Artikel
PP No. 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan PP No. 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi, Berkah atau Musibah
Drs. Aries Tanno, M.Si., Ak
Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas

Berdasarkan PP No. 140 Tahun 2000, pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur sebagai berikut :
Dengan telah diterbitkannya PP No. 140 Tahun 2000, maka mulai tahun pajak 2001, Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dari usaha jasa konstruksi serta pihak-pihak yang menggunakan jasa konstruksi melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP ini. Penggunaan PP No. 140 Tahun 2000 dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan sehubungan dengan penghasilan dari usaha jasa konsruksi berlangsung sampai dengan diterbitkannya PP No. 51 Tahun 2008 yang ditetapkan tanggal 20 Juli 2008 dan diundangkan tanggal 23 Juli 2008. PP No. 51 Tahun 2008 menetapkan bahwa ketentuan pajak penghasilan untuk usaha jasa konstruksi adalah sebagai berikut :
Keberadaan PP No. 51 Tahun 2008, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 11 PP tersebut, mencabut ketentuan yang berlaku dalam PP No. 140 Tahun 2000. Perubahan, penyempurnaan maupun pencabutan sebuah peraturan, adalah sebuah hal yang biasa. Demikian pula halnya peraturan-peraturan dalam bidang perpajakan. Hal ini juga sudah diamanatkan di dalam GBHN tahun 1983 yang menyatakan bahwa peraturan dibidang pajak senatiasa disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga, seharusnya penerbitan PP No. 51 Tahun 2008 juga merupakan hal yang biasa.
Akan tetapi, ketika PP No. 51 Tahun 2008 diundangkan, kritik dan protes berkumandang dimana-mana. Salah satu poin yang paling disorot adalah bahwa PP ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008, bukan sejak tanggal ditetapkan (20 Juli 2008), maupun tanggal diundangkan (23 Juli 2008). Keberatan utama mereka adalah pada keharusan untuk menerapkan ketentuan PP No. 51 Tahun 2008 untuk kontrak yang dibuat sejak 1 Januari 2008. Mereka berpendapat bahwa tidak seharusnya PP yang diundangkan tanggal 23 Juli 2008 ini diterapkan untuk kontrak yang dibuat sejak 1 Januari 2008. Sebab, kontrak itu dibuat pada saat berlakunya PP No. 140 Tahun 2000, yang secara legal formal, merupakan ketentuan yang harus ditaati pada saat itu.
Bila ditelaah lebih dalam, inti keberatan mereka terhadap diberlakukannya secara surut ketentuan yang terdapat didalam PP No. 51 Tahun 2008 ini adalah karena sebagian besar ketentuan yang terdapat di dalam PP baru tersebut berbeda secara siginifikan dengan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000. Konsekuensinya, membuat mereka harus melakukan review dan perhitungan ulang serta koreksi terhadap pajak-pajak yang sudah disetor dan dilaporkan untuk periode 1 Januari 2008 sampai dengan saat diterbitkannya PP No. 51 Tahun 2008. Hal ini tentunya membutuhkan tenaga, fikiran, waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Konsekuensi Pemberlakuan PP No. 51 Tahun 2008 Sejak 1 Januari 2008
Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, sebagian besar ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 51 Tahun 2008 secara signifikan berbeda dengan ketentuan yang terdapat pada PP No. 140 tahun 2000. Hal ini berakibat, pajak yang sudah dipotong, disetor dan dilaporkan dengan berpedoman pada PP No. 140 Tahun 2000 oleh Wajib Pajak pengusaha jasa konstruksi maupun pengguna jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak, berbeda pula secara signifikan dengan yang seharusnya dipotong, disetor dan dilaporkan berdasarkan PP No. 51 Tahun 2008. Perbedaan ini tentunya harus dikoreksi oleh Wajib Pajak pengusaha konstruksi maupun para pengguna jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak. Koreksi yang dilakukan tidak hanya terbatas pada pajak yang harus dipotong maupun disetorkan, tapi juga terhadap pelaporannya. Kesalahan dalam pemotongan, penyetoran dan pelaporan dapat berakibat timbulnya sanksi.
Berikut ini akan dilakukan Evaluasi lebih dalam guna melihat perbedaan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008. Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan ketentuan yang terdapat di dalam kedua peraturan tersebut. Berdasarkan evaluasi tersebut akan dapat ditentukan konsekuensi dari perbedaan yang timbul.
Pembahasan akan dibagi menjadi 3 bagian. Pada bagian pertama akan dilakukan perbandingan ketentuan perpajakan untuk perusahaan usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil dengan nilai pengadaan sampai 1 miliar. Walaupun PP No. 51 Tahun 2008 tidak membuat batasan nilai pengadaan untuk pengusaha kecil, namun untuk tujuan pembahasan keduanya dapat dan relevan untuk diperbandingkan. Pada bagian kedua akan dibahas perbandingan ketentuan perpajakan untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha non kecil, yang meliputi kualifikasi usaha besar, menengah dan tidak punya kualifikasi usaha yang bertransaksi dengan pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak. Sedangkan pada bagian ketiga akan dilakukan perbandingan ketentuan untuk perusahaan jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha non kecil, yang meliputi kualifikasi usaha besar, menengah dan tidak punya kualifikasi usaha yang bertransaksi dengan pengguna jasa yang bukan merupakan pemotong pajak
Bagian Pertama
Perbandingan ketentuan perpajakan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil serta nilai pengadaaan sampai 1 Miliar
Ketentuan perpajakan yang diatur di didalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi kecil serta nilai pengadaan sampai dengan 1 Miliar diringkas dalam tabel berikut :
dari data-data yang terdapat di dalam tabel diatas, ketentuan perpajakan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008, tidak ada bedanya, baik dalam sifat pengenaan pajak maupun dalam hal tarif yang digunakan. Dengan demikian, tidak ada koreksi dan penyesuain yang harus dilakukan, baik oleh wajib pajak pengusaha konstruksi maupun pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak.
Bagian Kedua
Perbandingan ketentuan perpajakan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi) yang pengguna jasanya adalah pemotong pajak
Ketentuan perpajakan yang diatur di didalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi) yang pengguna jasanya adalah pemotong pajak diringkas dalam tabel berikut :
Dari data-data yang terdapat di dalam tabel diatas terdapat beberapa perbedaan yang sangat menyolok. Perbedaan pertama adalah pada sifat pengenaan pajaknya. Sedangkan perbedaan kedua adalah pada tarif yang digunakan. Kecuali untuk tarif PPh jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi untuk pengusaha konstruksi dengan kualifikasi usaha besar dan menengah, tarif untuk jenis jasa konstruksi lainnya berbeda sama sekali. Perbedaan sifat pengenaan pajak akan berakibat formulir berikut kode yang digunakan akan berbeda. Sedangkan perbedaan tarif pajak yang digunakan akan berakibat pajak yang telah dipotong, disetor dan dilaporkan akan berbeda jumlahnya. Oleh karena itu, pengusaha usaha jasa konstruksi maupun penggunan jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak harus melakukan koreksi dan penyesuaian terhadap pajak yang telah diperhitungkan serta administrasi pelaporannya.
