi pajak untuk periode masa depan lebih kecil Rp50.000 dari depresiasi akuntansi. Terjadi peningkatan taxable untuk periode masa depan sebesar Rp50.000, sehingga menyebabkan timbulnya liabilitas pajak tangguhan sebesar Rp11.000 (Rp50.000 x 22%). Dari sisi laba-rugi, melalui perbedaan beban depresiasi, pada periode 2022 ini terdapat koreksi fiskal negatif sebesar Rp50.000, sehingga perlu dibukukan dampak pajak masa depan dengan jurnal sebagai berikut:
|
Debet |
Kredit |
Beban Pajak Tangguhan |
11.000 |
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
11.000 |
Hal yang sama akan terjadi pada tahun 2023, 2024, 2025, sebelum akhirnya terpulihkan pada tahun 2026 dengan membukukan:
|
Debet |
Kredit |
Liabilitas Pajak Tangguhan |
44.000 |
|
Penghasilan Pajak Tangguhan |
|
44.000 |
Asumsikan mesin yang diperoleh 1 Januari 2022 sebesar Rp60.000.000, disusutkan secara komersial 6 tahun garis lurus. Peralatan tersebut termasuk kelompok 2 (penyusutan 8 tahun) dan untuk tujuan pajak disusutkan garis lurus. Dengan cara yang sama, pada akhir periode 2022 akan diperoleh perbandingan dasar penyusutan periode masa depan menurut akuntansi dan pajak sebagai berikut:
Nilai tercatat (buku) |
Rp50.000.000 |
Dasar Pengenaan/Penyusutan Pajak |
Rp52.500.000 |
Selisih depresiasi pajak untuk periode masa depan lebih besar Rp2.500.000 dibanding depresiasi akuntansi. Artinya, future deduction ini bermanfaat menurunkan liabilitas pajak sehingga perlu dicatat sebagai aset pajak tangguhan (deffered tax assets) sebesar Rp550.000 (22% x Rp2.500.000) dan dibukukan per 31 Desember 2022 dengan jurnal:
|
Debet |
Kredit |
Aset Pajak Tangguhan |
550.000 |
|
Penghasilan Pajak Tangguhan |
|
550.000 |
Akan terjadi pencatatan serupa sampai tahun 2028 sebelum akhirnya terpulihkan pada periode 2029.
Untuk simplikasi, asumsikan data yang dipergunakan adalah data pada contoh TTD.
Perhitungan koreksi fiskal dari depresiasi nampak sebagai berikut:
|
Akuntansi |
Koreksi Fiskal |
Pajak |
Depresiasi 2022 |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Depresiasi 2023 |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Depresiasi 2024 |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Depresiasi 2025 |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Depresiasi 2026 |
(200.000) |
+200.000 |
|
Koreksi fiskal untuk tahun 2022 sampai dengan tahun 2025 akan sama, yaitu koreksi fiskal negatif Rp50.000 setiap tahun atau agregat selama 4 tahun yaitu koreksi negatif Rp200.000 sehingga mengurangi laba kena pajak. Agregat koreksi negatif Rp200.000 tersebut terpulihkan pada tahun 2026 dengan koreksi fiskal positif Rp200.000. Entitas seyogyanya sudah dapat memperhitungkan kenaikan laba kena pajak pada tahun 2026 akibat terpulihkannya koreksi fiskal menjadi positif.
Jurnal yang dapat dilakukan entitas adalah sebagai berikut:
|
|
Debet |
Kredit |
Tahun 2022 |
Beban Pajak Tangguhan |
11.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
11.000 |
Tahun 2023 |
Beban Pajak Tangguhan |
11.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
11.000 |
Tahun 2024 |
Beban Pajak Tangguhan |
11.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
11.000 |
Tahun 2025 |
Beban Pajak Tangguhan |
11.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
11.000 |
Tahun 2026 |
Liabilitas Pajak Tangguhan |
44.000 |
|
|
Penghasilan Pajak Tangguhan |
|
44.000 |
Aset tetap berwujud dapat dihentikan karena tidak dapat digunakan lagi (write-off) atau tidak efisien bila dilanjutkan sehingga dijual atau diganti dengan aset baru. Dalam kasus ini, karena sifat koreksinya yang terpulihkan, maka entitas dapat mengkalkulasi dampak penghentian aset tersebut terhadap laba kena pajak. Apabila sifat koreksi temporernya yang TTD, maka saat dihentikan aset tersebut akan berkontribusi menaikkan laba kena pajak sebesar agregat jumlah yang terpulihkan dan tentunya berdampak pada kenaikan beban PPh Badan.
