• PPh Pasal 23 atau 26???

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 5:58 pm
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Originaly posted by hanif:
    sekarang, bagaimana bila kondisinya adalah tidak ada tax treaty antara indonesia dengan negara domisili WPLN yang memiliki BUT di Indonesia tersebut?

    dikenakan langsung pemotongan pph pasal 26 – Final tarif 20% terhadap ph. kantor pusatnya

    Mohon koreksi rekan

    Trims responnya rekan junjungan…
    Apakah dapat saya simpulkan bahwa :

    Bila BUT dimiliki oleh WPLN yang ada P3B dengan Indonesia
    Ketika kantor pusat memberikan jasa kepada WPDN di Indonesia secara langsung tanpa melalui BUTnya, padahal BUTnya menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya tersebut, maka, penghasilan Kantor Pusat tersebut dikenai PPh, misalnya PPh Pasal 23. Artinya, pengenaan pajaknya dilaksanakan melalui pemotongan dengan anggapan bahwa yang menyediakan jasa tersebut adalah BUT sebagai WPDN.
    Hal ini diterapkan untuk semua negara yang ada P3B dengan Indonesia, tanpa melihat terlebih dahulu detil P3Bnya apakah mengatur hal tersebut atau tidak.

    Bila BUT dimiliki oleh WPLN yang TIDAK ada P3B dengan Indonesia

    Ketika kantor pusat memberikan jasa kepada WPDN di Indonesia secara langsung tanpa melalui BUTnya, padahal BUTnya menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya tersebut, maka, penghasilan Kantor Pusat tersebut dikenai PPh, Pasal 26.

    Begitu rekan junjungan…

    Satu lagi pertanyaan saya :
    Apakah PPh Pasal 26 bagi WPLN yang punya BUT di Indonesia tapi tidak punya P3B dengan Indonesia tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya (karena usaha BUTnya sama dengan Kantor Pusat, sehingga menurut ketentuan PPh Pasal 26 Ayat (5) PPh atas penghasilan WPLN tersebut tidak bersifat final).

    Mohon pencerahannya rekan junjungan…

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 7:26 pm

    tambah satu lagi pertanyaannya ya rekan junjungan? he he he
    mengapa perlakukannya berbeda antara yang punya P3B dengan yang bukan?
    Padahal kan sama2 punya BUT yang menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya

    Demikian rekan junjungan…

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 9:22 pm
    Originaly posted by hanif:

    Bila BUT dimiliki oleh WPLN yang ada P3B dengan Indonesia
    Ketika kantor pusat memberikan jasa kepada WPDN di Indonesia secara langsung tanpa melalui BUTnya, padahal BUTnya menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya tersebut, maka, penghasilan Kantor Pusat tersebut dikenai PPh, misalnya PPh Pasal 23. Artinya, pengenaan pajaknya dilaksanakan melalui pemotongan dengan anggapan bahwa yang menyediakan jasa tersebut adalah BUT sebagai WPDN.
    Hal ini diterapkan untuk semua negara yang ada P3B dengan Indonesia, tanpa melihat terlebih dahulu detil P3Bnya apakah mengatur hal tersebut atau tidak.

    Ada yang patut diluruskan rekan: Bahwa detil P3B perlu ditelaah dulu,

    Mengingat adanya Uji waktu atas lamanya perkerjaan/kegiatan yang dilakukan di Indonesia ("Time Test") oleh WPLN apakah memenuhi adanya persyaratan suatu BUT di Indonesia atau tidak

    Mengingat WPLN mrp. penduduk suatu negara/negara lain maka persyaratan administratip dalam menerapkan ketentuan yang ada di P3B harus dipenuhi oleh WPLN tersebut. Persyaratan administratip yg dimaksudkan disini adalah pernyataan tertulis dari WPLN berupa konfirmasi tempat kedudukannya, jenis Ph. yg dilakukannya juga konfirmasi mengenai ada ato tidaknya BUT di Indonesia dg menggunakan Formulir: SKT/DGT/COD (beberapa istilah yg dipakai untuk Form surat keterangan domisili.) yang disodorkan pemotong pajak sebelum pemotongan PPh dilakukannya.

    Apabila time test terpenuhi dan persayratan administratip terpenuhi maka pemotongan pajak berdasar ketentuan yang ada di P3B tersebut.

