Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 01 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Imbal Beli Untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor


PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 01 TAHUN 2021

TENTANG

IMBAL BELI UNTUK PENGADAAN BARANG PEMERINTAH ASAL IMPOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa guna meningkatkan efektivitas pelaksanaan imbal beli untuk pengadaan barang pemerintah asal impor, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai imbal beli untuk pengadaan barang pemerintah asal impor;
  2. bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2019 tentang Imbal Beli untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Imbal Beli untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3512) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
  6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3210) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3291);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 262, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5596);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2017 tentang Cara Pembayaran Barang dan Cara Penyerahan Barang dalam Kegiatan Ekspor dan Impor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6102);
  10. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 90);
  11. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 33);
  12. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014 tentang Ketentuan Asal Barang Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1703);
  13. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 30 Tahun 2015 tentang Imbal Dagang, Kandungan Lokal, dan Ofset dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2086);
  14. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1190);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG IMBAL BELI UNTUK PENGADAAN BARANG PEMERINTAH ASAL IMPOR.
 

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
  2. Imbal Beli adalah suatu cara pembayaran Barang yang mewajibkan pemasok luar negeri untuk membeli dan/atau memasarkan Barang tertentu sebagai pembayaran atas seluruh atau sebagian nilai Barang dari pemasok luar negeri.
  3. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
  4. Barang Asal Indonesia adalah barang yang berasal dari Indonesia yang telah memenuhi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia).
  5. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) adalah peraturan perundang-undangan dan ketentuan administratif yang bersifat umum yang diterapkan untuk menentukan asal barang Indonesia.
  6. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
  7. Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga negara yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden.
  8. Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pemda adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  9. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
  10. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
  11. Pengadaan Barang Pemerintah adalah pengadaan barang untuk kebutuhan Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
  12. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari daerah pabean.
  13. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam daerah pabean.
  14. Pemasok Luar Negeri adalah perusahaan yang telah ditetapkan sebagai penyedia Pengadaan Barang Pemerintah untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
  15. Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing yang mendapat pelimpahan pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
  16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.
  17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.


Pasal 2


(1) Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor dengan jenis dan nilai tertentu wajib dilaksanakan melalui Imbal Beli.
(2) Selain Pengadaan Barang Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadaan barang untuk kebutuhan Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang menggunakan dana kredit Ekspor, kredit komersial, dan/atau anggaran perusahaan dengan jenis dan nilai tertentu dapat dilaksanakan melalui Imbal Beli.
(3) Selain jenis dan nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor dengan jenis dan nilai tertentu wajib dilaksanakan melalui Imbal Beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jenis dan nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD.


Pasal 3


(1) Untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemasok Luar Negeri wajib membeli dan/atau memasarkan Barang Asal Indonesia dengan nilai paling sedikit sesuai dengan nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor.
(2) Dalam hal Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalihkan kewajiban membeli dan/atau memasarkan Barang Asal Indonesia kepada perusahaan lain, Pemasok Luar Negeri memberitahukan kepada Menteri melalui surat pengalihan dan/atau surat kuasa.


Pasal 4


(1) Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengusulkan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Menteri.
(2) Selain usulan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli berasal dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri juga dapat mengusulkan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(3) Atas usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri memberikan persetujuan atas Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(4) Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli meliputi:
  1. minyak bumi dan gas bumi, kecuali produk turunannya;
  2. Barang yang dilarang Ekspor;
  3. Barang yang diekspor dalam rangka pemenuhan offset, buyback, dan/atau kontrak karya;
  4. Barang yang diekspor bukan dalam rangka transaksi Perdagangan, berupa Barang pindahan, Barang contoh, Barang bantuan, dan Barang pemberian; dan
  5. Barang lain yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai Barang yang tidak dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(5) Menteri menyampaikan persetujuan atas Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemasok Luar Negeri untuk disepakati dan dituangkan dalam kontrak Imbal Beli.


Pasal 5


Barang Asal Indonesia yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemenuhan persyaratan Ketentuan Asal Barang Indonesia dan pembatasan Ekspor.

 

Pasal 6


Perhitungan nilai Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (US$).


