Artikel
Menyoal Kepastian Terjaminnya Hak Wajib Pajak Di Tengah Perseteruan Antara BPK, MenKeu dan DJP
Iman Santoso dan Purwoko Ary Wibowo
Praktisi Perpajakan

Penulis:
Iman Santoso, Praktisi Perpajakan pada Tax Center FISIP UI, Depok.
Purwoko Ary Wibowo, Pengelola SmarTax Media dot com dan konsultan pajak dari SmarTax
Disclaimer :
Isi dan Tanggapan pada Artikel ini diluar tanggung jawab Ortax.
Ortax tidak bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung, atas segala kesalahan yang dapat terjadi yang dapat menyebabkan kerugian materi maupun non materi, akibat tindakan yang berkaitan dengan penggunaan data dan informasi yang disajikan.

Tanggapan


Memang hak kerahasiaan WP harus dilindungi kecuali ada indikasi pidana.
|



Saya lebih setuju jika yg diperiksa/diaudit itu bukan instansinya, but Human dari instansinya.
|

Saya tidak sependapat dengan tulisan di atas. Argumennya sbb:
1. Aturan di singapura dan negara maju lainnya belum tentu dapat diterapkan di Indonesia karena perbedaan kondisi, terutama masalah KKN. Coba Bapak liat kekayaan sebagian besar petugas-petugas pajak di Indonesia, apakah Bapak pikir itu bukan dari KKN? Contoh nyata dugaan KKN Rp500 juta di BC Tanjung Priok dan dugaan transfer illegal Rp3M, berdasar laporan PPATK, antara pengusaha dan fiskus, dan belum lagi cerita dari teman-2 saya di DJP. Aturan pembatasan akses oleh pihak eksternal DJP menyebabkan proses dan hasil pajak hanya diketahui oleh fiskus, WP, dan Tuhan, dan sayangnya Tuhan tidak butuh duit. Seandainya kondisi ideal, yaitu moral untuk tidak ber-KKN di Indonesia ada, maka saya setuju dengan tulisan Bapak, namun sayangkanya kondisi ideal itu belum ada, sehingga aturan khusus perlu diterapkan di Indonesia untuk meminimalisasi kemungkinan KKN. 2. Kepastian hukum saya yakin tetap terjaga, BPK merekomendasikan ke DJP bukan ke WP dan temuan berdasar hasil kesepakatan antara BPK dan DJP, tindak lanjut ada di tangan DJP. DJP pasti tahu apakah aturan yang ada memungkinkan diterbitkan SKPKBT berdasarkan temuan BPK. Jika Bapak mengharapkan kondisi ideal terjadi di DJP, menurut saya paling cepat 10 tahun ke depan baru terealisasi dengan syarat program reformasi birokrasi tetap berjalan on the track. Salam Yulias C. Sihombing |





Dear friend
Kami tunggu tulisan lainnya. Thank's RITZKY FIRDAUS. |

Dear Sobat,
Kewenangan Fihak lain termasuk Otoritas Pajak terhadap kerahasiaan Wajib Pajak perlu dibatasi sesuai Ketentuan Peraturan Per UU Perpajakan yang berlaku (UU Tentang Ketentuan Umum Dan tatacara Perpajakan). Jika tidak terlindungi maka contoh buruk Kasus Terbitnya SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan bukan akibat Novum tetapi akibat perbedaan SELERA Penghitungan versi Fihak lain di luar Otoritas Pajak tanpa mendalami Perangkat UU Perpajakan yang ada (Ketentuan Pajak Materal dan Ketentuan Pajak Formal). BPK jangan bterlalu bersemangat untuk ikut memeriksa Wajib Pajak apabila sudah diperiksa Otoritas Pajak yang dipastikan lebih mendalami Ketentuan Peraturan Perpajakan yang ada. Jika sering diperiksa maka Wajib Pajak akan kehilangan kesempatan untuk berkonsentrasi menggali Potensi Penghasilan yang akan menjadi Obyek Pajak. Demikian agar BPK lebih arif dan sabar sesuai UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983 jo UU Nomor 16 tahun 2000 stdtd UU Nomor 28 Th. 2007). Wassallam ENDANG RASYID, R, Drs, MBA. |




kerahasiaan wajib pajak mestinya benar-benar dijamin oleh DJP kalau tidak maua investasi pergi dari Indonesia
|