Ilustrasi sederhana untuk memberi gambaran terhadap masalah ini dapat diberikan sebagai berikut :
PT. Elang Perkasa Jaya adalah sebuah perusahaan jasa konstruksi yang telah memiliki izin sebagai perusahaan konstruksi namun tidak memiliki kualifikasi usaha. Pada tanggal 10 Januari 2008 menandatangani kontrak dengan PT. Suka Membangun yang merupakan pemotong pajak dengan data-data sebagai berikut :
Jasa perencanaan konstruksi 100.000.000 dengan termin Januari 30%, Mei 60% dan September 10%
Jasa Pelaksanaan konstruksi 300.000.000 dengan termin Januari 30%, Mei 60% dan September 10%
Jasa pengawasan konstruksi 200.000.000 dengan termin Januari 30%, Mei 60% dan September 10%
PPh Pasal 25 yang dibayar oleh PT. Elang Perkasa Jaya setiap bulan mulai Januari s/d Desember 2008 misalnya adalah sebesar Rp. 1.000.000,00.
Berdasarkan data tersebut diatas, pehitungan PPh yang harus dibuat untuk transaksi diatas adalah sebagai berikut :
Karena pada saat kontrak dibuat belum terbit PP No. 51 Tahun 2008, maka, ketentuan yang digunakan adalah PP No. 140 Tahun 2000. Perhitungan pajak yang harus dipotong oleh PT. Suka Membangun pada saat pembayaran termin bulan Januari dan bulan Mei adalah :
Atas transaksi diatas, PT. Suka Membangun telah memotong pajak yang terutang untuk bulan Januari dan Mei 2008 sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP No. 140 Tahun 2000. PT. Suka Membangun juga sudah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 untuk bulan Januari dan Mei 2008 sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Koreksi untuk menyesuaikan dengan ketentuan PP No. 51 Tahun 2008
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 10, PP No. 51 Tahun 2008, untuk kontrak yang ditandatangani sejak 1 Januari 2008, ketentuan yang dipakai adalah PP No. 51 Tahun 2008 tersebut. Oleh karena itu, untuk pembayaran termin pada bulan September 2008, pajak yang harus dipotong oleh PT. Suka Membangun adalah :
Untuk pembayaran termin yang dilakukan setelah terbitnya PP baru ini, pelaksanaan kewajiban perpajakannya tidak menimbulkan masalah yang berarti. Sebab, ketentuannya sudah jelas dan dapat dengan mudah untuk dipedomani.
Yang menjadi masalah adalah ketentuan tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2008. Kewajiban perpajakan yang dilaksanakan atas kontrak sejak 1 Januari 2008 sampai dengan tanggal diundangkannya ketentuan baru dalam PP No. 51 Tahun 2008 menjadi tidak benar. Sebab, berpedoman pada PP No. 140 Tahun 2000, yang dinyatakan sudah tidak berlaku lagi untuk kontrak yang ditandangani sejak 1 Januari 2008.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 51 Tahun 2008, PPh yang seharusnya dipotong oleh PT. Suka Membangun untuk bulan Januari dan Mei tahun 2008 adalah :
Bila dibandingkan, PPh jasa konstruksi yang dipotong berdasarkan PP No. 140 tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008 untuk bulan Januari dan Mei 2008 diperoleh hasil sebagai berikut :
Berdasarkan data yang terdapat di dalam tabel diatas untuk bulan Januari terdapat total pajak yang kurang potong dari ketiga jasa konstruksi sebesar Rp. 3.600.000,00. Sementara untuk bulan Mei total kurang potong berjumlah Rp. 7.200.000,00.
Dengan adanya perbedaan tersebut, tindakan yang harus dilakukan oleh PT. Elang Perkasa Jaya maupun PT. Suka Membangun untuk masa pajak bulan Januari dan Mei 2008 adalah :
Keterangan :
- Pembetulan PPh 23 harus dilakukan oleh PT. Suka Membangun dengan tujuan untuk menihilkan PPh 23 yang telah dipotong dan disetor. Karena, seharusnya yang disetor dan dilaporkan adalah PPh Pasal 4 Ayat (2).
- PT. Elang Perkasa Jaya tidak harus membetulkan SPT Masa PPh 23, karena kewajiban untuk memotong dan melaporkan PPh Pasal 23 berada pada pengguna jasa (PT. Suka Membangun).
- PT. Suka membangun sebagai pengguna Jasa maupun PT. Elang Perkasa Jaya sebagai penyedia jasa konstruksi bekewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2). Karena sebelumnya pengenaan pajak atas jasa konstruksi ini dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, maka SPT Masa Pasal 4 Ayat (2) tentu tidak disampaikan oleh PT. Elang Perkasa Jaya maupun PT. Suka Membangun.
- Pasal 8 Ayat 4 PMK No. 187 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau disetor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan tersebut dilakukan terhadap penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi berdasarkan kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Januari 2008; dan
- Pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a dilakukan paling lama sampai dengan akhir bulan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
Dengan demikian, PT. Suka Membangun sebagai pemotong dan penyetor PPh Pasal 23, berkewajiban untuk melakukan Pemindahbukuan atas setoran PPh Pasal 23 tersebut menjadi setoran PPh Pasal 4 Ayat (2). Bukti pemindahbukuan dan SSP yang telah dibubuhi cap dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dijadikan sebagai dasar penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 4 Ayat (2). Rangkap dari SSP dan Bukti Pemindahbukuan tersebut seharusnya juga diberikan kepada PT. Elang Perkasa Jaya sebagai dasar untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) sebagai penerima penghasilan.
Satu hal yang sangat disayangkan adalah bahwa PMK No. 187 Tahun 2008 tidak mengatur dengan jelas apakah PPh Pasal 25 yang telah dibayarkan dapat dipindahbukukan. Sebab, Pasal 8 Ayat 4 huruf a PMK tersebut hanya menyebutkan pajak yang dapat dipindahbukukan hanyalah pajak yang dipotong atau disetor atas kontrak yang ditandatangani sejak 1 Januari 2008.
Disamping itu, PMK ini juga tidak mengatur apakah untuk bulan-bulan selanjutnya PPh Pasal 25 harus dibayarkan atau tidak. Sebab, apabila pengusaha usaha jasa konstruksi tersebut tidak lagi memiliki penghasilan dari kontrak sebelum 1 Januari 2008, berarti seluruh pajak atas penghasilannya akan dikenakan pajak bersifat final. Kalau demikian halnya, untuk apa lagi PPh Pasal 25 harus dibayar.
Hal ini selain akan memberatkan aliran kas bagi pengusaha usaha jasa konstruksi tersebut, juga akan menyebabkan timbulnya Pajak lebih bayar di dalam SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan nantinya. Konsekuensi dari lebih bayar ini tentunya akan menyusahkan aparat pajak juga. Sebab akan timbul kewajiban untuk melakukan pemeriksaan.
