Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 54/PMK.03/2021

Kategori : KUP, PPh

Tata Cara Melakukan Pencatatan Dan Kriteria Tertentu Serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan Untuk Tujuan Perpajakan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54/PMK.03/2021

TENTANG

TATA CARA MELAKUKAN PENCATATAN DAN KRITERIA TERTENTU SERTA
TATA CARA MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa perlu adanya pemberian kepastian hukum bagi wajib pajak orang pribadi, termasuk yang memenuhi kriteria tertentu, yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan;
  2. bahwa bagi wajib pajak tertentu perlu diberikan kemudahan dalam menyelenggarakan pembukuan untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya;
  3. bahwa pengaturan mengenai bentuk dan tata cara pencatatan bagi wajib pajak orang pribadi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (12) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ketentuan Pasal 10A ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621);
  6. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA MELAKUKAN PENCATATAN DAN KRITERIA TERTENTU SERTA TATA CARA MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan.
  3. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  5. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  6. Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang dibuat dan disempurnakan secara terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang PPh.
  7. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
  8. Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000.


Pasal 2


(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan Pembukuan.
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, meliputi:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.


BAB II
TATA CARA MELAKUKAN PENCATATAN

Pasal 3


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak terutang.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan:
  1. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan;
  2. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  3. dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
  4. secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto.


Pasal 4


(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang:
  1. melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;dan
  2. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan melakukan pencatatan, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baru terdaftar pada Tahun Pajak yang bersangkutan, pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat:
  1. pada 3 (tiga) bulan sejak saat terdaftar; atau
  2. pada akhir Tahun Pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan Pembukuan.


Pasal 5


(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang:
  1. melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan
  2. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a secara keseluruhan:
    1. dikenai PPh bersifat final dan/atau bukan objek pajak; dan
    2. tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pencatatan tanpa pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.



Pasal 6


(1) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 2 didasarkan pada jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak sebelumnya.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami isteri yang:
  1. menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
  2. isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang PPh, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas suami dan isteri.


Pasal 7


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang harus dilakukan oleh:
  1. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a meliputi:
    1. peredaran bruto yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final;
    2. penghasilan bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
    3. peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai PPh yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi:
    1. penghasilan bruto yang dikenai PPh yang tidak bersifat final serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
    2. penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai PPh yang bersifat final;
  3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi:
    1. penghasilan bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
    2. peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai PPh yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
(2) Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c yang mempunyai lebih dari 1 (satu) jenis usaha dan/atau pekerjaan bebas, tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menggambarkan secara jelas untuk setiap jenis dan/atau tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bersangkutan.
(3) Selain harus melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 8


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi secara elektronik maupun non-elektronik.
(2) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.


BAB III
TATA CARA MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN

Pasal 9


(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain.
(2) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan:
  1. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
  2. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia; dan
  3. secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pembukuan dapat diselenggarakan dengan menggunakan:
  1. bahasa asing; atau
  2. bahasa asing dan mata uang selain Rupiah,
setelah mendapat izin Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Prinsip taat asas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan prinsip yang sama yang digunakan dalam metode Pembukuan dengan Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
(5) Prinsip taat asas dalam metode Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
  1. stelsel pengakuan penghasilan;
  2. tahun buku;
  3. metode penilaian persediaan; atau
  4. metode penyusutan dan amortisasi.
(6) Perubahan terhadap metode Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai:
  1. harta;
  2. kewajiban;
  3. modal;
  4. penghasilan dan biaya; serta
  5. harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa termasuk penjualan dan pembelian,
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar untuk menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.


Pasal 10


(1) Untuk tujuan perpajakan, Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian dari stelsel pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a, dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak tertentu.
(2) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
  1. secara komersial berhak menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi usaha mikro dan kecil; dan
  2. merupakan Wajib Pajak:
    1. orang pribadi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf c, tetapi memilih atau diwajibkan menyelenggarakan Pembukuan; atau
    2. badan yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 didasarkan pada jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha pada Tahun Pajak sebelumnya.
(4) Stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu metode penghitungan yang didasarkan pada transaksi secara tunai, dengan ketentuan:
  1. penghasilan diakui apabila telah diterima secara tunai dalam suatu Tahun Pajak; dan
  2. biaya diakui apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu Tahun Pajak.
(5) Penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk tujuan perpajakan merupakan stelsel campuran dan harus tetap melaksanakan ketentuan sebagai berikut:
  1. penghitungan jumlah penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas termasuk penjualan dalam suatu Tahun Pajak harus meliputi seluruh transaksi, baik tunai maupun bukan tunai;
  2. penghitungan harga pokok penjualan harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan, baik transaksi tunai maupun bukan tunai; dan
  3. perolehan harta yang dapat disusutkan dan/atau hak-hak yang dapat diamortisasi karena mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, hanya dapat dikurangkan dari penghasilan melalui penyusutan dan/atau amortisasi.