Misalnya, peralatan pada contoh 1, karena sudah tidak efisien dihentikan operasinya 1 Juli 2024, namun masih dapat dijual dengan harga Rp50.000. Berdasarkan sifat koreksinya yang TTD, maka agregat koreksi fiskal negatif Rp100.000 selama periode 2022 dan 2023 akan terpulihkan pada tahun 2024 yaitu dihasilkannya koreksi fiskal positif Rp100.000. Entitas sudah dapat mengkalkulasi lebih dini bahwa di tahun 2024 laba kena pajak akan meningkat Rp100.000 yang tentu saja akan menaikkan kewajiban pajak sebesar Rp22.000 (22% x Rp100.000).
Konfirmasi dampak terpulihkannya koreksi fiskal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
|
Akuntansi |
Koreksi Fiskal |
Pajak |
Koreksi 2022: Depresiasi |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Koreksi 2023: Depresiasi |
(200.000) |
- 50.000 |
(250.000) |
Koreksi 2024 Depresiasi Laba/(rugi) penjualan/penghentian |
(100.000)
(450.000) |
- 25.000
+125.000
|
(125.000)
(325.000) |
Dalam PSAK 236 Uji Penurunan Nilai dijelaskan bahwa aset tetap berwujud dengan kondisi tertentu dapat dilakukan uji penurunan nilai (impairment). Nilai tercatat (carrying amounts) dapat diperbandingkan dengan jumlah yang terpulihkan (recoverable amount). Sebagaimana disebutkan dalam paragraf 18 PSAK 236, bahwa jumlah yang terpulihkan (r.a) adalah jumlah yang lebih tinggi antara nilai wajar aset atau unit penghasil kas dikurangi biaya pelepasannya (fair value less cost to sale) dengan nilai pakainya (value in use). Uji penurunan nilai terpenuhi bila jumlah terpulihkan (r.a.) lebih kecil dari carrying amount (c.a). Selisih r.a. dan c.a. tersebut merupakan kerugian penurunan nilai yang secara akuntansi mengurangi laba komersial.
Namun, tentu saja karena pajak lebih berfokus pada konsep realisasi (karena belum terjadi pelepasan, penghentian), kerugian tersebut tidak diperbolehkan mengurangi laba kena pajak. Penjelasan atas konsep terpulihkannya koreksi temporer ini berlaku juga dalam hal terjadi impairment pada aset tetap.
Misalnya, entitas memiliki mesin dengan perolehan Rp100 juta pada 1 Januari 2022, dan disusutkan garis lurus 10 tahun secara akuntansi. Menurut pajak, mesin tersebut termasuk kelompok 2 (penyusutan 8 tahun). Karena mengalami penurunan kapasitas/fungsi, entitas melakukan uji penurunan nilai per 31 Desember 2024. Asumsikan nilai wajar mesin per 31 Desember 2024 tersebut adalah Rp56.000.000. Pasca uji penurunan nilai, diasumsikan tidak ada perubahan estimasi masa manfaat komersial. Penjelaskan terpulihkannya koreksi fiskal adalah sebagai berikut:
|
Akuntansi |
Koreksi Fiskal |
Pajak |
Koreksi 2022: Depresiasi |
(10.000.000) |
- 2.500.000 |
(12.500.000) |
Koreksi 2023: Depresiasi |
(10.000.000) |
- 2.500.000 |
(12.500.000) |
Koreksi 2024 Depresiasi Rugi penurunan nilai |
(10.000.000)
(14.000.000) |
- 2.500.000
+14.000.000
|
(12.500.000)
0 |
Total koreksi fiskal sampai dengan periode impairment |
(44.000.000) |
+ 6.500.000 |
(37.500.000) |
Pasca impairment (2025-2031): DPP-Nilai Tercatat |
(56.000.000) |
-6.500.000 |
(62.500.000) |
Tahun 2022 sampai dengan tahun 2024 sebelum dilakukan uji penurunan nilai, terjadi koreksi fiskal negatif Rp7.500.000 (akumulasi koreksi temporer 3 x Rp2.500.000). Uji penurunan nilai per 31 Desember 2024 menyebabkan kerugian secara akuntansi sebesar Rp14.000.000 (Rp70.000.000 – Rp56.000.000). Kerugian ini tidak boleh mengurangi laba kena pajak sehingga dikoreksi fiskal positif Rp14.000.000. Pada tahun 2024, terjadi peningkatan laba kena pajak akibat ekses koreksi positif sebesar Rp11.500.000 (koreksi fiskal positif Rp14.000.000 dari impairment loss dan koreksi fiskal negatif Rp2.500.000 dari depresiasi).