munculnya polemik antara BPK, dan DJP menjadi sinyal bahwa di negara kita ini masih sering dijumpai tumpah tindih kewenangan...BPK sebagai lembaga negara yang berhak memeriksa keuangan negara pun tidak dapat berbuat banyak apabila pemeriksan tersebut menyangkut dengan masalah perpajakan. masalah perpajakan memang sangat sensitif, disatu sisi kerahasiaan wajib pajak perlu dijaga dengan baik oleh DJP selaku otoritas pajak, disisi lain BPK berperan sebagai elemen pengawas dan pemeriksa urusan keuangan negara. jadi menurut saya, selain polemik kewenangan dan aturan perundang-undangan, masih ada faktor yang perlu diperhatikan yaitu sudut pandang atau persepsi dari BPK dan DJP maupun dari Menteri keuangan RI. hal ini sangat penting untuk mendapatkan suatu gambaran tentangfaktor yang paling dominan yang berpengaruh terhadap ketidakharmonisan antar lembaga pemerintah ini.
saya sangat mendukung perihal hak wajib pajak tentang kerahasiaannya, tapi saya juga sangat mengharapkan agar pemerintah melalui BPK dapat bertindak seoptimal mungkin untuk mendapatkan dan menjaga potensi penerimaan negara. pertanyaan yang muncul kemudian adalah apabila suatu saat di masa yang akan datan BPK diberi kesempatan dan kepercayaan secara syah oleh undang-undang untuk melakukan verifikasi akses terhadap wajib pajak, mampukah BPK tetap menghormati dan menjaga hak-hak wajib pajak untuk terjamin kerahasiaanyya(apabila tidak terbukti adanya indikasi kerugian bagi negara?? |

Kepastian harus diberikan kepada wajib pajak, jangan sampai karena pertentangan antara Administrasi Pajak (DJP) dan Auditor Pemerintah (BPK) merugikan Wajib Pajak. Masa sudah diperiksa sama fiskus diperiksa lagi sama BPK kasian WP-nya dan kalo diperiksa upaya hukum atas hasil pemeriksaan oleh BPK ke mana tuh, sewngketa pajak bukan yah
|


MK KANDASKAN KEINGINAN BPK BONGKAR PAJAK
JAKARTA. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya mengandaskan keinginan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperoleh wewenang lebih dalam mengakses data perpajakan, terutama wajib pajak. MK menegaskan data wajib pajak merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga negara perlu melindunginya. Sembilan orang majelis hakim MK membacakan putusan ini selama hampir dua jam secara bergantian pada Kamis (15/5). Wajah Menteri Keuangan Sri Mulyani pun berbinar-binar, terutama ketika mendengar hakim konstitusi H. A. S. Natabaya membacakan putusan bahwa tak ada kerugian konstitusional bagi BPK dengan berlakunya Undang-undang (UU) No 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU KUP. Secara umum, keputusan MK tersebut juga menyarankan tiga hal. Pertama, BPK dan Departemen Keuangan segera meneruskan pembuatan memorandum of understanding (MoU) mengenai tata cara BPK memeriksa wajib pajak. MoU itu akan menjadi kompromi atas perbedaan pendapat antara Departemen Keuangan dan BPK. Kedua, BPK sebaiknya segera melaporkan ke polisi jika meragukan data-data perpajakan serta menemukan indikasi kerugian negara. Ketiga, BPK juga bisa mengikuti prosedur seperti yang tertuang dalam Pasal 42 ayat 3 UU KUP. Yakni, BPK meminta izin kepada Menkeu untuk memeriksa wajib pajak jika mencurigai ada kerugian negara dari penerimaan pajak. Cuma memang, dalam kesimpulannya, MK sebenarnya mengakui ada tumpang tindih wewenang antara UU KUP, dengan UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Keuangan Negara maupun UU BPK. Meski demikian, MK menilai hal itu tidak merugikan BPK. Toh, keputusan hakim MK dalam mengadili uji materi UU KUP itu masih lonjong. Salah satu anggota hakim, Maruarar Siahaan, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting oppinion. Ia membantah klaim pemerintah bahwa pembatasan wewenang pemeriksa eksternal di negara lain merupakan hal lumrah. Maruarar berpendapat, di Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, juga di Malaysia dan Belanda, pemeriksa keuangan negara boleh membuka dokumen pajak. Asalkan, alasan pembukaan itu demi kepentingan umum. sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id |


saya sepakat dengan artikel di atas.. Kerahasiaan data/informasi wajib pajak adalah hal yang harus dilindungi. Saya sendiri bingung dengan permohonan judicial review oleh BPK. apakah maksud dari keinginan mereka untuk mengakses data wajib pajak tersebut. Seandainya nanti BPK bisa mengakses data-data tersebut berarti dia bisa saja mengoreksi hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus sehingga benar bisa saja timbul SKBKBT.. Sungguh hal itu akan sangat membingungkan bagi wajib pajak.. Apakah BPK bermaksud untuk mengoreksi target penerimaan pajak yang mungkin menurut BPK terlalu rendah??? Wallahu a'lam..
|

Sebuah kepercayaan yang pudar....
di satu sisi dengan mengusung jargon "demi menyelamatkan aset negara" di satu sisi mengusung jargon yang lain. Jika dikaji lebih jauh melenceng, semua ini memiliki kesamaan visi dan misi masing-masing departemen, yaitu "meningkatkan kinerja". Departemen A kinerjanya dinilai dari penerimaan negara, Departemen B kinerjanya dinilai dari jumlah temuan, dan penilaian kinerja lainnya. Jika dilihat dari kacamata rakyat indonesia, BPK ingin menjadi penguasa negara. semua aspek ingin ditangani. hasilnya APBN sekarang minus, Inflasi merangkak naik, rakyat cari rejeki yang halal susah. |