    Originaly posted by hanif:

    Bila BUT dimiliki oleh WPLN yang TIDAK ada P3B dengan Indonesia

    Ketika kantor pusat memberikan jasa kepada WPDN di Indonesia secara langsung tanpa melalui BUTnya, padahal BUTnya menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya tersebut, maka, penghasilan Kantor Pusat tersebut dikenai PPh, Pasal 26.

    sependapat..

    Originaly posted by hanif:

    Satu lagi pertanyaan saya :
    Apakah PPh Pasal 26 bagi WPLN yang punya BUT di Indonesia tapi tidak punya P3B dengan Indonesia tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya (karena usaha BUTnya sama dengan Kantor Pusat, sehingga menurut ketentuan PPh Pasal 26 Ayat (5) PPh atas penghasilan WPLN tersebut tidak bersifat final).

    hehehe..
    Tidak dapat rekan. Mengapa saya katakan demikian. P3b dibuat atas kesepakatan bersama antara negara Indonesia dan negara mitra runding. Intinya perlakuan pemajakan di kedua negara diatur sesuai dengan pasal-pasal yang berhubungan dg kegiatan pasive income, aktive income juga ph. sehubungan dg pemakaian harta gerak/maupun tidak gerak. Sehingga tidak ada pemajakan berganda di kedua negara atopun tidak ada pengelakan pembayaran pajak di kedua negara.

    Bagi WPLN yang tidak mpy P3B dg Indonesia (setahu saya s.d saat ini "hongkong") yang menjalankan usahanya di Indonesia diperlakukan pemotongan pajaknya sesuai dg ketentuan perpajakan di Indonesia (UU PPh). Sehingga baik Kantor pusat maupun BUTnya diperlakukan sbg subjek Pajak LN dan subjek pajak DN yang berdiri sendiri-sendir ipemotongan pajaknya isesuai dg pasal-pasal yg terkait di UU PPh.

    Demikian rekan hanif..

    Mohon koreksi rekan

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 9:34 pm
    Originaly posted by hanif:

    tambah satu lagi pertanyaannya ya rekan junjungan? he he he
    mengapa perlakukannya berbeda antara yang punya P3B dengan yang bukan?
    Padahal kan sama2 punya BUT yang menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya

    hehehehe..
    Perlakuan bagi WPLN yang mpy BUT di Indonesia agak berbeda dg yg tidak mpy p3b dg Indonesia. Berdasar P3b penghasilan kantor pusat dapat dipaksa masuk/dinggap ("force attraction") sebagai ph. BUTnya. Namun hal ini tidak dapat dilakukan jika KP negara mitra tsb tidak mpy P3b dg Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya pemajakan 2 kali atas ph yang diperoleh BUT di indonesia.
    Pertama: dikenakan pajak dari ph. kena pajaknya BUT berdasar tarif pasal 17 UU PPh
    Kedua : dikenakan pph pasal 26 tarif 20% lagi atas Ph.kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan diatas.
    (kecuali Ph. kena pasak setelah dikurangi pajak penghasilan diatas ditanamkan kembali di Indonesia).

    Demikianlah rekan hanif..

    Mohon pendapat rekan

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 9:37 pm
    Originaly posted by Nha:

    Dear All,

    Bukannya kalo jasa yang diberikan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia masuk ke objek PPh pasal 23??

    benar rekan (asumsi: pelaksananya badan ato orang yang mewakili badan usaha tsb)

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 9:37 pm
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Tidak dapat rekan. Mengapa saya katakan demikian. P3b dibuat atas kesepakatan bersama antara negara Indonesia dan negara mitra runding. Intinya perlakuan pemajakan di kedua negara diatur sesuai dengan pasal-pasal yang berhubungan dg kegiatan pasive income, aktive income juga ph. sehubungan dg pemakaian harta gerak/maupun tidak gerak. Sehingga tidak ada pemajakan berganda di kedua negara atopun tidak ada pengelakan pembayaran pajak di kedua negara.

    lalu apa gunanya ketentuan pada Pasal 26 ayat (5) UU No. 36 tahun 2008 yang menyatakan PPh yang dipotong atas WPLN tersebut tidak final, rekan junjungan…
    Padahal, ketentuan tersebut tidak mempersyaratkan harus ada P3B?

    untuk lebih jelasnya, kembali kita ke kasus awal. Ilustrasinya saya modifikasi begini :
    misalkan X Ltd, punya BUT di Indonesia (dalam hal ini berposisi sebagai cabang, terlepas dari ada P3B atau tidak) yang diberi nama PT. Y. selanjutnya, PT. A (WPDN) menggunakan jasa X Ltd, tidak melalui BUTnya (PT.Y). Kita umpamakan bahwa X Ltd memberi jasa selama 10 hari. Dalam pelaksanaan pekerjaannya, dia juga dibantu oleh kompatriotnya yang di PT. Y.
    Saat PT. Y membayar tagihan X Ltd (bukan kepada PT. Y) , apakah dipotong PPh Pasal 23 atau 26?