Efek akumulasi temporer dari tahun 2022 sampai dengan saat terjadinya impairment adalah positif Rp6.500.000 (selisih +Rp14.000.000 dan akumulasi temporer dari depresiasi –Rp7.500.000) sehingga menghasilkan saldo aset pajak tangguhan Rp1.430.000 (22% x Rp6.500.000) di neraca 31 Desember 2024. Pencatatan pajak tangguhan sampai dengan periode dilakukannya impairment adalah sebagai berikut:
|
|
Debet |
Kredit |
Tahun 2022 |
Beban Pajak Tangguhan |
550.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
550.000 |
Tahun 2023 |
Beban Pajak Tangguhan |
550.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
550.000 |
Tahun 2024 |
Beban Pajak Tangguhan |
550.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
550.000 |
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
1.650.000 |
|
|
Aset Pajak Tangguhan |
1.430.000 |
|
|
Penghasilan Pajak Tangguhan |
|
3.080.000 |
Per 31 Desember 2024 dalam laporan posisi keuangan/neraca terdapat saldo aset pajak tangguhan sebesar Rp1.430.000, sedangkan DPP periode masa depan adalah Rp62.500.000 dan nilai tercatat/dasar penyusutan akuntansi periode masa depan adalah Rp56.000.000. Pasca impairment, karena DPP lebih besar dari nilai tercatat aset, maka proses pemulihan beban pajak akan terjadi. Laba kena pajak secara agregat akan mengalami penurunan Rp6.500.000 sekaligus secara agregat menurunkan kewajiban pajak entitas sebesar Rp1.430.000 (22% x Rp6.500.000). Dengan demikian, saldo aset pajak tangguhan pun akan terpulihkan berangsur-angsur sampai berakhirnya masa manfaat aset.
PSAK 216 Aset Tetap mengatur bahwa pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal dapat berupa cost model atau revaluation model. Entitas memilih model biaya (paragraf 30) atau model revaluasi (paragraf 31) sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Melalui model biaya, aset tetap dicatat pada biaya perolehan dikurangi akumulasi depresiasi dan akumulasi rugi penurunan nilai. Sementara itu, model revaluasi menghendaki aset tetap dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi. Setelah tanggal revaluasi, aset tetap dicatat sebesar nilai revaluasian dikurangi akumulasi depresiasi dan akumulasi rugi penurunan nilai. Dalam praktik akuntansi terkini, nampaknya praktik penerapan nilai wajar/fair value mendominasi pilihan pengukuran aset. Namun, ketentuan pajak tetap menghendaki penggunaan historical cost karena lebih mementingkan kondisi harga saat dibeli dan tidak mengakui kenaikan/penurunan aset yang sifatnya unrealized.
Terdapat beberapa perbedaan dalam penerapan ketentuan revaluasi aset tetap menurut pajak dan revaluasi aset versi akuntansi. Nilai revaluasi menurut ketentuan pajak harus berdasarkan laporan perusahaan penilai/appraisal company yang ditunjuk/terdaftar. Sementara standar akuntansi, pengukuran nilai aset revaluasian, tidak tidak harus berdasar laporan perusahaan penilai. Selain itu, selisih penilaian kembali/surplus revaluasi, yang secara akuntansi diakui dalam penghasilan komprehensif lain-ekuitas, untuk tujuan pajak merupakan objek pajak penghasilan final. Apabila entitas melakukan revaluasi aset tetap hanya untuk tujuan akuntansi saja, maka nilai revaluasi ini tidak dapat dipergunakan untuk tujuan pajak. Artinya tidak ada penyesuaian DPP sehingga tidak mempengaruhi laba kena pajak. Kondisi yang demikian menyebabkan timbulnya perbedaan temporer yang dapat menimbulkan liabilitas atau aset pajak tangguhan. Dengan demikian, nilai revaluasian merupakan dasar penyusutan akuntansi, dan penyusutan pajak tetap dihitung berdasar pada harga perolehannya (cost).