Pasal 7


(1) Barang Asal Indonesia yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus diekspor langsung ke negara asal Barang Impor untuk Pengadaan Barang Pemerintah.
(2) Barang Asal Indonesia dalam rangka pemenuhan kewajiban Imbal Beli dapat diekspor ke negara ketiga dalam hal:
  1. negara ketiga tersebut bukan merupakan pasar tradisional Barang Ekspor asal Indonesia; dan
  2. Ekspor yang dilakukan tidak mengganggu saluran pemasaran (marketing channel) yang telah ada.
(3) Dalam hal Barang Asal Indonesia diekspor ke negara ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemasok Luar Negeri meminta persetujuan kepada Menteri.
(4) Menteri memberikan persetujuan kepada Pemasok Luar Negeri dengan mempertimbangkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.


Pasal 8


Pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh Pemasok Luar Negeri setelah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. mendapatkan persetujuan atas surat pernyataan kesanggupan melakukan Imbal Beli yang diberikan oleh Menteri;
  2. mendapatkan penetapan penyedia Barang pemerintah; dan
  3. menandatangani kontrak Imbal Beli bersama dengan Menteri.


Pasal 9


(1) Untuk mendukung kelancaran pemenuhan kewajiban Imbal Beli, Menteri menetapkan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee).
(2) Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan yang telah masuk sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
(3) Penetapan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan Pemasok Luar Negeri.
(4) Penetapan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir.
(5) Segala biaya yang terjadi untuk kepentingan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dan/atau Pemasok Luar Negeri berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.


Pasal 10


(1) Untuk dapat menjadi calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), perusahaan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan dokumen:
  1. fotokopi akta notaris pendirian perusahaan perseroan terbatas dan perubahannya;
  2. fotokopi pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  3. fotokopi Nomor Induk Berusaha;
  4. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha dari Kementerian teknis;
  5. fotokopi pendaftaran penanaman modal atau izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk perusahaan penanaman modal asing; dan
  6. surat pernyataan telah berpengalaman dalam kegiatan Ekspor dan/atau Impor dengan melampirkan rekapitulasi realisasi Ekspor dan/atau Impor dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang disahkan oleh Bank Devisa dan/atau berpengalaman dalam kegiatan Imbal Beli dengan melampirkan fotokopi surat penunjukan pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai lengkap dan benar, Menteri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja menetapkan perusahaan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee).
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai tidak lengkap dan/atau tidak benar, Menteri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja menolak permohonan penetapan perusahaan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee).


Pasal 11


Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib mulai membeli dan/atau memasarkan Barang Asal Indonesia untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli:
  1. paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penandatanganan kontrak Imbal Beli; atau
  2. sesuai dengan persetujuan Menteri dengan memperhatikan ketersediaan dan karakteristik Barang yang dijadikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli.


Pasal 12


(1) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan pemenuhan kewajiban Imbal Beli tidak dapat direalisasikan sesuai dengan periode yang telah ditetapkan dalam kontrak Imbal Beli, Pemasok Luar Negeri yang ditetapkan dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri untuk:
  1. memperpanjang periode; dan/atau
  2. mengubah Barang Asal Indonesia,
dalam rangka pemenuhan kewajiban Imbal Beli sesuai dengan perjanjian/kontrak Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerima atau menolak permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia berdasarkan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
(3) Dalam hal Menteri menerima permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia, persetujuan terhadap perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam amendemen kontrak Imbal Beli.
(4) Dalam hal Menteri menolak permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menyampaikan surat penolakan kepada Pemasok Luar Negeri.
(5) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. kondisi kahar (act of god)
  2. kurang tersedianya Barang Asal Indonesia yang dijadikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli; dan/atau
  3. keadaan memaksa (force majeure) atau keadaan lain yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(6) Permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pemasok Luar Negeri yang tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.


Pasal 13


(1) Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) wajib menyampaikan:
  1. laporan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli; dan
  2. laporan akhir.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan setiap bulan baik terealisasi maupun tidak terealisasi kepada Menteri secara elektronik melalui laman http://inatradekemendag.go.id paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
(3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan hasil pindai/scan dokumen asli:
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);
  2. Nota Pelayanan Ekspor (NPE);
  3. tindasan asli Bill of Lading (B/L), Air Way Bill (AWB), atau Cargo Receipt;
  4. Invoice; dan
  5. bukti lain yang diperlukan.
(4) Laporan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) secara tertulis kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pemenuhan kewajiban Imbal Beli.
(5) Menteri menyampaikan laporan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
(6) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, proses penyampaian laporan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli baik terealisasi maupun tidak terealisasi dilakukan secara manual kepada Menteri.


