Perpu Nomor : 1 TAHUN 2017

Kategori : KUP

Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan


PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017

TENTANG

AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan;
  2. bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak;
  3. bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017;
  4. bahwa apabila Indonesia tidak segera memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, dan mengingat adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;

Mengingat :

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN.


Pasal 1


Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.


Pasal 2


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
  1. laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
  2. laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.
(3) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
(4) Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(5) Prosedur identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi kegiatan:
  1. melakukan verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
  2. melakukan verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  3. melakukan verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  4. melakukan verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
  5. melakukan dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.
(6) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diperbolehkan melayani:
  1. pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah baru; atau
  2. transaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama,
yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia.
(8) Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

     

Pasal 3


(1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan:
  1. mekanisme elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan bagi lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
  2. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan
  3. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam hal terdapat perubahan mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menentukan mekanisme lain setelah mendapat pertimbangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Terhadap penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 60 (enam puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan; dan
  2. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(4) Penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender.


Pasal 4


(1) Selain menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Informasi keuangan yang tercantum dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 5


Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.


Pasal 6


(1) Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
(2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
(3) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.


Pasal 7


(1) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang:
  1. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
  2. tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau
  3. tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang:
  1. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
  2. tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau
  3. tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
dipidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 8


Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  3. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
  4. Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232); dan
  5. Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867),
dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.


Pasal 9


Dalam hal diperlukan petunjuk teknis mengenai akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Menteri Keuangan dapat menerbitkan Peraturan Menteri.


Pasal 10


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY  
 


PENJELASAN

 

 

 

 


ATAS

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017

TENTANG

AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN


I. UMUM

Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak. Hak negara untuk memungut pajak diatur dalam ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Komponen terbesar dalam pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak. Namun, hingga saat ini penerimaan pajak masih mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan, serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang berdasarkan pada sistem self-assesment.

Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara self-assessment tersebut merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.

Saat ini Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis sesuai dengan standar internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan untuk melaporkan informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.

Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) yang hingga saat ini telah beranggotakan 139 negara atau yurisdiksi termasuk Indonesia, telah menguji transparansi dan pertukaran informasi yang efektif masing-masing negara anggota dan telah memberikan peringkat kepada 113 negara atau yurisdiksi, termasuk untuk Indonesia. Berdasarkan penilaian yang bersifat secara keseluruhan tersebut, Indonesia telah ditempatkan dalam peringkat “Patuh Sebagian” (Partially-Compliant), karena tidak adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas perpajakan di Indonesia untuk memperoleh dan menyediakan informasi keuangan (power to obtain and provide financial information). Hal tersebut disebabkan adanya pembatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Penempatan Indonesia sebagai negara dengan peringkat “Patuh Sebagian” (Partially-Compliant) dimaksud mengakibatkan Indonesia dianggap tidak transparan dan kurang efektif dalam pertukaran informasi keuangan oleh seluruh negara atau yurisdiksi mitra pertukaran informasi dan sejumlah lembaga internasional.

Pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, selain dilakukan dengan cara permintaan, dapat juga dilakukan dengan cara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEOI). Saat ini terdapat 100 negara atau yurisdiksi termasuk Indonesia, telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20. Komitmen Indonesia tersebut diwujudkan dengan ditandatanganinya Persetujuan Multilateral Antar-Pejabat yang Berwenang (Multilateral Competent Authority Agreement) atas AEOI pada tanggal 3 Juni 2015 dan Indonesia menyetujui untuk mulai melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis pada bulan September 2018.

Terkait dengan pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI), Global Forum telah memberikan peringkat kepada Indonesia sebagai negara yang berisiko gagal (at risk) untuk memenuhi komitmen AEOI karena belum tersedianya perangkat hukum primer berupa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang untuk melaksanakan AEOI di Indonesia. Apabila sampai dengan batas waktu tanggal 30 Juni 2017 Indonesia belum membentuk perangkat hukum primer dimaksud, Indonesia akan dipublikasikan sebagai negara yang gagal memenuhi komitmen (fail to meet its commitment) untuk pelaksanaan AEOI.

Dalam hal Indonesia dipublikasikan sebagai negara yang gagal dalam mewujudkan komitmen pada standar AEOI, Indonesia akan dimasukkan dalam daftar negara tidak kooperatif (Non-Cooperative Jurisdictions). Hal tersebut akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terdapat kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dengan membentuk perangkat hukum primer berupa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional di bidang perpajakan” adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional, antara lain Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement), Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), termasuk perjanjian yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, antara lain Persetujuan Bilateral/Multilateral Antar-Pejabat Yang Berwenang Dalam Rangka Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral/Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information) dan Persetujuan Antar-Pemerintah Untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing (Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance  Act/FATCA) yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 2

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “lembaga jasa keuangan lainnya” adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan “entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan” adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Yang dimaksud dengan “standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan” adalah standar yang dirujuk atau diatur dalam perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk melakukan pertukaran informasi keuangan antarnegara, antara lain Standar Pelaporan Umum (Common Reporting Standard/CRS) dan Penjelasan CRS (CRS Commentaries) yang disusun oleh OECD dan G20, yang dirujuk dalam Persetujuan Bilateral/Multilateral Antar-Pejabat Yang Berwenang Dalam Rangka Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral/Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information).

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “rekening keuangan” adalah rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain.
Kewajiban menyampaikan laporan yang dimaksud pada ayat ini juga meliputi kewajiban untuk menyampaikan laporan nihil, dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain tidak menemukan adanya rekening yang wajib dilaporkan dalam satu tahun kalender.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “entitas” adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust.

Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “pengendali entitas” adalah orang pribadi yang melakukan pengendalian atas entitas.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “dokumentasi” adalah kegiatan menyelenggarakan, menyimpan, dan memelihara dokumen terkait prosedur identifikasi rekening keuangan yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sesuai dengan standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.



Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “perubahan mekanisme” adalah perubahan mekanisme dari non elektronik menjadi elektronik.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender.
Contoh:
Apabila batas waktu pertukaran informasi kepada negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan jatuh pada tanggal 30 September 2018 maka:

  1. penyampaian laporan dari lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan wajib dilakukan paling lama tanggal 1 Agustus 2018; dan
  2. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan dimaksud kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama tanggal 31 Agustus 2018.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Basis data perpajakan digunakan dalam rangka memenuhi pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 5

Cukup jelas.



Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “pimpinan” adalah pemimpin sesuai dengan tugas dan wewenang berdasarkan anggaran dasar atau dokumen lain yang dipersamakan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya dan/atau entitas lain.
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah pegawai pada lembaga jasa keuangan, pegawai pada lembaga jasa keuangan lainnya, dan pegawai pada entitas lain.



Pasal 7

Cukup jelas.



Pasal 8

Cukup jelas.



Pasal 9

Cukup jelas.



Pasal 10

Cukup jelas.