Pertanyaan selanjutnya, fasilitas apa yang sebenarnya ditawarkan Pemerintah, sehingga kesempatan yang langka ini sungguh sayang untuk di lewatkan. Apabila dilihat dari Undang-Undang Pengampunan Pajak dan peraturan pelaksananya, berikut fasilitas yang ada:
- Penghapusan pajak terutang (PPh dan PPN dan/atau PPnBM) yang belum diterbitkan ketetapan pajaknya;
- Penghapusan sanksi administrasi perpajakan atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan;
- Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak 2015;
- penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan
- Pembebasan PPh Final terkait pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta saham;
- Kerahasiaan data terkait Program Amnesti Pajak dijamin oleh Undang-Undang dan data Amnesti Pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Dengan segala ‘fasilitas yang menggiurkan’, tentunya Amnesti Pajak akan menjadi ajang Wajib Pajak untuk ‘mengamankan’ kesalahan pembayaran atau pelaporan pajak baik yang disengaja maupun tidak sengaja sampai dengan tahun 2015. Kemudian, berbicara mengenai “mahar”, bahwa uang tebusan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak didasarkan atas pengungkapan harta di dalam Surat Pernyataan. Pengungkapan harta inilah yang akan memberikan ‘kesempatan’ Wajib Pajak untuk dapat atau tidaknya mengikuti Amnesti Pajak. Dua hal yang mungkin bisa saja terjadi di lapangan terkait pengungkapan harta. Pertama, ‘mengadakan’ harta yang diungkapkan dipandang dari sisi ‘kreatifitas’ Wajib Pajak untuk memunculkan harta atas kepemilikan sampai dengan 31 Desember 2015 yang sebelumnya belum pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak. Bayang-bayang sanksi perpajakan baik administratif maupun pidana yang dimungkinkan timbul atas dosa masa lalu menjadi salah satu alasan kuat kenapa Wajib Pajak akan ‘mati-matian’ agar bisa ikut Amnesti Pajak, walaupun secara aktual tidak ada harta yang belum dilaporkan. Lebih lagi ‘momok’ bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Amnesti Pajak, dimana harta yang diperoleh dalam periode 1 januari 1985 s.d. 31 Desember 2015 dianggap sebagai penghasilan apabila ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 tahun setelah berlakunya UU Pengampunan Pajak dan dikenai pajak serta sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Kedua, terkait dengan justifikasi nilai wajar harta yang diungkapkan Wajib Pajak, dimana bisa menjadi suatu ‘‘kesempatan’’ yang sangat mungkin dilakukan Wajib Pajak. ‘kesempatan’ tersebut muncul karena penentuan nilai wajar yang diatur peraturan perundangan yang merupakan nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan perhitungan Wajib Pajak. Dalam praktiknya, tidak dapat dihindari terkait adanya motivasi dari Wajib Pajak yang dimungkinkan untuk meminimalisasi beban terkait pembayaran uang tebusan. Tentunya motivasi tersebut timbul karena adanya karakter dasar manusia yang tidak ingin berkurang daya belinya sehingga kurangnya kesadaran yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak secara sukarela. ‘kesempatan’ Wajib Pajak tersebut juga didukung dengan sempitnya jangka waktu verifikasi data oleh petugas pajak terhadap harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan Wajib Pajak. Atas penyampaian Surat Pernyataan, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda terima Surat Pernyataan. Direktorat Jenderal Pajak memiliki ‘jurus’ sakti, dimana apabila ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, Harta tersebut diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak sesuai dengan UU PPh dan ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan tersebut terkait dengan wewenang untuk mengkoreksi nilai wajar harta menurut Wajib Pajak yang telah diungkapkan sebelumnya?
Terlepas dari ‘kesempatan’ yang dimungkinkan muncul dalam kesempitan waktu yang ada, Program Amnesti Pajak merupakan sebuah momentum yang langka, dimana Pemerintah sedang berbaik hati untuk mengampuni dosa masa lalu yang dilakukan Wajib Pajak. Seyogyanya dengan itikad baik pula Wajib Pajak mengikuti Amensti Pajak dengan mengungkapkan harta dengan nilai yang sesungguhnya wajar dan membayar tebusan yang sesuai dengan yang mesti harus dibayar. Dengan demikian, perilaku berbuat ‘dosa’ dalam proses pengampunan ‘dosa’ diharapkan tidak terjadi, sehingga kelegaan yang diperoleh Wajib Pajak pun benar-benar nyata dan dosa masa lalu seutuhnya paripurna.