Satu hal lagi yang mungkin tidak dibayangkan pada saat pembuatan ketentuan ini adalah bahwa bila PPh Pasal 25 tetap dibayar sampai dengan akhir tahun pajak 2008, akan berakibat untuk masa pajak tahun 2009 sebelum SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008 disampaikan, PPh Pasal 25 harus dibayar dengan jumlah yang sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember Tahun 2008. Padahal, untuk kedepannya, pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak final semuanya. Lantas untuk apa lagi pembayaran PPh Pasal 25?.
- Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 8 Ayat 5 PMK No. 187 Tahun 2008, apabila terdapat kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final setelah dilakukan pemindahbukuan, kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan tersebut wajib disetor oleh Penyedia Jasa paling lama tanggal 15 Desember 2008.
SPT Tahunan PPh Badan yang harus disampaikan oleh PT. Elang Perkasa Jaya paling lambat akhir bulan April 2009 secara ringkas adalah sebagai berikut :
Penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang diperoleh oleh PT. Elang Perkasa Jaya selama tahun 2008 sebesar Rp. 600.000.000,00 dengan jumlah pajak terutang yang bersifat final sebesar Rp. 30.000.000,00 (Januari Rp. 9.000.000,00, Mei Rp. 18.000.000,00 dan September Rp. 3.000.000,00) dilaporkan didalam formulir 1771 – IV pada bagian PPh Final baris imbalan jasa konstruksi.
Bagian Ketiga
Perbandingan ketentuan perpajakan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi) yang pengguna jasanya bukan pemotong pajak
Bila PT.Elang Perkasa Jaya pada contoh diatas bertransaksi dengan bukan pemotong pajak, maka, kewajiban perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dilakukan sendiri oleh PT. Elang Perkasa Jaya melalui pembayaran PPh Pasal 25 setiap bulan. Walaupun kemungkinan untuk bertransaksi dengan bukan pemotong pajak ini sangat kecil, bagaimanapun juga kemungkinan itu tetap ada. Berarti, atas kontrak yang ditandatangani sebelum atau sejak 1 Januari 2008, pembayarannya melalui pembayaran PPh Pasal 25 yang disetor sendiri oleh Wajib Pajak pengusaha usaha jasa konstruksi.
Dengan diberlakukannya ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 51 Tahun 2008, maka, pajak yang seharusnya diperhitungkan dan disetor sendiri oleh PT. Elang Perkasa jaya untuk tahun pajak 2008 adalah :
Tindakan yang harus dilakukan oleh PT. Elang Perkasa Jaya dengan diberlakukannya PP No. 51 Tahun 2008 adalah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) untuk masa pajak bulan Januari, Mei dan September 2008. PT. Elang Perkasa Jaya harus melunasi kekurangan setor PPh Pasal 4 Ayat (2) sebesar Rp. 30.000.000,00 tersebut dengan cara melakukan penyetoran sendiri paling lambat tanggal 15 Desember 2008.
Mungkin terpikir oleh PT. Elang Jaya Perkasa untuk melakukan pemindahbukuan PPh Pasal 25 yang sudah dibayar setiap bulan. Namun kemungkinan tersebut dibatasi oleh ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 8 Ayat (4) PMK No. 187 Tahun 2008 huruf a yang berbunyi : Pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan tersebut dilakukan terhadap penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi berdasarkan kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Januari 2008. Artinya, pembayaran yang dapat dipindahbukukan adalah untuk pembayaran yang dilakukan terhadap kontrak yang ditandatangani sejak 1 Januari 2008. Padahal, sebagaimana diketahui, PPh Pasal 25 yang dibayar tahun 2008 tidak ditentukan secara langsung oleh kontrak yang ditandatangani pada tahun 2008. Dengan kata lain, ada atau tidak ada kontrak pada tahun 2008, PPh Pasal 25 di tahun 2008 tetap harus dibayar.
Oleh karena, PT. Elang Perkasa Jaya harus melunasi kekurangan PPh Pasal 4 Ayat (2) sebesar Rp. 30.000.000,00. Iapun harus tetap membayar angsuran PPh Pasal 25 dari Januari sampai dengan Desember 2008.
Perhitungan PPh Terutang dan disetor di dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2008
Seperti halnya pada bagian kedua, SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak yang harus disampaikan paling lambat pada akhir bulan keempat tahun 2009 seharusnya berisi data-data berikut :
Penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang diperoleh oleh PT. Elang Perkasa Jaya selama tahun 2008 sebesar Rp. 600.000.000,00 dengan jumlah pajak terutang yang bersifat final sebesar Rp. 30.000.000,00 (Januari Rp. 9.000.000,00, Mei Rp. 18.000.000,00 dan September Rp. 3.000.000,00) dilaporkan didalam formulir 1771 – IV pada bagian PPh Final baris imbalan jasa konstruksi.
Terbitnya PP No. 40 Tahun 2009 Tanggal 4 Juni 2009
Ketenangan istirahat mereka barangkali agak terusik dengan terbitnya PP No. 40 Tahun 2009. ”Wah ada perubahan lagi. Kira-kira apa yang berubah ya?”. Setidaknya mungkin itu ujaran yang mereka lontarkan. Keterusikan mereka barangkali tiba-tiba berubah menjadi keterperanjatan dan ketidakpercayaan melihat isi dari PP yang baru terbit tersebut.
PP baru ini membuat mereka harus mengoreksi kembali hal-hal yang sudah mereka koreksi pada saat diterbitkannya PP No. 51 Tahun 2008. Mereka harus melakukan kalkulasi ulang atas pajak yang seharusnya terutang dan disetorkan, melakukan pemindahbukuan, melakukan pembetulan terhadap SPT Masa yang sudah disampaikan dan bahkan melakukan pembetulan terhadap SPT Tahunan yang juga telah disampaikan.
Bagaimana tidak?. PP No. 40 Tahun 2009 diantaranya memuat ketentuan bahwa saat efektif berlakunya PP No. 51 Tahun 2008 tidak dari 1 Januari 2008, melainkan untuk kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008. Selanjutnya, didalam PP tersebut juga dijelaskan bahwa atas kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, atau untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 berlaku ketentuan yang esensinya sama dengan ketentuan yang diatur dalam PP No. 140 Tahun 2000.
Konsekuensi dari perubahan ini adalah :
a. Untuk Wajib Pajak pengusaha usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha non kecil yang bertransaksi dengan pemotong pajak
Menggunakan ilustrasi PT. Elang Perkasa Jaya diatas, PPh yang seharusnya dipotong atas penghasilan yang diperoleh oleh PT. Elang Perkasa Jaya dengan diberlakukan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 40 Tahun 2009 adalah :
Dengan adanya perubahan sifat pengenaan dan pajak dasar pengenaan pajak, berakibat jumlah pajak yang seharusnya dipotong juga berubah. Tindakan yang harus dilakukan oleh PT. Elang Perkasa Jaya dan PT. Suka Membangun adalah melakukan pemindahbukuan atas setoran PPh Pasal 4 Ayat (2) yang bersifat Final sebesar Rp. 30.000.000 menjadi PPh Pasal 23 sebesar Rp. 18.000.000,00. Kemudian, mereka harus melakukan pembetulan terhadap SPT Masa Pasal 4 Ayat (2) yang sudah disampaikan agar menjadi nihil. Disamping itu, PT. Suka Membangun harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 sebagai pemotong PPh Pasal 23.
Selanjutnya, PT. Elang Perkasa Jaya harus menghitung kembali PPh terutang untuk tahun pajak 2008 dengan membuat laporan laba rugi fiskal dan melakukan pembetulan terhadap SPT Tahunan PPh yang sudah disampaikan.