Contoh:
Aset tetap dengan harga perolehan sebesar Rp20.000.000 diperoleh awal tahun 2022. Untuk tujuan akuntansi, aset tetap tersebut disusutkan garis lurus selama 5 tahun. Menurut ketentuan pajak, aset tersebut termasuk kelompok 1 (penyusutan 4 tahun), dan untuk tujuan pajak disusutkan garis lurus. Pada akhir tahun 2023, aset tersebut untuk tujuan dinilai kembali sesuai dengan nilai wajar sebesar Rp19.500.000.
Saat dilakukan revaluasi per 31 Desember 2023, nilai revaluasian (Rp19.500.000) lebih besar dibandingkan nilai tercatat aset sebesar (Rp12.000.000) sehingga diperoleh surplus revaluasi aset sebesar Rp7.500.000 dan menimbulkan liabilitas pajak tangguhan sebesar Rp1.650.000 (22% x 7.500.000). Surplus tersebut merupakan keuntungan yang bersifat unrealized yang akan dilaporkan dalam posisi keuangan seksi ekuitas sebagai penghasilan komprehensif lain (Other Comprehensif Income), bukan pada laporan laba rugi. Sementara itu, akumulasi koreksi temporer atas perbedaan depresiasi tahun 2022 sampai dengan akhir tahun 2023 adalah negatif Rp2.000.000 sehingga pada laporan posisi keuangan akhir tahun 2023 terdapat liabilitas pajak tangguhan Rp440.000. Total liabilitas pajak tangguhan per 31 Desember 2023 adalah Rp2.090.000 (Rp1.650.000 + Rp440.000). DPP periode masa adalah Rp10.000.000, sementara nilai tercatat adalah nilai revaluasian, yaitu Rp19.500.000. Dari sisi laba rugi masa depan, kondisi ini mengakibatkan koreksi positif. Laba kena pajak secara agregat mengalami kenaikan sebesar Rp 9.500.000. Liabilitas pajak tangguhan sebesar Rp2.090.000 untuk periode masa depan akan terpulihkan secara berangsur-angsur. Proses pembukuan pajak tangguhan dapat dijelaskan dalam jurnal berikut:
|
|
Debet |
Kredit |
Tahun 2022 |
Beban Pajak Tangguhan |
220.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
220.000 |
Tahun 2023 |
Beban Pajak Tangguhan |
220.000 |
|
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
220.000 |
Pajak tangguhan akibat revaluasi untuk tujuan akuntansi dicatat sebagai berikut:
|
Debet |
Kredit |
Akumulasi Penyusutan |
8.000.000 |
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
1.650.000 |
Surplus revaluasi aset tetap |
|
5.850.000 |
Aset tetap |
|
500.000 |
Per 31 Desember 2023, nilai tercatat (nilai revaluasian) Rp19.500.000 (untuk masa manfaat tersisa 3 tahun), DPP Rp10.000.000 (untuk masa manfaat 2 tahun lagi). Liabilitas Pajak Tangguhan dalam laporan posisi keuangan/neraca per 31 Desember 2022 adalah Rp2.090.000. Liabilitas pajak tangguhan akan terpulihkan secara berangsur-angsur dengan pencatatan sebagai berikut:
|
|
Debet |
Kredit |
Tahun 2024 (beda temporer positif Rp1.500.000 x 22%) |
Beban Pajak Tangguhan |
330.000 |
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
330.000 |
|
Tahun 2025 (beda temporer positif Rp1.500.000 x 22%) |
Beban Pajak Tangguhan |
330.000 |
|
Liabilitas Pajak Tangguhan |
|
330.000 |
|
Tahun 2026 (beda temporer positif Rp6.500.000 x 22%) |
Liabilitas Pajak Tangguhan |
1.430.000 |
|
Penghasilan pajak tangguhan |
|
1.430.000 |
Penerapan pajak tangguhan atas depreciable assets dapat bersifat taxable temporary difference maupun deductible temporary difference. Kedua sifat ini berpotensi menghasilkan koreksi fiskal yang dapat terpulihkan pada periode masa depan. Memahami koreksi fiskal yang terpulihkan bermanfaat untuk menentukan apakah laba (rugi) kena pajak masa depan mengalami peningkatan atau penurunan.
Categories:
Artikel PajakTagged:
Tax Learning
21 Desember 2021