Pasal 14


(1) Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) yang tidak menyampaikan laporan realisasi dan laporan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis; dan/atau
  2. pengenaan penangguhan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut kepada Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dalam jangka waktu masing-masing paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan akhir, Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dikenai sanksi administratif berupa penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Pengenaan penangguhan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) untuk proses Imbal Beli berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan penangguhan.
(5) Apabila dalam jangka waktu pengenaan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan akhir, pengenaan sanksi administratif berupa penangguhan dicabut.


Pasal 15


(1) Pemasok Luar Negeri yang tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemasok Luar Negeri tetap tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua.
(3) Apabila Pemasok Luar Negeri setelah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir, Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar keseluruhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor ditambah dengan 50% (lima puluh persen) dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor.
(4) Apabila Pemasok Luar Negeri setelah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir belum menyelesaikan realisasi kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor.
 

Pasal 16


(1) Pemasok Luar Negeri yang belum menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebelum kontrak Imbal Beli selesai, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemasok Luar Negeri tidak menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif peringatan tertulis kedua.
(3) Apabila Pemasok Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak dapat menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor.


Pasal 17


(1) Pemasok Luar Negeri yang belum menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebelum amendemen kontrak Imbal Beli selesai, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemasok Luar Negeri tidak menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif peringatan tertulis kedua.
(3) Apabila Pemasok Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor.


Pasal 18


(1) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), Pemasok Luar Negeri tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif, Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3).
(3) Daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD.
(4) Pemasok Luar Negeri yang telah ditetapkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperbolehkan untuk:
  1. mengikuti Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor yang menggunakan mekanisme Imbal Beli; dan/atau
  2. menjadi Pemasok Luar Negeri dalam kontrak Imbal Beli.
(5) Apabila Pemasok Luar Negeri telah memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), pengenaan sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut.


Pasal 19


(1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak.
(2) Pembayaran, penyetoran, dan penagihan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 20


Menteri mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.


Pasal 21


Kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c paling sedikit memuat:
  1. kewajiban Imbal Beli berupa pembelian dan/atau pemasaran Barang Asal Indonesia;
  2. Barang tertentu yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli;
  3. jangka waktu pelaksanaan Imbal Beli; dan
  4. sanksi bagi Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.


Pasal 22


(1) Menteri melakukan evaluasi berupa penilaian kepatuhan terhadap:
  1. Pemasok Luar Negeri dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban atas Imbal Beli; dan
  2. Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) atas pelaksanaan Ekspor Barang Asal Indonesia.
(2) Dalam melakukan penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan Kementerian, lembaga pemerintah, LPNK, Pemda, BUMN, dan/atau BUMD.
(3) Untuk melaksanakan penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat membentuk tim kerja yang terdiri dari Kementerian, lembaga pemerintah, LPNK, Pemda, BUMN, dan/atau BUMD.
(4) Menteri dapat menggunakan hasil penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai pertimbangan dalam:
  1. memberikan persetujuan atas surat pernyataan kesanggupan Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) yang akan digunakan sebagai persyaratan pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli selanjutnya oleh Pemasok Luar Negeri; atau
  2. menetapkan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dalam pelaksanaan Ekspor Barang Asal Indonesia pada kontrak Imbal Beli selanjutnya.


Pasal 23


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. penetapan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dalam pelaksanaan Imbal Beli yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak Imbal Beli;
  2. semua kontrak Imbal Beli atau perjanjian yang terkait dengan Imbal Beli yang telah disepakati sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tetap berlaku dan dilaksanakan sampai dengan berakhirnya kontrak Imbal Beli; dan
  3. Pengadaan Barang Pemerintah yang telah disepakati sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan berdasarkan kesepakatan para pihak akan ditambahkan mekanisme Imbal Beli, mekanisme Imbal Beli dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 24


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2019 tentang Imbal Beli untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 627), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 25


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Januari 2021
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MUHAMMAD LUTFI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 5