    mohon penjelasannya rekan junjungan…

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 9:56 pm
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Namun hal ini tidak dapat dilakukan jika KP negara mitra tsb tidak mpy P3b dg Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya pemajakan 2 kali atas ph yang diperoleh BUT di indonesia.
    Pertama: dikenakan pajak dari ph. kena pajaknya BUT berdasar tarif pasal 17 UU PPh
    Kedua : dikenakan pph pasal 26 tarif 20% lagi atas Ph.kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan diatas.
    (kecuali Ph. kena pasak setelah dikurangi pajak penghasilan diatas ditanamkan kembali di Indonesia).

    menggunakan ilustrasi ini, saya kira tidak akan terjadi pengenaan pajak dua kali.
    Dengan asumsi bahwa peredaran bruto BUT X Ltd masih dibawah 4,8 M setahun, perhitungan PPh terutang tahun 2009 adalah sebagai berikut :

    Penghasilan Neto dari Usaha……………………………………… ………400 Juta
    Penghasilan Kantor Pusat atas jasa yang sama di Indonesia……….100 Juta+
    Jumlah Penghasilan neto………………………………………. ………….500 Juta
    PPh terutang = 28% x 50% x 500 Juta = ………………………….70 Juta
    Kredit Pajak dengan asumsi tidak ada yang lain
    PPh Pasal 26………………………………………… ……………………20 Juta –
    PPh Kurang bayar akhir tahun (Pasal 29)…………………………..50 Juta

    Sebab, PPh Pasal 26 atas jasa yang diberikan, dapat dijadikan sebagai kredit pajak.
    Sementara, pengenaan PPh Pasal 26 atas laba setelah dikurangi pajak akan sama juga halnya dengan kondisi bila penghasilan kantor pusat dianggap sebagai penghasilan BUT dan dipotong PPh 23 atau penghasilan Kantor Pusat yang dipotong PPh Pasal 26. sebab, untuk penghitungan PPh terutang BUT, penghasilan tersebut digabungkan dan PPh yang dipotong boleh dijadikan sebagai kredit pajak.

    Satu lagi, bisa rekan junjungan….menunjukkan salah satu P3B yang menyatakan bahwa penghasilan dari Indonesia yang diperoleh kantor pusat yang mempunyai BUT diIndonesia , akan dikenai PPh seperti halnya ketentuan WPDN dan bukan PPh Pasal 26?

    Mohon pencerahannya rekan junjungan…

    Salam

  • paiminpetukboy

    Member
    30 August 2010 at 9:59 pm

    hmmm, pengen ikutan……
    kasus awalnya adalah:

    Originaly posted by Nha:

    Perusahaan kami melakukan transaksi dengan perusahaan luar negeri misalkan X ltd dan X ltd ini memiliki kantor perwakilan di indonesia yaitu PT X. Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd namun jasa tersebut di lakukan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia. atas pembayaran jasa tersebut apakah terutang pph pasal 23 atau pph pasal 26

    sebagaimana pasal 26 ayat 1 UU PPH 36 menyatakan bahwa Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.

    pertanyaan saya apakah perusahaan tersebut memiliki BUT di indonesia ato tidak?.
    BUT sendiri apabila belum dikukuhkan tergantung dari perjanjian yang ada di P3B.
    sebagai contoh, persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Singapura :
    a.Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) huruf i P3B Indonesia-Singapura, sebagai berikut :
    Article 5 Paragraph 2 (i)
    The term of "permanent establishment" shall include especially :"The furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through an employee or other person (other than an agent of an independent status within the meaning of paragraph 7) where the activities continue within a Contracting State for a period or periods aggregating more than 90 days within a twelve month period".

    yang dalam bahasa saya, dikukuhkannya sebagai BUT apabila bertempat tinggal ato melakukan aktivitas lebih dari 90 hari (mohon koreksi).

    nah sekarang kembali ke pertanyaan rekan Nha, dijelaskan bahwa ada perwakilan berbentuk PT, mungkin saya harus sependapat dengan:

    Originaly posted by junjungansitohang:

    PT. X diatas merupakan perwakilan asing dari X.ltd.
    Asumsi saya PT. X ini merupakan BUT karena berstatus Badan (PT).