Pasal 11


(1) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf b dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
(2) Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf c dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat:
  1. 4 (empat) tahun untuk harta berwujud bukan bangunan; atau
  2. 20 (dua puluh) tahun untuk harta berwujud berupa bangunan.
(3) Amortisasi atas harta tak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf c dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat 4 (empat) tahun.
(4) Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai pada Tahun Pajak diperolehnya harta.
(5) Biaya yang merupakan pembayaran di muka untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dilakukan sekaligus pada Tahun Pajak dibayarkannya biaya tersebut secara tunai.
(6) Bagi Wajib Pajak tertentu yang menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang tidak dapat memisahkan antara biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanan biaya dilakukan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah:
  1. penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
  2. biaya yang dibayarkan secara tunai pada Tahun Pajak yang bersangkutan untuk pengeluaran yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun, termasuk biaya yang merupakan pembayaran di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


Pasal 12


(1) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), harus menyampaikan pemberitahuan setiap Tahun Pajak untuk dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak Berstatus Pusat secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau saluran lain yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal laman atau saluran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
  1. secara langsung; atau
  2. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat oleh Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak sebelumnya.
(6) Untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar, kewajiban pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lambat pada:
  1. 3 (tiga) bulan sejak saat terdaftar; atau
  2. akhir Tahun Pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.


Pasal 13


(1) Pemberitahuan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6) di anggap disetujui dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), sistem Direktorat Jenderal Pajak:
  1. menerbitkan surat keterangan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas; atau
  2. memberitahukan bahwa Wajib Pajak tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas, dalam hal pemberitahuan Wajib Pajak disampaikan melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6),
secara otomatis segera setelah pemberitahuan disampaikan.
(3) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
  1. menerbitkan surat keterangan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan diterima; atau
  2. mengembalikan pemberitahuan Wajib Pajak, dalam hal pemberitahuan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6).
(4) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2):
  1. tidak menyampaikan pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan pemberitahuan melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6),
Wajib Pajak tersebut tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat ( 1).
(6) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak:
  1. telah menerbitkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3); dan
  2. menemukan data atau informasi bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
Wajib Pajak tersebut tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) mulai Tahun Pajak berikutnya.
(7) Wajib Pajak yang tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), dianggap telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan stelsel akrual.


Pasal 14


(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak secara elektronik maupun non-elektronik.
(2) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data wajib disimpan selama 10 ( sepuluh) tahun di Indonesia, pada:
  1. tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi; atau
  2. tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha bagi Wajib Pajak badan.


Pasal 15


(1) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang Pembukuannya mengalami perubahan dari stelsel akrual menjadi stelsel kas berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan dan/atau biaya yang sudah diakui saat penggunaan stelsel akrual, tidak lagi diakui saat penggunaan stelsel kas;
b. penghasilan dan/atau biaya yang belum diakui saat penggunaan stelsel akrual tetapi telah memenuhi syarat pengakuan penghasilan dan/atau biaya berdasarkan stelsel kas, maka penghasilan dan/atau biaya tersebut langsung diakui pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel kas; dan/atau
c. nilai sisa buku atas harta berwujud dan/atau harta tak berwujud berupa:
1. bangunan, disusutkan sesuai sisa masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan/atau
2. selain bangunan yang masa manfaatnya:
a) kurang dari 4 (empat) tahun, disusutkan atau diamortisasi sekaligus pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel kas; dan/atau
b) sama dengan atau lebih dari 4 (empat) tahun, diperlakukan sebagai perolehan harta baru serta disusutkan atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan pasal 11.
(2) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang Pembukuannya mengalami perubahan dari stelsel kas menjadi stelsel akrual berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. penghasilan dan/atau biaya yang sudah diakui saat penggunaan stelsel kas, tidak lagi diakui saat penggunaan stelsel akrual;
  2. penghasilan dan/atau biaya yang belum diakui saat penggunaan stelsel kas tetapi telah memenuhi syarat pengakuan penghasilan dan/atau biaya berdasarkan stelsel akrual, maka penghasilan dan/atau biaya tersebut langsung diakui pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel akrual; dan/atau
  3. nilai sisa buku atas harta berwujud dan/atau harta tak berwujud, tetap disusutkan dan/atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 11 sampai dengan akhir masa manfaat atau saat pengalihan harta tersebut.


Pasal 16


Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang pada:
  1. suatu Tahun Pajak telah menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (l); dan
  2. Tahun Pajak berikutnya memilih atau menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan stelsel akrual,
tidak dapat lagi menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.


Pasal 17


Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf c, yang pada suatu Tahun Pajak sejak Tahun Pajak 2022, telah menyelenggarakan Pembukuan, tidak dapat:
  1. melakukan pencatatan; dan/atau
  2. menghitung penghasilan netonya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.


BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18


(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dapat melakukan pencatatan mulai awal Tahun Pajak berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang baru terdaftar sejak awal Tahun Pajak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.


BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19


Ketentuan mengenai Pembukuan dengan stelsel kas untuk tujuan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022.


Pasal 20


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini; dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 21


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 J uni 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 591