Berikut ini akan dibuat beberapa asumsi atas jumlah laba fiskal yang diperoleh oleh PT. Elang Perkasa Jaya serta pengaruhnya pada pelaporan SPT Tahunan
Berdasarkan ketiga ilustrasi diatas, kesimpulan yang dapat diambil adalah :
- Perhitungan kembali pajak terutang bisa berakibat pajak lebih bayar maupun kurang bayar. Kondisi lebih bayar biasanya dihindari oleh WP, karena mempunyai konsekuensi harus diperiksa.
Sementara, bila terjadi kurang bayar, tidak ada penjelasan kapan batas waktu pembayaran kurang bayar tersebut dan apakah mereka akan dikenakan sanksi. - Perhitungan kembali ini dapat berakibat timbulnya kewajiban untuk membayar PPh Pasal 25. Padahal, untuk kontrak maupun pembayaran terminnya mulai tahun 2009, dikenakan PPh bersifat Final. Pembayaran PPh Pasal 25 di tahun pajak 2009 disamping memberatkan Wajib Pajak juga akan menyebabkan SPT Tahunan PPh Tahun pajak 2009 nantinya akan menghasilkan posisi lebih bayar, yang ujung-ujungnya diperiksa lagi.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bila pengusaha jasa konstruksi bertransaksi dengan bukan pemotong pajak, pemberlakuan PP No. 51 Tahun 2008 berakibat mereka harus melunasi kekurangan pembayaran PPh final paling lambat tanggal 15 Desember 2008 sebesar Rp. 30.000.000,00.
Hal yang harus dilakukan oleh PT. Elang Perkasa Jaya adalah melakukan pemindahbukuan pembayaran sebesar Rp. 30.000.000,00 menjadi tidak final. Disamping itu, ia juga harus membetulkan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) yang telah disampaikan sehingga menjadi nihil.
Menggunakan ilustrasi pada bagian a, perhitungan PPh yang harus dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh PT. Elang Perkasa Jaya berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 40 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
Berdasarkan ilustrasi diatas, diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengusaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil yang bertransaksi dengan pemotong pajak. Dengan demikian, kesimpulannya juga akan sama.
Penutup
Perubahan, penyempurnaan maupun penggantian peraturan di dalam perpajakan adalah hal yang biasa dan sangat lumrah terjadi. Akan tetapi, diberlakukannya secara surut sebuah peraturan yang baru belakangan munculnya, dapat berakibat tidak menyenangkan bagi pihak-pihak yang terkait dengan peraturan tersebut. Bukannya bermaksud untuk menolak atau mau mengelak dari melaksanakan kewajiban perpajakannya, pemberlakuan ketentuan secara surut membuat mereka harus melakukan berbagai koreksi dan pembetulan yang tidak hanya sebatas jumlah pajak yang harus dibayar tapi juga mecakup administrasi pelaporan, agar sesuai dengan peraturan yang baru tersebut.
Padahal, mereka tidak melakukan pelanggaran apapun. Mereka telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, karena peraturan yang baru terbit dan diberlakukan secara surut tersebut berbeda sekali dengan ketentuan yang yang telah mereka laksanakan, membuat mereka harus bekerja keras untuk melakukan penyesuaian.
Contoh untuk kejadian ini adalah dengan terbit dan diberlakukannya secara surut PP No. 51 Tahun 2008 tentang Tentang Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi sejak tanggal 1 Januari 2008. Padahal PP tersebut baru terbit pada bulan Juli 2008.
Bagi pengusaha usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi kecil serta nilai pengadaan sampai 1 miliar, keberadaan PP ini tidak menjadi masalah. Karena, sifat dan dasar pengenaan pajaknya masih sama dengagn ketentuan sebelumnya, PP No. 140 Tahun 2000. Sehingga, tidak ada yang harus mereka perbaiki atau koreksi.
Namun, tidak demikian halnya dengan pengusaha usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil. Perubahan dan pemberlakuan PP ini secara surut membuat mereka harus melakukan berbagai koreksi dan pembetulan. Apalagi kalau mereka bertransaksi dengan pemotong pajak. Koreksi dan pembetulan untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru tersebut juga harus dilakukan oleh pengguna jasa mereka. Bisa dibayangkan kehebohan yang terjadi dengan adanya PP No. 51 Tahun 2008 tersebut.
Oleh karena itu, setelah terbitnya PP No. 51 Tahun 2008, sangat banyak suara-suara yang meminta agar PP ini tidak diberlakukan sejak 1 Januari 2008. Mereka umumnya menyambut gembira keberadaan PP baru ini, karena, untuk kedepannya, pelaksanaan kewajiban perpajakan untuk usaha jasa konstruksi akan lebih mudah dan sederhana. Namun mereka keberatan dengan masa pemberlakuannya. Mereka minta agar PP ini diberlakukan setelah bulan terbitnya, sehingga dapat melaksanakan dengan baik perubahan-perubahan yang diamanatkan oleh PP tersebut.
Barangkali doa mereka dan harapan mereka itu terkabul dengan terbitkannya PP No. 40 Tahun 2009 tentang perubahan PP No. 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi. PP No. 40 Tahun 2009 menyatakan bahwa PP No. 51 Tahun 2008 berlaku efektif untuk kontrak yang ditandatangani sejak tangal 1 Agustus 2008 dan untuk pembayaran termin yang dilakukan sejak 1 Januari 2009, kecuali kalau serah terima pekerjaan sudah dilakukan sebelum Januari 2009.
Akan tetapi, PP No. 40 Tahun 2009 ternyata tidak disambut hangat oleh pihak-pihak yang terkait dengan PP tersebut. Mereka malah menganggap keberadaan PP No. 40 Tahun 2009 sebagai beban baru. “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”, kata mereka. “Bukannya membantu melapangkan, malah menyusahkan”. Mengapa?. Sebab, penerbitan PP ini sudah sangat terlambat. Mereka sudah terlanjur melakukan berbagai koreksi dan pembetulan. Malahan, SPT Tahunan PPh sebagai sarana untuk melaporkan penghasilan yang diperoleh dan pajak yang telah dibayar selama satu tahun pajak telah pula disampaikan.
Haruskah mereka gembira dan memberikan sambutan hangat terhadap keberadaan PP No. 40 Tahun 2009. Mereka umumnya akan menjawab tidak. Walaupun, perubahan ini akan menyebabkan adanya pajak lebih bayar. Sudah terbayang oleh mereka kerja keras yang harus mereka lakukan agar pelaksanaan kewajiban perpajakan mereka sesuai dengan ketentuan baru ini. Mulai dari menghitung kembali pajak yang seharusnya terutang, pembetulan SPT Masa, pemindahbukuan setoran, bahkan sampai dengan melakukan pembetulan terhadap SPT Tahunan yang baru saja mereka sampaikan.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan gambaran secara ringkas dan sederhana kepada para pembuat peraturan, konsekuensi langsung dari apa yang telah mereka lakukan. Harapan yang ingin penulis sampaikan melalui tulisan ini adalah, hal-hal seperti ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
Disclaimer :
Isi dan Tanggapan pada Artikel ini diluar tanggung jawab Ortax.
Ortax tidak bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung, atas segala kesalahan yang dapat terjadi yang dapat menyebabkan kerugian materi maupun non materi, akibat tindakan yang berkaitan dengan penggunaan data dan informasi yang disajikan.