    (asumsi) lawan transaksi mempunyai BUT di indonesia.
    oleh karena itu, atas pertanyaan awal transaksi pembayaran atas jasa tersebut dikenakan PPh pasal 23.

    mohon koreksi…

    salam..

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 10:49 pm
    Originaly posted by paiminpetukboy:

    (asumsi) lawan transaksi mempunyai BUT di indonesia.

    rekan paimin…, apakah dilarang WPDN untuk bertransaksi dengan kantor Pusat di LN, walau ada BUTnya di Indonesia?. (terlepas dari ada P3 atau tidak).
    Tentu tidak kan???
    Atau,
    Apakah WPDN yang bertransaksi dengan WPLN yang punya BUT di Indonesia harus melakukan transaksinya dengan atau melalui BUT tersebut? Tentu tidak kan?

    Yang ditentukan adalah (terlepas dari ada P3B atau tidak) sesuai dengan ketentun yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 26 Ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 berikut :

    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Pasal 5 ayat (1) huruf b berbunyi :
    penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;

    Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

    Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

    Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

    Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

    Pasal 5 ayat (1) huruf c berbunyi
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
    Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

    Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

    Memang benar bahwa Penghasilan yang diterima langsung oleh kantor pusat karena memberikan jasa langsung kepada klien di Indonesia tanpa melalui BUT dianggap sebagai penghasilan BUT di di Indonesia bila BUT juga menyediakan jasa yang sama.

    Pertanyaannya sekarang adalah :
    Apakah kata-kata dianggap sebagai penghasilan BUT tersebut mengakibatkan bahwa penghasilan yang diterima oleh kantor pusat tersebut saat memberikan jasa tersebut harus dipotong PPh Pasal 23 dan bukannya PPh Pasal 26?

    Mohon opininya rekan paimin…

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 11:15 pm

    Pasal 5 ayat (1) huruf c berbunyi
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
    Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

    Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

    bila kita lihat ketentuan Pasal 5 ayat 1 huruf c diatas, penghasilan dari royalti yang diterima oleh kantor pusat dapat dianggap sebagai penghasilan BUT. Karena BUTnya memberikan bantuan untuk pemasaran produk yang menggunakan merek dagang mereka.
    Apakah penghasilan ini dipotong PPh Pasal 23 atau 26?

    Padahal bila BUTnya tidak memberikan bantuan pemasaran, penghasilan dari royalti sudah pasti dipotong PPh Pasal 26 dan tidak bisa dianggap sebagai penghasilan BUT tersebut. Karena tidak ada kontribusi terhadap penghasilan yang mendatangkan penghasilan kantor pusat.

    saya melihat, bahwa ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) huruf dan huruf c hanya menegaskan bahwa penghasilan kantor pusat dianggap sebagai penghasilan BUT bila BUT memberikan jasa yang sama atau punya hubungan efektif dengan asset yang memberikan penghasilan kantor pusat. Oleh karena itu, penghasilan tersebut harus diakui oleh BUT sebagai penghasilannya nanti di dalam SPT Tahunannya.
    Jadi, pasal ini tidak mengatur bahwa pemotongan pajaknya oleh pengguna jasa dilakukan seolah-oleh penghasilan tersebut diterima oleh WPDN (BUT tersebut).
    Makanya, didalam pasal 26 ayat 5 dikatakan bahwa PPh yang seperti ini tidak final. Artinya, PPh Pasal 26 yang telah dipotong, lazimnya bersifat final, oleh pengguna jasa, untuk kasus ini, boleh dijadikan sebagai kredit pajak bagi BUT. Sebab, penghasilan yang dikenakan PPH Pasal 26 tersebut harus diakui dan digabung oleh BUT sebagai penghasilannya sendiri..

    Demikian opini saya
    mohon koreksinya

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 11:17 pm
    Originaly posted by hanif:

    lalu apa gunanya ketentuan pada Pasal 26 ayat (5) UU No. 36 tahun 2008 yang menyatakan PPh yang dipotong atas WPLN tersebut tidak final, rekan junjungan…
    Padahal, ketentuan tersebut tidak mempersyaratkan harus ada P3B?

    coba kita lihat isi pasalnya:
    Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, (maksud ayat 5 ini adalah bagi WPLN selain BUT, "lihat: isi pasal 26 ayat 1" pemotongan pphnya adalah final sbgmana dimaskud pasal 26 tersebut)

    kecuali:(ini pasal pengecualiannya: yaitu penghasilan KP yg dianggap sbg objek ph. BUT)
    a pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
    b pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