Tanggapan


Terima kasih pak atas artikel Bapak.
Saya ada pertanyaan, terkait dengan peraturan yang dibahas Bapak tersebut, terkait dengan sanksi yang akan diterima oleh WP (peralihan dari UU No. 140 Tahun 2000 ke PP No. 51 Tahun 2008 dan dari PP No. 51 Tahun 2008 ke PP No. 40 Tahun 2009. Seperti yang dikatakan oleh Bapak, bahwa atas pemberlakuan peraturan yang surut ini dapat merugikan WP, dimana dalam pembahasan artikel Bapak terdapat perbedaan tarif yang dapat menyebabkan WP menjadi kurang potong. Apakah dengan mengajukan pembetulan tersebut WP dapat melakukan pembetulan tanpa dikenai sanksi, dimana seperti yang dinyatakan dalam artikel Bapak bahwa sanksi yang timbul ini bukan merupakan kesengajaan dari WP (misal kurang potong atau telat bayar), dan seperti yang dinyatakan dalam artikel Bapak bahwa WP sebenarnya sudah melakukan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada saat itu. Rasanya kok tidak adil ya kalau WP harus dikenakan sanksi yang bukan berasal dari WP itu sendiri. Salam |


terima kasih untuk artikelnya Pak, sangat membantu
|

terima kasih untuk artikel nya pak..
Untuk rekan Ortax,,saya ingin bertanya untuk paper skripsi saya: Kira2 keuntungan dan kerugian PPh Final bagi perusahaan kontruksi secara konkret apa yah? tolong yah rekan2 sedikit memberikan penjelasan..thanks |

sebaiknya peraturan tentang perpajakan harus lah baku...
kalau pun ada perubahan perubahan haruslah di awal tahun,, supaya wajib pajak bisa membuat estimasi anggarannya.... |


Sangat informatif, Terima kasih. Semoga apa yang bapak tulis dapat dipahami oleh pembuat kebijakan pajak. Salam Sejahtera
|

artikel yg sangat bagus untuk kita semua.
trima kasih |




nice article... WP sangat byk kebingungan dgn gonta-ganti peraturan...Tolonglah mengerti "wahai sang pembuat peraturan"...
|

Terima kasih Pak.
|

wah artikel nya bagus sekali disertai dengan contohnya sehingga saya lebih cepat mengerti bagaimana cara menghitung pph baik yang lebih bayar maupun kurang bayar apalagi saya sebagai mahasiswa
|

thanks infonya pak,memang PP Pajak bikin bingung WP,sebentar2 rombak,ganti PP,asal saling menguntungkan antara WP dan Pemerintah.
|

yang namanya PP pajak selalu bikin ribut baru keluar PP ini besok ada perubahaan PP itu, pun lebih bagus kok dr pada ga ada yang di rubah dari taon ke taon , salam
|



Dari kejadian diatas, menurut saya justru pembuat peraturannya yang asal-asalan terbitkan peraturan, seenaknya saja....dan jelas tidak peduli dengan kesusahan org yg taat pajak. Berlaku surut sudah sama dng tidak ada kepastian hukum....
|