    Originaly posted by hanif:

    untuk lebih jelasnya, kembali kita ke kasus awal. Ilustrasinya saya modifikasi begini :
    misalkan X Ltd, punya BUT di Indonesia (dalam hal ini berposisi sebagai cabang, terlepas dari ada P3B atau tidak) yang diberi nama PT. Y. selanjutnya, PT. A (WPDN) menggunakan jasa X Ltd, tidak melalui BUTnya (PT.Y). Kita umpamakan bahwa X Ltd memberi jasa selama 10 hari. Dalam pelaksanaan pekerjaannya, dia juga dibantu oleh kompatriotnya yang di PT. Y.
    Saat PT. Y membayar tagihan X Ltd (bukan kepada PT. Y) , apakah dipotong PPh Pasal 23 atau 26?

    Pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah indonesia berhak memajaki ph. WPLN tsb, karena transaksi PT X (WPDN) dg X.ltd (subjek pajak LN)?? Untuk memastikan hak pemajakan berada di Indonesia ato bukan maka PT X harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu ke pejabat yg berwenang disana (competent authority negara mitra/setara dg Kepala KPP jika di Indonesia) dg menggunakan Form SKD/DGt/COD) untuk menentukan apakah pemajakan sepenuhnya ada di Indonesia ato tidak. Jika memang di Indonesia, umumnya ditentukan berdasar uji time test pelaksanaan kerja di Indonesia tepenuhi. Uji time test ini tertuang di P3B (P3B tidak dapat diabaikan jika bertransaksi dg WPLN).
    Umumnya di pasal yg menyangkut permanent establishment/PE akan mengaitkan lamanya suatu pekerjaan dilakukan dalam rentang waktu 12 bulan akan dianggap sbg BUT jika melebihi time test tsb.
    Umpama : time test mengatakan untuk pekerjaan yg dilakukan di negara indonesia akan dianggap sbg BUT jika pelaksanaan tersebut dilakukan melebihi 12 hari dalam rentang wkt 12 bulan.
    Kasus diatas pekerjaan dilakukan X.ltd di iNdonesia selama 10 hari. maka persyaratan adanya BUT tidak terpenuhi disisni. Dg. demikian pemotongan pajak oleh PT X adalah menggunakan pasal 26 dg tarif 20 %- final ato tarif yg ada di P3B (umumnya lebih rendah dari tarif pasal 26)
    Namun jika kasus diatas pelaksanaan kerja adalah 13 hari maka PT X akan memotong ph. X.ltd (WPLN) dg menggunakan pasal 23. Ph. X ltd dalam hal ini dipaksa masuk menjadi Ph. BUTnya (PT Y).

    Demikan rekan

    Mohon pendapat rekan kembali

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 11:30 pm
    Originaly posted by junjungansitohang:

    13 hari

    kok???

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Kasus diatas pekerjaan dilakukan X.ltd di iNdonesia selama 10 hari. maka persyaratan adanya BUT tidak terpenuhi disisni. Dg. demikian pemotongan pajak oleh PT X adalah menggunakan pasal 26 dg tarif 20 %- final ato tarif yg ada di P3B (umumnya lebih rendah dari tarif pasal 26)

    Berarti rekan junjungan… menggunakan asumsi ada P3B, bukan begitu?
    Apakah PPh Pasal 26 ini bisa dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya. Sebab, BUTnya juga menyediakan jasa yang sama.

    Sekarang, misalnya lagi, kita asumsikan saja tidak ada P3B dalam kasus ini. Apakah PPh Pasal 26 dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya yang menyediakan jasa yang sama.

    Mohon opininya rekan junjungan…

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 11:31 pm
    Originaly posted by hanif:

    menggunakan ilustrasi ini, saya kira tidak akan terjadi pengenaan pajak dua kali.
    Dengan asumsi bahwa peredaran bruto BUT X Ltd masih dibawah 4,8 M setahun, perhitungan PPh terutang tahun 2009 adalah sebagai berikut :