Thanks untuk infonya pak sangat bermanfaat..
|


saya setuju dengan bapak sumber masalahnya adalah waktu...adanya pemberlakuan surut,kemudian terlambat memberikan solusi peralihan. jadi waktu masalahnya.... hakekatnya mungkin ini yang ditunggu (dengan menafikan waktu penerbitan) oleh kontraktor.... semua final atas penghasilan pengusaha konstruksi sehingga mereka lebih mudah pembukuannya dan penghitungan margin labanya. Bukankah fixed cost lebih menguntungkan dalam perencanaan keuangan? cuman memang karena sekali lagi berlaku surut ini jadi masalah.... terlebih lagi PP peralihannya PP 40 2009 yang mengatur transisi 'terlambat' juga...... tapi memang seharusnya ini tidak terjadi dikemudian hari...setuju pak... tapi kontraktor akan tersenyum lagi kayaknya...... gak pusing2 mikir entertainment dll.... he he he...
|

seringkali banyaknya peraturan justru membingungkan wajib pajak, terkadang antar AR dilingkungan KPP pun berbeda pendapat atas satu peraturan, kalau sudah begitu semakin bingunglah WP....
|





Benar sekali rekan Sugito.
Artinya, bila penyedia jasa instalasi tersebut adalah pengusaha konstruksi, tapi tidak punya izin atau sertifikasi sebagai perusahaan konstruksi yang dikeluarkan oleh asosiasi atau pihak yang berwewenang untuk itu. Tidak ada izin atau sertifikasi tersebut bisa disebabkan karena masih dalam pengurusan atau memang tidak mengurusnya. Izin atau sertifikasi tersebut terkadang hanya diperlukan untuk ikut tender-tender atau pengadaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh pemerintah. Bisa saja perusahaan tersebut karena tidak bermaksud ikut tender pemerintah atau ikut tender-tender yang mengharuskan sudah ada izin atau sertifikasi. Namun dalam akta pendiriannya, perusahaan tersebut adalah perusahaan konstruksi yang menyediakan jasa konstruksi. Yang dikenakan PPh Pasal 23 atas jasa instalasi atau perawatan adalah bila penyedia jasa bukan merupakan perusahaan konstruksi. Misalnya, Perusahaan yang usahanya jual beli AC biasanya menyediakan teknisi untuk pemasangannya. Pemasangan AC termasuk salah satu jenis jasa konstruksi. Tapi karena yang melakukan jasanya bukan perusahaan konsruksi, maka, bukan objek PPh Pasal 4 ayat (2). Contoh lain, kadang-kadang perusahaan yang usahanya jual beli alat-alat bangunan juga menyediakan pekerja yang dapat dimintai jasanya sebagai tukang cat atau pemasangan bahan-bahan bangunan yang mereka jual. Oleh karena mereka bukan perusahaan konstruksi, atas jasa yang merupakan salah satu jenis jasa instalasi atau pemeliharaan tersebut tidak dikenai PPh Pasal 4 ayat (2), tapi PPh Pasal 23. Demikian rekan sugito Salam |





Pak Hanif, bukankah bila tidak mempunyai sertifikasi tarifnya 6 %, jadi tetap dikenakan PPh Ps.4 ayat2 .
|





PPh 23 atas jasa konstruksi hanya untuk instalasi dan perawatan konstruksi yang dilakukan oleh WP yang tidak punya izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. Selain dari itu, dikenakan PPh Pasal 4 Ayat (2).
Salam |

terima ksih paak buat infonya
|

Yup ,, memang kagak sulit untuk membedakan Jasa Konstruksi Pasal 4 (2) dg Pasal 23 khususnya utk peraturan yg baru ini. Mungkin ada yg bisa jelasin gak ya, kira2 ada tips utk menentukan pengenaan jenis PPh-nya itu (final 4(2) , 23 atau lainnya) untuk suatu jenis jasa yg berkaitan dg pekerjaan2 sebuah bangunan yg sudah ada.
|



Saya memandang bahwa jasa konstruksi lebih cenderung diatur dalam PP nya yang menyatakan bahwa itu final, karena [i]lex specialis derogat lex generalis.[/i]
|

Dari yang sudah diuraikan di atas, sekarang semakin membingungkan apa perbedaan Jasa Kontruksi yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dengan Jasa Konstruksi yang dimaksud dalam Pasal 23.
|





Memang aneh, jika perlakuan ketentuan itu berlaku surut, sebuah produk hukum tujuannya memberi kepastian hukum, jika hukum itu berlaku surut maka kepastian hukum sebelumnya patut dipertanyakan. PR untuk pembuat keputusan Pajak.
|

terima kasih pak..ilmunya sangat bermanfaat..
|

ulasannya lengkap sekali, terima kasih banyak pak..!!
|

terima kasih pak, untuk info dan ulasannya..
|

terima kasih atas infonya...
|



Terima Kasih pak infonya membantu saya dalam pekerjaan saya.
|

wahh...skarang PPh bwt konstruksi dah final smua.mnurut saya tu mang jadi lebih mudah secara administrasi, tapi soal untung rugi bagi perusahaan tergantung nilai kontraknya, Pasalnya, pajak yang sifatnya final tidak akan dapat dikreditkan dan juga ndak bisa masuk SPT tahunan tu. Kalo buat pemerintah yang penting asas budgetair terpenuhi,alias bisa tarik uang sebanyak-banyaknya.hehehehe...
mohon koreksi kalo ada yang salah. |

Makasih Pak, atas ulasannya ini. Pak, tolong dibahas juga mengenai perlakukan pajak jasa konstruksi untuk joint operation. tks
|

terima kasih pak...mohon ijin copy paste
|

Materi pada artikel ini sangat membantu sekali apalagi dibantu dengan perhitungannya. Bermanfaat sekali pak klo bisa sekalian dengan pph final lainnya, saya ijin copy paste ya....
|

terima kasih pa
|

Terima kasih pak, sangat membantu sekali, karena kapan hari ada beda pendapat dengan AR atas pemotongan
|

Terima kasih pak.. Ini sangat bermanfaat buat saya.. Kebetulan saya lagi ada sedikit masalah tentang penerapan jasa konstruksi.. Thanks..
|


jd bgmana pak kl ad PPh ats konstruksi dipotng 2 tarif yakni 2% dan 4%.bgmn perlakuan pjkny?
|





terima kasih..
bermanfaat.. |

Pak, terima kasih atas artikel ini, sangat membantu...
Ijin Copas ya pak... suksma |


Jelas buat dipahami terima kasih
|

thanks for your info, it will be increase and well known about taxes, helpfull for taxpayer and sakeholder.
|

copas dulu yaa pak..
hahahaha thanks |




tengs
|

trima kasih pak... sangat membantu dalam memahami aturan terkait jasa konstruksi
|





Bapak, tulisannya sangat membantu kami dalam memahami PP No.40 tahun 2009 ini, utamanya sebagai bahan di kuliah PPAk Unand,....trims
Salam hormat budi sasongko-garam |


peraturan berubah mengakibatkan koreksi dan pembetulan serta administrasi pelaporan harus juga di benahi agar sesuai peraturan terbaru....
|



trima kasih atas gambaran bg perushaan kontraktor didalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.....
|





Akibat terlalu banyak peraturan yang berubah,membuat pusing wajib pajak.
|




sebagai warga negara yg baik kita harus menghormati peraturan yg berlaku,jika kita saja tidak mau menghormati dan melaksanakan peraturan negara sendiri bagaimana dg warga asing???
|

Trim's pak....ulasannya komplit....dgn ulasan ini km lebih paham.
|


contoh-contoh yang diberikan sangat membantu didalam memahami peraturan ini.
|

thx banget pak..atas informasinya..jadi bisa belajar gratis..dan menambah pengetahuan ....
|

bagus dan mendetail... mudah-mudahan bisa jadi masukan bagi pembuat peraturan agar di masa datang tidak terjadi hal seperti ini... bukan cuma Wajib Pajak yang puyeng... para Account Representative di KPP juga pusing dibuatnya...
|

Sip bgt artikel nya....saya tunggu artikel yg lengkap seperti ini lg deh...Tq
|

wah ulasannnya sangat komprehensif, saya senang artikel ini sebagai bahan reperensi. Terima kasih pak atas ulasannya dan tak lupa buat Ortax maju terus...
|




Ulasannya excellent. Lebih cenderung jadi musibah bagi pelaksana perpajakan di lapangan. Trims.
|

ulasan yang sangat detail dan komprehensif. mudah2an para dapat menjadi masukan yang sangat berharga bagi para pembuat peraturan. trims pak ulasannya
|


tulisan yang sangat mencerahkan untuk pemula seperti saya, dan sebagai hadiah tahun baru buat saya. makasih ya, pak. tolong tulis topik yang lain dong, pak.
|

artikel ini sangat bermanfaat untuk para pembuat kebijakan berikutnya untuk dikaji...terima kasih
|

Maaf mungkin terlambat berkomentar, tapi saja acungkan dua jempol, bagus dan sangat bermanfaat.
|

walau belom faham betul tapi lumayan detail info dalam artikel ini.
|


Sangat lengkap dan jelas.... terima kasih atas artikelnya, sangat membantu dalam pekerjaan saya.. terimakasih
|



Bagus analisanya Cok.., sangat bermanfaat sekali, mudah-mudahan pihak yang terkait dengan pembuatan peraturan ini juga mengetahuinya, thank's
|

Bagus, mudah disimpulkan untuk aplikasi di lapangan
|

Terima kasih
Tulisan begitu lengkap dengan contoh contohnya |


Sungguh membantu kami tulisan Bp. Aries. Saya jga bekerja di perusahaan Jaskon. Benar2 mengalami dampak dari terbitnya PP51 dan PP40. Saat ini perusahaan kami sedang maminta penjelasan yang pasti ttg apa yg harus kami lakukan atas SPT Badan 2008 kami yg sudah kami laporkan. Terus terang kami dibuat repot dgn adanya PP2 tersebut.... Tapi kami tetap sebagai wajib pajak yg taat, menjalani aturan - aturan yg ada di PP tersebut....
|





Sangat Berbobot !!!
Khususnya bagi saya pribadi, Tulisan ini sangat bermanfaat. |

Pak Aris..., info yang bagus , lengkap dengan comparisonnya... sangat bermanfaat
|

info yang sangat bagus dan bermanfaat
|





Usulan dari rekan Sugito agar pak Aries menulis artikel yang serupa tapi mengenai usaha real estet ( Pembangunan Rumah ), aspek perpajakan dan akuntansinya sama rumitnya dengan usaha jasa konstruksi.
Bukankah aspek perpajakan dari usaha pembangunan rumah/pengembang sama dengan usaha jasa Konstruksi ? |

sangat detail pak.. terima kasih
|



Info yg sangat bgs n menambah wawasan ttg pajk..thanks atas infonya
|



Info yg sangat berguna n menambah wawasan,thanx pak atas infonya..
|

Bravo buat penulis... ditunggu tulisan2 berikutnya
|

tulisan yg menarik dan sangat bermanfaat...thanks buat penulis
|

terima kasih atas artikelnya, mohon izin copas ya.. bt referensi di kantor
|

perusahaan tmp ak kerja adalah salah satu korbannya dan sampe saat ini ak blm bs melakukan pembetulan. Enak sih emang buat yg bikin peraturan, enak jg sih bos krn gak tahu caranya. Tp usernya???????
|



sangat menarik,yhx pak infonya
|

sangat bermanfaat , terima kasih minta izin untuk digunakan sebagai bahan presentasi di kantor......thanx
|





Sangat bermanfaat, terima kasih kepada penulis.
|





Amat sangat bermanfaat untuk diketahui Para Pengusaha Usaha Jasa Konstruksi beserta Staf dan juga untuk diketahui para KONSEPTOR PERATURAN PELAKSANAAN UU PERPAJAKAN di Direktorat Jenderal Pajak untuk memahami dan meningkatkan INTELEGENSIA ( KECERDASAN), INISIATIF, INOVATIF, INFORMASI, dan INSYA ALLAH Peraturan Pelaksanaan mengacu kepada Kepastian Hukum dan Keadilan yang seimbang antara Hak / Kewajiban Negara dan Hak / Kewajiban Wajib Pajak....tidak semata mata mendepankan Pro Bono Fiscus tapi juga Pro Bono Publico.....
|





Rekan yulianto76, itu jadi hak patennya ortax..he..he..
|





Usulan kepada pak Aries agar menulis artikel yang serupa tapi mengenai usaha real estet ( Pembangunan Rumah ), aspek perpajakan dan akuntansinya sama rumitnya dengan usaha jasa konstruksi.
|