    Penghasilan Neto dari Usaha……………………………………… ………400 Juta
    Penghasilan Kantor Pusat atas jasa yang sama di Indonesia……….100 Juta+
    Jumlah Penghasilan neto………………………………………. ………….500 Juta
    PPh terutang = 28% x 50% x 500 Juta = ………………………….70 Juta
    Kredit Pajak dengan asumsi tidak ada yang lain
    PPh Pasal 26………………………………………… ……………………20 Juta –
    PPh Kurang bayar akhir tahun (Pasal 29)…………………………..50 Juta

    coba kita sandingkan dg yang ini:
    Penghasilan Neto dari Usaha……………………………………… ………400 Juta
    Penghasilan Kantor Pusat atas jasa yang sama di Indonesia……….100 Juta+
    Jumlah Penghasilan neto………………………………………. ………….500 Juta
    PPh terutang = 28% x 50% x 500 Juta = ………………………….70 Juta
    Kredit Pajak pasal 23 atas Ph KP yg dianggap sbg Ph BUT……..20 juta
    PPh Pasal 26………………………………………… ……………………0 Juta –
    PPh Kurang bayar akhir tahun (Pasal 29)…………………………..50 Juta

    Penghitungan Branch profit tax (pajak laba usaha BUT setelah kena pajak)
    Ph. kena pajak BUT =…………………………………………. ….. 500 juta
    Pajak BUT ………………………………………….. …………………. 70 juta
    Laba usaha BUT ………………………………………….. …………..430 juta
    BFT .(pasal 26 ayat 4 final tarif 20%) ……………………………. 86 juta
    Laba net BUT ………………………………………….. ……………….344 juta

    Contoh yang menjadi sandingannya menunjukkan Ph BUT dikenakan pajak 2 kali

    Mohon pendapat rekan

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 11:43 pm
    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    13 hari

    kok???

    umpama pekerjaan dilakukan 13 hari apa efek yang terjadi maksud saya rekan..

    Originaly posted by hanif:

    Berarti rekan junjungan… menggunakan asumsi ada P3B, bukan begitu?
    Apakah PPh Pasal 26 ini bisa dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya. Sebab, BUTnya juga menyediakan jasa yang sama.

    Berdsar asumsi P3B :

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Umpama : time test mengatakan untuk pekerjaan yg dilakukan di negara indonesia akan dianggap sbg BUT jika pelaksanaan tersebut dilakukan melebihi 12 hari dalam rentang wkt 12 bulan.

    Karena ppekerjaan dilakukan di indonesia selama 13 hari maka timetes untuk diakuinya BUT terpenuhi. Makanya Ph.nya KP dianggap menjadi Phnya BUT.
    Dg demikian pemotongan melalui pph pasal 23

    Originaly posted by hanif:

    Sekarang, misalnya lagi, kita asumsikan saja tidak ada P3B dalam kasus ini. Apakah PPh Pasal 26 dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya yang menyediakan jasa yang sama.

    Tidak dapat rekan. PPh pasal 26 hanya dikenakan kepada WPLN selain BUT dan bersifat final

    Mohon pendapat rekan kembali

    salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 11:44 pm

    mohon maaf, yang dimaksudkan kena dua kali itu apakah karena ada 2 kali pencantuman PPh Pasal 26??.
    Bukankah tempatnya berbeda?. satu jadi kredit pajak, satu lagi sebagai PPh yang harus dipotong dari laba setelah pajak BUT?.

    bukankah kalau penghasilan KP tersebut dipotong PPh 23 hasil akhirnya juga akan sama???
    yang berbeda hanya hitungan PPh Pasal 29 dalam SPT Tahunan saja. sementara PPh terutangnya untuk BUT maupun Laba Setelah BUT tetap segitu kan?

    saya koreksi dikit ya…

    Penghasilan Neto dari Usaha……………………………………… ………400 Juta
    Penghasilan Kantor Pusat atas jasa yang sama di Indonesia……….100 Juta+
    Jumlah Penghasilan neto………………………………………. ………….500 Juta
    PPh terutang = 28% x 50% x 500 Juta = ………………………….70 Juta
    Kredit Pajak pasal 23 atas Ph KP yg dianggap sbg Ph BUT…….. 2 juta
    PPh Pasal 26………………………………………… ……………………0 Juta –
    PPh Kurang bayar akhir tahun (Pasal 29)…………………………..68 Juta

    Penghitungan Branch profit tax (pajak laba usaha BUT setelah kena pajak)
    Ph. kena pajak BUT =…………………………………………. ….. 500 juta
    Pajak BUT ………………………………………….. …………………. 70 juta
    Laba Setelah Pajak BUT ………………………………. …………..430 juta
    BFT .(pasal 26 ayat 4 final tarif 20%) ……………………………. 86 juta
    Laba net BUT ……………………………………….. ……………….344 juta

    Salam

Viewing 31 - 45 of 114 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now