Tulisan yang sangat bagus.....Salut buat penulisss
|

sangat bermanfaat isi artikel ini. tapi sayang kok ndak bisa di print?
|


Sama dengan mas Toto Sudibyo bahwa peraturan mengenai Konsultan Pajak (PMK.22) hendaknya dideregulasi lagi, buktinya penulis artikel ini mampu menyajikan tulisan yang sangat bermutu mengenai Pajak, Akuntansi dan Pajak Akuntansi.
|

Mungkin sudash saatnya bahwa peraturan pajak dibuat untuk tidak berlaku surut karena disini pasti ada miss... oleh karena itu sebaiknya sebelum peraturan ditetapkan harus dilihat dampaknya terhadap perusahaan-perusahaan pra maupun pasca peraturan ditetapkan
terima kasih |

konsekwensi dari beragamnya kepentingan yang diakomodir para pembuat peraturan membuat tujuan utama tidak optimal dicapai.
|





Terkdang Peraturan yang dibuat tidak mengenakan bagi WP, contohnya peraturan dibuat dipertengahan tahun tapi berlaku surut.
|

setiap perubahan peraturan pada dasarnya dilakukan untuk memberi keseimbangan antara kemudahan pengusaha dan kontribusi pajak bagi negara, terimakasih untuk pembahasannya.
|





Siip...sangat bermanfaat...
Seringnya berubah aturan pajak tdk semata kurang kompetennya pembuat aturan, pengaruh loby pihak-2 terkait (dlm hal ini pengusaha jakon via asosiasi) juga menentukan. |

pembahasan yang sangat bermanfaat.
Terima Kasih |


adakah juklak dari PP 40/2009 ini ??
|

very usefull, welldone :)
|

artikel yang bagus dan bermanfaat, tlg lebih sering di ulas peraturan terbaru yg lain secara lebih komprehensif . trims
|

Apalagi dengan pergantian peraturan yang berganti dengan cepatnya seolah-olah Dirjen Pajak belum begitu matang dalam menggodoknya,
Wajib Pajak pasti akan bingung dibuatnya, den memang bingung dibuatnya |


good... thanks very much.
|

Mudah2 an artikel ini akan membuka mata otoritas pajak kita bahwa bukan hanya mereka yang bersertifikat konsultan pajak yang paham aturan pajak. Artikel ini sangat komprehensif menyatu padukan akuntansi dan peraturan pajak sekaligus.
Belum tentu seorang konsultan pajak mempunyai pengetahuan yang komprehensif seperti halnya penulis artikel ini. Sudah saatnya otoritas pajak menderegulasi lagi peraturan tentang konsultan pajak ( PMK.No.22/PMK.03/2008 ). |


Peraturan Jasa Konstruksi ini tidaklah efisien yang bisa merugikan perusahaan jasa konstruksi, bayangkan untuk membuat Sertifikat Jasa Konstruksi biayanya sangat memberatkan, untuk kwalifikasi kecil Rp.10.000.000 menengah Rp.15.000.000 besar Rp.20.000.000.-.
Seandainya pekerjaan dinilai oleh pemberi kerja belum atau tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak kerja yang bukan kesalahan perusahaan , siapa yang bertanggung jawab ? apakah asosiasi dimintakan pertanggungan jawabnya juga ? Jekas asosiasi tidak mau tahu dan tidak dilibatkan oleh pemberikerja. Peran asosiasi apa ? Asosiasi hanya mencari keuntungan saja .... |


permasalahan yang dibahas pak Aries Tanno persis sekali dengan permasalahan yang dihadapi perusahaan kontruksi sekarang :
- Atas bukti potong yang sudah dimohon dilakukan pemindahbukuan, ternyata datang lagi peraturan baru. Pihak pemberi kerja juga tidak mau lagi PBK kembali. Apa yang harus dilakukan ? - tarif yang berbeda berdasarkan kualifikasi sertifikasi konstruksi yang dikeluarkan LPJK. Kalau perusahaan konstruksi tidak berorientasi ke proyek pemerintah, maka bisa saja diurus kualifikasi Kecil, dengan biaya lebih murah, dan pph tetap dipotong 2% walaupun kontrak di atas 1 M. Apakah ini mencerminkan peraturan ini dibuat oleh pejabat yang berkompeten ? |

Sedikit mengulas jasa pelaksana konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil, sedangkan usaha dia murni dengan pihak swasta. Menurut pendapat saya karena dalam PP 51 Tahun 2008 sudah tidak mengaitkan lagi dengan besaran nilai kontrak yang diperoleh, maka untuk usaha swasta dengan kualifikasi kecil yang memperoleh proyek diatas 1 M dikenakan tarif PPh Final 2 %.
|


Pak Aries Tanno terima kasih atas ulasannya, semoga di baca & di pahami juga bagi si pembuat keputusan/peraturan atas akibatnya.
|



Sependapat dengan rekan Sugito, keahlian Akuntan juga menguasai peraturan perpajakan bukan hanya keahlian Konsultan pajak saja, jadi sudah sepantasnya otoritas pajak mengajak semua akademisi yang mempunyai keahlian perpajakan terutama yang memang Lulusan PT Pajak untuk menghimpun pajak buat pembangunan negara yaitu dengan merevisi PMK.22 yang kontroversial itu.
|

Terimakasih banyak pak Aries Tanno.
|





Sangat bagus dan jelas sekali pembahasannya.
Nggak heran kalau di negara kita peraturan diberlakukan surut, mungkin maksudnya untuk pembelajaran bagi kita atau untuk mencarikan penghasilan para konsultan pajak. |

Pembahasan yg lengkap dan detail.. sangat bermanfaat.. Makasih Pak..
|





Penulis adalah seorang Akuntan tapi sangat menguasai masalah perpajakan, jadi bukan seperti anggapan bahwa hanya Konsultan pajak saja yang menguasai peraturan perpajakan. Bravo buat penulis !
|



Salute & thanks buat Bapak Aries Tanno, mengupas secara tuntas mengenai ketentuan perpajakan Usaha jasa konstruksi terkait dgn keluarnya PP-51/2008 (junlak PMK-187/PMK.03/2008) dan PP-40/2009, hal-hal yg menjadi fokus permasalahan dan yg paling penting KRITIK dan KOREKSI yg amat tajam terhadap para pejabat pembuat peraturan, agar hal ini menjadi TEGURAN bagi pembuat aturan tersebut agar kedepannya tidak terulang lagi.
salam |

Makasih..
|

Sangat bermanfaat sekali buat kita.... terima kasih.
|



Informatif sekali...., thanks for shared
|